Blog Ki Slamet 42: Atma Kembara
Rabu, 08 April 2020 - 16.15 WIB
Rabu, 08 April 2020 - 16.15 WIB
BAB IV. PUBLIK
PENDENGAR
1.
Fungsi
Pendengar Dalam Kehidupan Musik
Sebagaimana telah
disinggung dalam bab-bab terdahulu, pendengar musik sebagai suatu unsur dalam
kehidupan musik tidaklah dapat kita abaikan begitu saja. Malahan pendengarlah
yang sesungguhnya memberi pendapat terakhir, apakah karya seorang komponis dan
hidangannya mempunyai hak hidup dalam masyarakat atau tidak.
Sebuah komposisi sebagai ciptaan yang
tertulis tidak dimaksudkan untuk disimpan begitu saja sebagai dokumen. Sebuah
ciptaan musik baru mendapatkan fungsi dalam masyarakat, kalau ciptaan itu
menjadi suatu kenyataan yang bersuara, yang dapat didengar oleh sesama manusia.
Yang penting adalah, apakah pendengar mendapatkan kenikmatan atau tidak
daripadanya.
Kenikmatan yang didapatkan dari mendengar
musik oleh manusia ini tidak perlu sama sifatnya. Ini banyak ditetapkan oleh
masing-masing pendengarnya. Pendapat musik terdiri dari berbagai macam unsur
dalam masyarakat. Tiap-tiap unsur mempunyai cara berpikir sendiri, perasaan
serta cita-cita yang berbeda satu sama lain. Pendengar musik dapat terdiri
pedagang, penguasa, seniman, anak
sekolah, pemangkas rambut, pegawai negeri, tukang catut, sarjana dan sebagainya.
Berbagai unsur dalam masyarakat tadi,
bagaimanapun juga berbeda fungsinya dalam suatu kehidupan musik, baru
memperoleh artinya yang menentukan, kalau semua itu tergabung dalam suatu
kesatuan yang bersama-sama mendengarkan suatu hidangan musik. Yaitu bersatu
dalam apa yang disebut publik.
Jadi, publik publik terdiri dari keseluruhan
manusia-manusia dalam masyarakat yang dengan caranya sendiri-sendiri mengadakan
kontak dengan musik. Caranya dapat dengan perantaraan televisi, radio,,
penyelenggaran musik di rumah dan sebagainya.
Yang paling ideal adalah, bersama-sama
mendengarkan musik dalam dalam sebuah gedung atau tempat khusus, di mana
tiap-tiap pendengar mempunyai harapan akan mendapatkan kenikmatan dari hidangan
musik sebanyak-banyaknya, dan oleh karenanya rela mengorbankan sesuatu guna
penyelenggaraan itu, dengan jalan membeli karcis tanda masuk.
Dengan sendirinya, akibat mendengar musik
secara lain, seperti mendengarkan lewat radio, televisi dan sebagainya, tidak
sedikit merupakan dorongan untuk mengunjungi suatu hidangan musik yang hidup
(live). Tanpa adanya publik seperti itu musik tidak akan mendapatkan dorongan
moril serta materiil yang kuat dan akan menemui kepunahannya akibat haus
kekeringan. Oleh karena itu, di dalam usaha kita untuk menggiatkan kehidupan
musik dalam masyarakat, memperkenalkan masyarakat itu sendiri kepada musik yang
adalah merupakan suatu usaha sosial-budaya yang vital.
Manusia akan mencintai sesuatu, kalau dia menyadari, bahwa apa yang
dicintainya itu dapat memberikan suatu nilai kehidupan yang berharga kepadanya.
Di dalam musik, nilai-nilai itu baru dapat dinikmati, kalau manusia itu diberi
penjelasan serta pengalaman tentang nilai-nilai yang berhgarga dalam musik.
Pada bab-bab selanjutnya kita akan meninjau bersama-samaunsur-unsur apakah
dalam musik yang perlu mendapat perhatian, agar dapat diresapi publik yang
terdiri dari berbagai jenis pendengar itu. Cara penerimaan musik ini biasanya
disebut apresiasi.
2.
Bentuk
Pernyataan Musik
Sekarang kita coba meninjau perwujudan dari musik sebagai suatu
bentuk pernyataan yang hidup yang memiliki daya untuk menggerakkan hati
manusia. Sesungguhnya sudah jelas, bahwa musik hanya memiliki daya menggerakkan
hati manusia pada waktu musik itu menjadi kenyataan yang bersuara.
Suara itu sendiri sudah mempunyai daya
menggerakkan fisik serta kejiwaan manusia. Suara kaleng kosong yang dibanting
ke lantai dengan tiba-tiba di alam sunyi akan langsung mengagetkan manusia,
yang sekonyong-konyong dengan langsung pula menimbulkan asosiasi adanya
kemungkinan ketidakserasian ataupun bahaya kena lempar, barang penuh dan
sebagainya. suara kaleng kosong yang demikian tidak memiliki tinggi nada, ini
disebabkan oleh adanya getaran yang tidak tetap dan tidak teratur yang
menyebabkan barang itu berbunyi, suara demikian disebut bahana. Sebaliknya suara yang memilik getaran
atau frekuensi yang teratur disebut nada. Nada oleh karenanya oleh
karenanya mempunyai tinggi yang tetap.
Tidak semua nada termasuk nada musikal.
Yang terlalu rendah frekuensinya atau yang terlampau tinggi, tidak dapat
dipergunakan untuk nada musik. Nada-nada demikian mengganggu pendengaran kita.
Soalnya, nada-nada yang demikian tidak dapat kita nikmati, sebab
menggelisahkan.
Sekarang kita mencoba menghasilkan suara
lain. Umpamanya suara trompet yang dilontarkan ke udara secara tiba-tiba. Dari
suana yang tenang, tiba-tiba... teeet, teeet! Ada suara trompet. Meskipun suara
trompet itu nada musikal, kita dibuat kaget juga karenanya. Dan hati kita
menjadi gelisah. Berdebar-debar sebentar, sama saja dengan keadaan ketika kita
tiba-tiba mendengar suara kaleng kosong tadi.
Suara keras yang dihasilkan secara tiba-tiba
ternyata mempunyai pengaruh fisik yang mengagetkan kepada kita. Tidak menjadi
soal, apakah itu suara musikal, dan apakah kita mau atau tidak. Antara kaget
karena suara trompet tadi yang berbeda hanyalah asosiasi kita. Suara kaleng
memberi asosiasi adanya barang jatuh, atau kena lemparan sesuatu. Sedang suara
trompet mungkin langsung memberi asosiasi adanya suara klakson mobil di jalan.
Unsur yang tiba-tiba dihasilkan ini
kadang-kadang dipergunakan juga dalam komposisi musik. Di dalam sebuah simponi
ciptaan Haydn yang disebut orang
“Surprise Symphny” juga terdapat penggunaan alat-alat musik yang dimainkan
secara tiba-tiba dan keras sesudah para pendengarnya diberi kesempatan
menikmati susunan nada-nada yang tenang. Menurut cerita, maksud Haydn berbuat demikian ialah karena ia
hendak membangunkan pendengar-pendengarnya yang tertidur!
Perlakuan atau pembagian dalam
berlangsungnya tempo ternyata juga mempunyai pengaruh kepada fisik manusia,
yang kemudian tergerak jiwanya. Manusia adalh makhluk yang badannya, secara
fisik, berkembang secara teratur. Dalam
segala-galanya. Malahan ada kecenderungan ke arah teraturnya segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkembangan dan kemanfaatan badannya. Peredaran
daerah, detik jantungnya, keluar-masuknya nafas lewat hidung kita, semuanya
berlangsung dalam tempo yang penuh keseimbangan.
Fisik manusia dapat menyesuaikan diri dengan
semua pembagian waktu yang berimbang. Kalau perimbangan ini diganggu, manusia
menjadi gelisah, pernafasannya menjadi lebih cepat jalannya, begitu juga detik
jantung dan peredaran darahnya.
Suara yang datang dengan tiba-tiba, dari
tidak ada sekonyong-konyong menjadi ada, apalagi secara keras, terang
mengganggu perimbangan fisik pendengarannya, yang menyebabkan rasa tegang.
Suara yang dihasilkan dengan mempergunakan pembagian waktu secara teratur
memuaskan hati manusia dan memberi kepadanya rasa ketenangan.
Jadi jelaslah, bahwa irama (ritme) sebagai
pembagi waktu secara tertentu dalam musik mempunyai pengaruh pada diri manusia,
terutama secara fisik. Sedangkan warna suara
lebih menggerakkan jiwa kita. Suara kaleng tadi dan suara trompet,
masing-masing memberi asosiasi yang berbeda satu sama lain.
3.
Unsur-Unsur
Hidup Dalam Musik
Unsur-unsur ini
dalam banyak tulisan tentang musik sudah terkenal, yaitu: irama (ritme), melodi, dan harmoni.
Ketiga unsur inilah dalam musik yang pertama-tama bersifat konstruktip.
Dalam arti, tidak boleh ditawar-tawar oleh pemain sebagai pernyataan musik itu,
sebagai bahan pembangunan yang bersifat
abadi. Kalau diganti irama, melodi dan
harmoninya, lagunya akan menjadi lain.
Yang disebut irama dalam musik sebetulnya lebih mudah
dirasakan daripada diterangkan. Irama, secara populer, adalah adanya
unsur-unsur dalam musik sebagai
pembagian berlangsungnya waktu yang memberi pernyataan
hidup kepada musik itu. Oleh karena irama itu, musik terasa mempunyai
gerak. Seringkali di dalam pemakaian sehari-hari, istilah irama dalam musik disamakan dengan matra (maat) atau metrum atau
birama. Itu tentu tidak benar.
Matra, metrum atau
birama bukanlah unsur-unsur yang memberi pernyataan hidup pada musik. Kita
membagi-bagi berlangsungnya musik dalam beberapa matra yang tetap, atau yang
tidak tetap, untuk membantu kita mempermudah menggunakan musiknya. Tanda-tanda
matra dalam dalam sebuah notasi musik (garis-garis yang vertikal dalam
paranada), kalaupun tidak ditulis, tidak mengurangi samasekali intisari
musiknya itu sendiri. Sebaliknya, irama adalah unsur mutlak musik. Tanpa irama
tidak musik.
Selanjutnya yang
dimaksudkan dengan melodi adalah:
rentetan nada-nada yang disusun secara ritmis
dengan ditetapkan ketinggiannya masing-masing. Unsur-unsur dalam melodi
yang menetapkan sifatnya adalah garis ketinggian nada-nada-nadanya dan irama.
Akhirnya, harmoni adalah susunan nada-nada yang
bersuara bersama-sama. Pelajaran mengenai harmoni dalam lembaga-lembaga
pendidikan musik untuk banyak orang merupakan mata pelajaran yang tidak begitu
mudah. Istilah harmoni dalam musik Timur mengikuti hukum-hukum yang berlainan.
Dengan sendirinya,
ketiga unsur irama, melodi dan harmoni tadi di dalam susunannya satu sama lain
dalam musik tidak hanya merupakan “jumlah” melulu dalam suatu komposisi. Musik
harus merupakan suatu pernyataan yang “melebihi” jumlah ketiga usur tadi.
Apa yang merupakan
kelebihin ini, kita coba bersama-sama meninjaunya secara tenang di bawah ini.
di dalam ilmu, sesuatu yang mempunyai nilai “lebih” daripada jumlah unsur-unsur
bangunannya disebut dengan bahasa Jerman “Gestalt”.
Dan musik musik adalah suatu “Gestalt”.
Pendenar musik yang baik adalah seorang yang dapat menikmati kelebihan daripada
apa yang secara fisik diterima oleh telinganya.
4.
Irama
dan Penerimaan Manusia Terhadapnya
Sebagaimana telah disinggung dalam bab-bab sebelumnya, dalam diri manusia
ada bagian-bagian yang jalannya ritmis. Seperti peredaran darah, detak jantung
dan sitim pernafasan kita. Darah keluar dan masuk jantung kita secara teratur,
digerakkan oleh jantung itu senditi yang mengempes, melembung dan begitu
seterusnya.
Irama dalam pengertian yang agak luas juga dapat kita saksikan dalam
perkembangan alam itu sendiri. Pergantian siang menjadi malam, malam kembali
menjadi siang, sekarang gelap, beok terang, gelap dan terang secara teratur
silih berganti. Di Indonesia, musim hujan dalam setahun satu kali berganti
menjadi musim panas dan masih banyak lagi contoh lainya, terlalu banyak untuk
disebut satu per satu.
Irama menampakkan diri dalam segala sesuatu yang berkembang serta
berlangsung dalam waktu yang tidak kita ketahui apakah berakhir atau tidak.
Sebagai pernyataan hidup, yang kita rasakan sebagai sesuatu yang wajar, yang
tiap kali kita alami kembali di dalam bentuk atau pola yang sama. Karena
wajarnya, adanya irama ini sudah tidak kita perhatikan lagi. Juga adanya irama
dalam perkembangan fisik kita, sudah tidak kita hiraukan lagi. Sama saja dengan
kenyataan, bahwa kita tidak merasakan berjalannya waktu dan tidak menyadari,
bahwa hidup kita secara teratur detik demi detik memakan waktu. Kalau tidak
diperingatkan, kita biasanya tidak sadar, bahwa kita menjadi lebih tua.
Banyak sudah yang ditulis oleh kaum cerdik-pandai mengenai filsafat
waktu dan irama ini. akan tetapi, yang dapat kita simpulkan adalah, bahwa
segala yang menampakkan diri hidup, secara biologis, irama ini erat hubungannya
serta pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Begitu juga, ada hubungan yang erat
secara motoris-biologis antara irama fisik mnusia dengan irama irama musik yang
didengarkannya.
Irama yang kita alami dari musik yang teratur dan lambat, membuat hati
kita tenang, atau mungkin juga tertidur. Gerak motoris peredaran darah kita
mungkin ingin menyesuaikan diri dengan gerak musik yang kita dengar. Irama yang
cepat dan tidak teratur menyebabkan ketegangan dalam fisik kita dan secara
kejiwaan, perasaan kita menjadi gelisah. Denyutan jantung kita dalam gerak
ritmis ingin menyesuaikan diri dengan gerak musiknya. Secara motoris seringkali
dengan tidak disadari, kaki kita ikut bergerak mengikuti gerak musiknya,
terutama dalam musik yang punya irama tetap, ketukann.(“beat”) yang tetap.
Begitu erat hubungan pembagian waktu yang berlangsung di luar diri kita
dengan irama fisik yang ada dalam diri kita sendiri, sehingga kita namakan
sesuatu “lambat”, kalau apa yang kita alami secara tidak sadar kita bandingkan dengan
kecepatan denyutan jantung kita. Sebaliknya, sesuatu yang berlangsung dalam
bagian-bagian yang dirasakan melampaui gerak denyutan jantung kita, kita
namakan “cepat”. Pembagian waktu yang sesuai dengan gerak ritmis fisik kita
sendiri, disebut mempunyai kecepatan yang “sedang”.
Di dalam musik, gerak cepat,
sedang dan lambat ada sebutannya
sendiri-sendiri. Biasanya yang menggunakan kata-kata bahasa Itali seperti presto = cepat, prestimo = cepat sekali, modrato
= sedang, lento = lambat, dan
masih banyak yang lainnya lagi. Para pembaca dipersilahkan meneliti
istilah-istilah lainnya dalam buku-buku mengenai teori musik, yang sudah
beredar dalam bahasa Indonesia. Jenis-jenis gerak ini dalam musik biasanya
disebut tempo.
Kalau kita main dalam suatu orkes, dan
pemain-pemain tidapat mengikuti kecepatan permainannya, orang mengatakan:
“temponya terlalu cepat”.
Sebaliknya, pembagian berlangsungnya waktu dalam pola-pola tertentu yang
kita sebut irama, tidak bisa cepat
atau lambat. Yang mempunyai sifat cepat atau lambat adalah temponya.
Untuk memudahkan, kita ambil contoh dari pola ritmis dalam musik tari,
yang kita anggap semua mengenalnya. Umpamanya irama tanggo, wals atau gamat
Melayu. Yang dapat cepat atau lambat adalah temponya. Misalnya wals Wina
mempunyai tempo yang cepat. Wals Inggris (English
waltz), temponya lambat.
Akan tetapi yang disebut irama, adalah unsur dalam musik yang “mengalir”
terus, seperti arti kata aslinya dalam bahasa Yunani Kuno rhein = mengalir. Kekuatannya yang motoris terhadap fisik manusia
dari abad ke abad tetap sama.
5 M e l o d i
Unsur melodi dalam musik
diatonis hingga sekarang dianggap orang sebagai yang paling vital. Dengan
sendirinya, kalau kita menyebut melodi, unsur
irama kita anggap sudah berada di dalamnya. Melodi yang tidak mempunyai irama
belum boleh disebut melodi yang baik. Dalam angan-angan manusia, melodi
memperkenalkan diri secara motoris sebagai mengalirnya suatu garis yang
kadang-kadang naik dan kadang-kadang turun, menurut tinggi nada-nada yang
membawanya.
Hubungan rentetan nada-nada satu sama lain menjadi lebih terang, justru
karena gerak nada-nada tadi yang mengalir secara ritmis. Melodilah pula yang
biasanya oleh pendengar musik paling mudah di-“tangkap”. Mungkin oleh karena
kemampuan manusia itu sendiri, yang dengan suaranya, yaitu alat vokalnya,
paling banter hanya mampu menghasilkan suatu suara dalam satu waktu tidak
lebih, bagaimana pun panjangnya, persis seperti sifat melodi yang didengarnya.
Kita merasa lebih tertarik pada suatu pernyataan musik tertentu, kalau
terutama melodinya dapat kita kenal kembali dan tetap tinggal dalam ingatan
kita, walaupun musiknya sendiri sudah lenyap dari udara. Maka dari itu, musik
vokal yang dapat ikut kita nyanyikan biasanya lebih populer daripada musik
instrumental, yang dapat menghasilkan melodi yang kadang-kadang melebihi batas
jelajahan suara manusia. Sebaliknya, musik instrumental yang nada-nadanya
termasuk batas jelajahan suara kita sendiri, yang dapat kita nyanyikan dan
ingat-ingat, dapat juga menjadi populer.
Pengaruh melodi pada publik yang mendengarkan, akan berbeda satu sama
lain, sesuai dengan daya tangkap masing-masing. Daya tangkap ini sangat
ditentukan oleh keadaan jiwa pendengarnya pada waktu itu. Di samping itu juga
oleh pendidikannya, kebiasaannya sehari-hari, alam kehidupan sekitarnya, selera
musiknya, kebangsaannya dan sebagainya. sebuah melodi tertentu yang pada
seseorang dapat menimbulkan perasaan terharu, pada orang lain mungkin tidak
berarti apap-apa, hanya memberi kenikmatan saja. yang terharu itu mungkin
karena teringat pada suatu kejadian sebelumnya, yang sangat menggetarkan
perasaannya pada waktu melodi tersebut terdengar olehnya untuk pertama kali.
Kalau unsur irama mempunyai pengaruh motoris-fisik yang menimbulkan
perasaan yang menimbulkan perasaan yang hampir sama pada pendengarnya, melodi
sebaliknya, diterima manusia dengan apresiasi yang tidak sama. Pengaruh melodi
pada mnusia lebih bersifat kejiwaan.
Unsur melodi ini dapat saja oleh komponis ditambah daya pernyataannya
dengan memberi warna kepada nada-nada yang diperdengarkan. Warna yang dalam bahasa
asing (Perancis) disebut“timbre” (baca:
tembre), dapat dihasilkan oleh penciptanya dengan mempergunakan suara alat
musik tertentu.
Ada beberapa alat musik, yang memang tepat untuk memberi sugesti adanya suasana tertentu, seperti
suasana kelebatan hutan dalam alam terbuka, suasana khidmat, keadaan sedih,
gembira dan lain-lain. Warna yang keluar dari alat-alat musik itu tidak
menetapkan suasana itu sendiri, melainkan lebih memberi tekanan kepada ekspresi
melodinya.
Melodi yang, misalnya, ingin memberi suasana adanya suatu perasaan yang
kita resapi dalam alam bebas, dengan pohon-pohon yang rindang serta sawah-sawah
dan alang-alang yang tertiup angin, akan lebih memberi kesan demikian, kalau si
penciptanya mempergunakan suara seruling. Kesan demikian akan banyak berkurang,
kalau seandainya kita ganti seruling tadi dengan trompet misalnya. Suara
trompet tidak begitu mudah menghsilkan hiasan-hiasan suara seperti seruling,
yang nada-nadanya seakan-akan dapat menyusup ke mana-mana.
Akan tetapi ada kalanya melodinya sendiri sudah merupakan susunan
nada-nada yang indah, sehingga pemberian warna pada suara-suaranya tidak akan
banyak menmbah ekspresinya. Musik klasik ciptaan Mozart atau Haydn misalnya,
merupakan buah-buah musik yang berisi susunan serta permainan nada-nada yang
sudah indah, sehingga simponi klasik misalnya, tidak akan berkurang banyak
nilainya, kalau umpamanya dibuatkan transkripsi untuk permainan piano saja,
mengganti hidangan simponi.
Sebaliknya, musik romantis seperti ciptaan Richard Wagner atau Richard
Strausz akan banyak berkurang daya pernyataannya, kalau orkestrasinya
diganti dengan lain-lain alat musik, yaitu dijadikan transkripsi untuk piano
misalnya. Sebab oleh komponis-komponis tersebut tadi, warna alat-alat musik
memang dengan sengaja dipergunakan sebagai alat ekspresi yang vital.
Ditinjau dari sudut ilmu jiwa yang mempersoalkan “Gestalt” , sebuah melodi harus merupakan suatu Gestalt pula. Apa yang kita terima dari
perkembangan melodi, bukan hanya merupakan jumlah nada-nada saja dengan
ketinggiannya masing-masing.
Untuk pendengar, ketinggian suara nada yang diikuti oleh ketinggian
nada-nada selanjutnya harus memberi suatu kesan. Kesan itu kita dapatkan kalau
kita membiarkan berbagai nada itu mengalir dari suatu nada ke nada-nada
lainnya, sehingga hubungannya satu sama lain tertangkap.
Jarak ketinggian sebuah nada ke nada berikutnya dalam sebuah melodi
disebut “interval” antarnada. Ada
yang memakai istilah “suarantara” untuk
ini dalam bahasa Indonesia. Tidak mengapa, asal kita selalu ingat bahwa yang
dimaksud dengan “interval” atau “suarantara” itu tidak hanya jarak
antara suatu nada ke lain nada saja, akan tetapi juga hubungan serta
“ketegangan” yang disebabkan oleh interval itu. Sebab kalau tidak demikian,
orang akan menganggap, bahwa antara dua nada yang sama tingginya tidak ada
intervalnya. Umpamanya dari nada c ke
nada c itu juga.
Kalau dengan interval itu kita maksud hanya jaraknya saja, antara kedua
nada itu tidak ada selisih tinggi. Padahal, interval antara nada kesatu ke nada
lain yang sama tingginya disebut “prim” (prime), suatu interval juga. Jadi
interval adalah lebih daripada hanya penetapan jarak antara dua nada saja.
Nama berbagai macam interval dapat kita pelajari dari buku-buku teori
musik. Misalnya saja, dari c ke d disebut sekonda ( second, inggris),
dari c ke e dinamakan ters (terts;
third, Inggris), kemudian dari c ke
f merupakan interval kwart ( fourth, Inggris). Selanjutnya kwint
( fifth, Inggris) dan begitu
seterusnya. Nama interval itu juga berlaku untuk nada-nada yang menurun,
umpamanya dari d ke c, juga disebut seconda dan seterusnya.
Besarnya interval dalam sebuah melodi mempengaruhi “rasa tegang” pada
pendengarnya. Melodi yang hanya bergerak dengan seconda demi seconda, memberi
kesan lebih tenang daripada melodi yang mempergunakan interval-interval yang
agak besar. Misalnya saja: c d e f e d c
( do mi sol la fa re do ). Akan tetapi kesan demikian itu, yang kita
terima, juga sangat terpengaruh oleh irama yang ditetapkan pada melodinya.
Persoalan interval yang dihubungkan dengan ketinggian nada-nada yang berbunyi serempak, termasuk dalam
bidang harmoni. Dengan sendirinya,
kalau kita ingin menikmati musik yang kita dengar, jangan kita memikirkan
adanya interval-interval itu.
Melodi yang kita dengarkan, lebih baik kita anggap sebagai suatu
struktur yang hidup, di mana segala pertentangan –pertentangan atau kontrastik
yang ada serta bagian-bagiannya merupakan suatu keseluruhan yang padat, yang
harus mengesankan suatu perkembangan perasaan-perasaan.
Pada saat kita mendengarkan musik demikian, yang melodinya biasanya
menonjol, tidak jarang kita berhadapan dengan suatu proses pembuatan komposisi,
yang mempergunakan kesatuan-kesatuan kecil, yang kemudian dikembangkan menjadi
kesatuan yang besar berdasarkan kesatuan-kesatuan kecil tadi, yang seakan-akan
berkembang sendiri.
Kesatuan-kesatuan kecil seperti itu sesungguhnya yang terkecil dalam
musik, disebut motif. Artinya: pola,
yang yang sudah memberi kesan adanya persaan tertentu pada pendengarnya. Motif
ini tidak perlu harus bersifat melodis, tapi dapat juga mengambil bentuk
harmonis atau ritmis.
Motif sebagai suatu inti yang hidup ini oleh komponis dikembangkan
menjadi kesatuan yang lebih besar lagi. Demikian seterusnya, sehingga
komposisinya merupakan suatu perkembangan perasaan-perasaan yang didasarkan
pada adanya motif kecil tadi.
Motifini selama kita mengikuti kmposisi tiap kali kembali dipergunakan.
Perkembangan motif-motif mengakibatkan terbentuknya kesatuan yang lebih besar
lagi, yaitu yang disebut tema. Dalam
tema ini, perasaan-perasaan yang dikesankan oleh motif tadi dapat dikenal
kembali. pengenalan kembali ini biasanya tidak begitu mudah dikerjakan. Akan
tetapi terang, bahwa motif yang kecil tadi seakan-akan terus ingin menyatakan
dirinya dalam seluruh komposisi.
Perkembangan tema-tema merupakan bentuk lagi sebagai suatu kesatuan yang
lebih besar, yang dinamakan frase atau
kalimat, untuk menggunakan bahasanya
sendiri. Berbagai macam frase ini merupakan keseluruhan lagi yang disebut periode.
Tentu tidak dalam semua ciptaan dapat dengan mudah kita temukan
penggarapan motif sebagai dasar struktur komposisi seluruhnya. Dan memang tidak
semua komponis dengan sadar menggunakan motif sebagai dasar komposisinya.
Banyak terdapat komposisi yang sama sekali tidak mendasarkan strukturnya pada
motif.
Di dalam mendengarkan sebuah komposisi, pendengar ketika sedang
menikmatinya, tidak perlu mencoba menganalisa, mana motifnya, mana temanya dan
sebagainya. pengetahuan mengenai adanya motif-motif ini cukup kita miliki dan
sadari saja pada waktu kita menikmati musik. Kecuali kalau kita memang ingin
mengadakan penyelidikan mengenai struktur sebuah komposisi, kita memang harus
mengadakan analisa mengenai motif, tema, frasenya dan sebagainya.
6.
H a r m o n i
Harmoni merupakan bidang yang tidak mudah dipelajari dalam musik. Karena
kita pun memang bukan bermaksud untuk mempelajari harmoni, di sini harmoni akan
kita coba persoalkan, sejauh yang kita perlukan untuk mengenal fungsi harmoni
itu dalam mendengarkan musik.
Persoalan interval yang telah kita singgung dalam uraian tentang melodi,
di sini kembali kita bicarakan. Kalau dalam melodi interval itu berlangsung
dalam waktu, bergerak seakan-akan horisontal seperti melodi itu sendiri, dalam
harmoni, interval berada pada nada-nada yang berbunyi pada waktu yang sama.
Dalam para nada, titinada yang dimaksud bersuara serempak, ditulis
bertumpuk dalam suatu garis vertikal. Nada tertinggi paling atas seperti contoh
di bawah ini:
Akor Paranada
Dalam pendengaran kita, suara serempak
memberi kesan perlunya ada ruangan untuk
menampung suara banyak yang berbunyi serempak itu. Kalau melodi memberi kesan
adanya perkembangan satu garis naik turun, suara serempak memberi kesan adanya
perkembangan beberapa garis yang
memerlukan ruanga. Ruangan itu seakan-akan diperlukan untuk ditempati oleh
interval-interval suara-suara serempak itu.
Dalam musik diatonis Barat, harmoni
merupakan unsur yang khas. Di dalam musik Asia
pada umumnya, melodilah yang merupakan unsur ekspresi yang utama. Orang
Asia memperlakukan melodinya sedemikian rupa, sehingga dapat dipergunakan untuk
menyatakan segala macam ekspresi . suara serempak yang terdengar dalam musik
Asia dianggap terjadi secara kebetulan saja oleh orang Barat. Tidak merupakan
unsur yang konstruktip. Tentu saja dalam musik Asia ada harmoni, akan tetapi
harmoni yang bersifat lain kalau dibandingkan dengan harmoni diatonis Barat.
Perkembangan harmoni di negeri-negeri Barat
mengalami kemajuan pesat, sesudah manusia Barat mengganti interval-intervalnya
tangga nada yang murni dengan interval-interval yang “tidak murni” lagi, akan
tetapi yang memberi kesempatan menggarap harmoni secara leluasa disesuaikan
dengan kepentingan-kepentingan praktek musik.
Pada waktu dulu, interval-interval murni,
misalnya dari c ke d sampai e. Dengan interval yang tidak sama itu, bagaimana orang dapat
beralih tangganada, umpanya akor c e g (
do mi sol ), tidak sama besar interval-intervalnya, kalau dibandingkan dengan d fis a ( re fi la ), yang seharusnya
sama. Orang jadi tidak dapat mengadakan apa yang disebut modulasi, yaitu beralih tangganada.
Oleh karena itu, dalam abad ke XVIII timbul
usaha untuk menyederhanakan interval-interval, yang dibuat sama semua, dengan
semua kromatiknya.
Sama besar intervalnya dari c ke cis,
cis ke d, dari d ke dis,
dis ke e dan begitu seterusnya.
Sebelum itu, interval c ke d saja sudah tidak sama dengan interval
dari d ke e. Dengan sendirinya c ke
cis pun tidak sama dengan interval d ke dis. Mulai
waktu itulan semua interval kromatis disamakan. Betul nada-nadanya jadi tidak
“murni alam” lagi bunyinya, tetapi dengan cara begini kesempatan untuk
bergeraknya harmoni menjadi lebih banyak daripada sebelumnya.
Dengan dibuatnya piano yang dilaras menurut
sistem interval yang sama ini, orang dapat dengan leluasa mengambil sembarang
nada sebagai nada dasarnya. Larasan demikian disebut larasan yang“weltempered”. Larasan inilah yang
dipakai hingga sekarang.
Kita jangan kaget kalau diberi tahu, bahwa
nada-nada piano sekarang yang kita anggap “murni” itu, sebetulnya sama sekali
tidak murni. Dengan tidak sadar, telinga manusia memerlukan lebih banyak tenaga
untuk mendengarkan nada-nada yang tidak murni sebagai murni. Telinga manusia
memang peka, akan tetapi karena kebiasaan, seleranya bisa berubah dengan cepat.
Dalam abad sekarang ini, abad ke-20, dalam beberapa kalangan musisi di Eropa
timbul usaha-usaha untuk memainkan musik secara murni kembali.
Harmoni sebagai unsur musik sebagai unsur
musik, kebanyakan dipergunakan untuk menambah ekspresi melodi yang menjadi
dasar perkembangan harmoni itu. Melodi sendiri sebetulnya terdiri dari
nada-nada yang dalam perkembangannya sebagai melodi sudah membawa harmoninya
sendiri secara latent, yaitu secara
terpendam. Tiap nada di dalam geraknya dalam melodi pada umumnya tentu membawa
suara bas, sebagai salah atu suara
harmoni dengan nada terendah. Orang yang yang musikal biasanya dengan mudah
dapat membunyikan nada-nada bas yang tersembunyi dalam gerak nada-nada sebuah
melodi. Pemain bas dalam band pop dapat merasakan, nada-nada mana saja yang
harus dibunyikan sebagai bas, ketika mengiringi perkembangan melodi yang
dimainkan oleh band.
Akor sebagai perpaduan
nada-nada yang berbunyi serempak merupakan dasar harmoni ini. Orang yang main
dalam sebuah band pop dengan iringan gitarnya, pada umumnya dapat menerka
sendiri, akor-akor apakah yang perlu dibunyikan.
Pada dasarnya, akor sebagai perpaduan
suara, yang terdiri dari tiga nada atau lebih, ada yang memberi banyak rasa
tegang, dan ada yang “kurang harmonis” atau “tidak harmonis” terhadap satu sama
lain.
Misalnya: nada c dipadukan dengan nada e dan
g, jadi c e g. Kemudian ditambah lagi dengan nada a. Jadi c e g a (do mi
sol la). Perpaduan nada-nada ini tentu memberi perasaan yang lebih menegangkan
daripada perpaduan c e g saja.
Akor c-e-g
(do mi sol) dirasakan lebih harmonis daripada akor c-e-g-a (do mi sol la). Oleh karena nada c, yang dipergunakan dalam musik, baik yang keluar dari alat-alat
musik maupun sebagai suara manusia, yang kita dengar sebagai nada c itu, sebetulnya pada umumnya dalam
anatominya masih terdiri dari lain-lain anak nada. Yaitu yang terpenting,
adalah c’, g’ dan e’. Ketiga anak
nada ini merupakan yang terkuat, meskipun tidak terdengar oleh telinga kita
secara tegas. Memang yang kita dengar hanyalah nada c saja. anak-anak nada itu dalam bahasa Inggris disebut “partial” atau “harmonic”, jadi kira-kira sama dengan “nada angan-angan”.
Adanya akor yang kedengaran “harmonis” dan
akor lainnya yang dirasakan “kurang harmonis”, menyebabkan dibedakannya dua
jenis akor. Jenis yang satu disebut konkor,
yang lainnya diskor. Secara
populer orang mengatakan: konkor adalah
akor yang enak didengar, sedangkan diskor adalah akor yang tidak enak didengar.
Anggapan seperti itu ternyata tidak dapat
dipersalahkan terus. Sebab akor yang sekarang disebut diskor, mungkin beberapa
waktu lagi sudah dirasakan sebagai konkor. Kalau dulu c-e-g-a (do mi sol la) terdengar sebagai diskor, sekarang sudah
terasa sebagai hal yang biasa , jadi sudah menjadi konkor. Malahan tidak jarang
terjadi, band-band pop mempergunakan akor c-e-g-b
(do mi sol si), yng oleh publik pun tersa sebagai biasa pula, kedengaran “enak” juga.
Karena itu, lebih baik kita mempergunakan
istilah ketegangan dalam hal ini.
jadi konkor adalah suara serempak yang paling sedikit memberi ketegangan. Kalau
sebuah akor terasa mengandung lebih banyak ketegangan, akor demikian cenderung
untuk menjadi diskor. Umum lebih mengenal istilah konsonan dan disonan. Kata-kata
ini sebetulnya hanya dipergunakan untuk hubungan antara dua buah nada saja. c-g adalah konsonan, c-e-g adalah
suatu konkor.
Malahan banyak komponen yang dengan sengaja
mempergunakan dissonan-dissonan dalam komposisi-komposisinya untuk menambah
ekspresi ciptaannya, apalagi komponis-komponis zaman Romantik. Harmoni yang
sederhana, yang mudah “ditelan”, memberi kesan ketenangan, dan kadang-kadang
juga kesan khidmat. Sebaliknya harmoni yang rumit susunannya, memberi kesan
tegang, gelisah dan sebagainya. penggarapan harmoni dapat memberi dinamik pada
perasaan pendengar-pendengarnya. Inilah salah satu fungsi harmoni dalam suatu
komposisi yang dipergunakan pencipta.
Selain daripada itu, harmoni memberi
tekanan kepada kekuatan nada dasar. Nada dasar ini dipergunakan dalam sebuah
komposisi untuk akhirnya diselesaikan dengan kembalinya nada dasar sebagai
penutup. Sekaligus juga sebagai penetapan “tonalitas”
daripada ciptaan tersebut.
Sebuah komposisi yang mempunyai tonlitas
tertentu, misalnya nada dasarnya d mayor,
biasanya diakhiri dengan akor dalam d
mayor juga, yaitu akor yang terdiri dari nada-nada d – fis
– a (re – fi – la, yang mempunyai
interval sama dengan do-mi-sol). Meskipun dalam perkembangan
komposisinya berbaga macam akor dipergunakan, akhirnya akor-akor tersebut toh
digiring kembali ke akor d mayor tadi.
Pendengar karenanya jadi merasa tenang kembali dan sekaligus merasanakan pula
tonalitasnya.
Sebutan d
mayor dalam musik dipergunakan untuk
membedakannya denga apa yang disebut d
minor. Akor d mayor terdiri dari
paduan nada-nada: d-fis-a, sedangkan
akor d minor dari paduan nada-nada: d – f – a. Akor d mayor kedengarannya seperti re-fi-la
atau do mi sol. Akor d minor seperti re – fi – la atau la-do-mi.
Dalam akor minor interval ,
pertama dalam akor d mayor diminorkan (dikecilkan) setengah nada, jadi: d-f-a (d minor).
Bukan hanya nada-nada yang berbunyi
serempak saja yang termasuk bidang harmoni. Perlakuan dua melodi yang berbunyi
serempak, akan tetapi serasi, digolongkan ke dalam bidang harmoni. Berbunyinya
dua melodi yang berlainan satu sama lain pada waktu yang bersamaan, yang serasa
serasi oleh pendengarnya disebut “counterpoint”
Inggris). Orang Jerman menamakannya “Kontrapunkt”.
Pada dasarnya, pada permainan antara
akor-akor yang berkembang secara mengembara dan akor-akor yang perlu mendapat
penyelesaianlah letak dinamika harmoni dalam suatu komposisi dan sekaligus
memberinya suatu pernyataan hidup.
Di dalam perkembangan sejarah musik, meldi
dan harmoni berganti-ganti pegang pimpinan dalam dunia komposisi. Pada zaman
klasik, melodilah yang memegang peranan penting. Cara komposisi demikian
disebut “homofonis”. Ada kalanya
berbagai macam suara yang dipergunakan dalam suatu komposisi , mempunyai hak
yang sama di dalam penonjolan diri masing-masing. Kita sebut cara ini “polifonis”.
Khusus dalam zaman impresionisme, harmonilah justru yang memegang peranan penting,
meskipun tidak dapat dilepaskan penonjolan melodi kadangkala, yang seringkali
menghilang, dirangkul oleh harmoni yang ingin kembali menyatakan diri
(komposisi Debussy). Sesudah zaman
impresionisme sampai sekarang, agaknya melodilah lagi yang menetapkan sikap
pokok komposisi.
7.
I n t e r v a l
Dalam uraian-uraian mengenai unsur-unsur vital dalam musik, ternyata
intarval (antarnada) mempunyai fungsi yang memberi bentuk pada suatu komposisi.
Intervallah lagi yang menetapkan bentuk melodi. Demikian pula halnya dengan
penetapan harmoni. Malahan dalam bidang penelitian mengenai musik sebagai suatu
ilmu (musiklogi), intervallah lagi
yang sering menjadi obyek untuk dipelajari.
Malahan dalam ethnomusikologi, yaitu
ilmu mengenai musik berbagai-bagai bangsa, khususnya bangsa-bangsa atau suku
bangsa yang dianggap masih mempunyai bentuk-bentuk musik yang asli, interval
merupakan bahan perbandingan antar musik-musik itu.
Dunia industri telah berhasil membuat
alat-alat untuk mengukur interval-interval itu sampai setepat-tepatnya. Yang
ditetapkan dalam ukuran itu adalah frekuensi nada-nadanya di dalam hubungannya
satu sama lain. Ternyata, bahwa jumlah getaran tiap-tiap nada di dalam
hubungannya satu sama lain dalam suatu larasan yang murni menunjukkan angka-angka dalam imbangan yang mudah diteria,
oleh karena merupakan angka-angka yang sederhana. Juga perpaduan dua nada murni
dirasakan cocok, kalau imbangan frekuensi tiap-tiap nada tadi menimbulkan suatu
imbangan yang sederhana. Makin tidak sederhana imbangan itu, makin banyak
paduan nada-nada itu menimbulkan rasa tegang pada kita.
Dalam uraian terdahulu sudah pernah kita
singgung tentang harmonics, yang kita
sebut “anak nada”. Adapun sebuah nada
tertentu mempunyai anak-anak nada seperti berikut. Kita ambil sebagai contoh
nada c. Nada c ini
memuat anak-anak nada c’, kemudian g’,
c’’ , e’’, g’’, bes’’, c’’’, d’’’ dan seterusnya.
Ternyata, bahwa imbangan frekuensi antara
nada dasar, yaitu c, dengan harmonics-nya berturut-turut merupakan
imbangan yang teratur sekali. Yaitu 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan begitu seterusnya,
seperti ikhtisar di bawah ini.
c c’ g’
c’’ e’’ g’’
bes’’ c’’’ d’’’
dst...
nada
anak anak anak
dasar nada
nada nada
imbangan frekuensi
1
2 3 4
5 6 7
8 9 dst...
Dari ikhtisar di atas dapat disimpulkan bahwa
:
Interval : =
imbangan frekuensi :
c : c’ (
oktaf ) = 1 :
2 ( do do’ )
c : g (
kwin ) = 2 :
3 ( do sol )
c : f (
kwar ) = 3 :
4 ( do fa )
c : e
(ters besar) = 4 :
5 ( do mi )
c : es (ters kecil) = 5 : 6 (
do ri atau re fa )
c : a
(seks besar) = 3 :
5 ( do la atau sol mi’ )
c : as ( seks kecil) = 5 : 8 (
do sel atau mi do’)
perpaduan nada-nada, umumnya c dan d, yang di telinga kita “memberi keterangan yang banyak”, tentu
akan menunjukkan imbangan angka-angka pecahan, atau mungkin mengandung imbangan
angka-angka yang “rewel” seperti 7, 11, 13 dan selanjutnya, atau angka-angka
dari 8 ke atas.
Kita lihat, bahwa hukum-hukum dalam musik
mengatur segala-galanya sendiri secara wajar. Makin sederhana angka-angka
imbangan, makin mudah terserap pada telinga kita.
Untuk mengadakan penelitian mengenai
besarnya interval-interval ini, palagi untuk mengadakan perbandingan antara
berbagai macam bangsa, angka-angka frekuensi nada-nada terlalu sukar dipakai
untuk mendapatkan gambaran visual sisim-sistim nadanya.
Coba saja, angka-angka frekuensi ini: satu
nada yang berfrekueni 116 dan satu nada lago dengan
frekuensi 193 . orang tidak dapat cepat
berkesimpulan, bahwa interval yang dibentuk oleh keadaan nada tadi merupakan
satu seks. Kedua angka itu tidak lain daripada suatu imbangan 3 lawan 5. Coa
saja hitung!
Oleh Alexander
Ellis, seorang ahli ilmu bahasa dan ahli ilmu pasti berbangsa Inggris,
kemudian ditemukan cara baru. Obyek yang diukur bukan frekuensi nada-nadanya,
mealinkan dari satu nada ke lain nada.
Ellis membagi jarak
antara nada yang satu ke nada lainnya, umpamanya dari c ke d dalam larasan
diatonis yang dipakai sekarang ini, dalam 200 jarak-jarak kecil, yang
disebutnya cents. Jadi interval c sampai d meliputi 200 cents (baca: sents).
Dengan sistim ini kita mendapat gambaran
visual dari suatu sistim. Untuk mengambil contoh, larasan sistim diatonik Barat
sekarang adalah dengan mempergunakan cents
seperti berikut :
c 200 d 200 e 100 f
200 g 200 a 200
b 100
c’ .
do re mi fa sol la si do’ .
ukuran cara Ellis ini tentu lebih mudah dimasukkan ke dalam angan-angan kita
daripada kalau kita meneliti angka-angka frekuensi tiap-tiap nada. Oleh
karenanya, kita dapat lebih mudah “menggambarkan” interval sistim-sistim musik
bangsa-bangsa, yang menggunakan interval-interval yang berbeda dengan interval
diatonik Barat dalam menggunakan interval-interval yang berbeda dengan interval
dianotik Barat dalam tangganadanya. Di dalam pendengaran kita.
Ada bangsa yang mempergunakan interval dari
nada yang satu ke nada lainnya, yang besarnya lebih dari 200 cents. Sebaliknya
ada juga interval yang lebih daripada
100 cents. Telitilah misalnya dengan seksama interval-interval dalam gamelan
kita sendiri. Secara teoritis, 240 cents. Di negara-negara Barat pada waktu
sekarang telah lebih dari 20 tahun dicoba pembuatan tangganada yang memuat 31
nada dalam suatu oktaf. Di dalamnya terdapat interval yang besarnya hanya 77 cents!
Orang yang biasa menggunakan tangganada
diatonis Barat misalnya menganggap, bahwa nada-nada dalam selendro berbunyi
seperti c d e g a c’ atau do re mi sol la do’. Ini menandakan
bahwa manusia normal yang mempunyai pendengaran musikal biasa saja, tidak mudah
mendengar adanya selisih interval belasan atau beberapa puluhan cents, yang
secara psikologis dirasakan kurang atau tidak begitu banyak mempengaruhi
pendengarannya.
Namun demikian, manusia dalam abad kemajuan
sekarang ini sudah tidak puas lagi dengan pembagian jelajahan suara musik dalam
interval-interval yang itu-itu juga. Manusia ingin mencari rangsang baru. Sudah
berpuluh-puluh tahun lamanya oleh beberapa musisi di Barat diusahakan untuk
membagi interval suara nada diatonis Barat, misalnya dari c ke d, menjadi empat
buah inyerval yang sama!
Komposisi yang timbul karena adanya
interval-interval yang kecil itu digolongkan dalam aliran mikrotonalitas (mikro = kecil). Untuk telinga orang banyak
komposisi-komposisi demikian tentu akan menimbulkan kegelisahan-kegelisahan
musikal baru, yang sensasional sekali. Kita mungkin tidak akan tahu lagi,
apakah si pemain akan menghidangkan komposi-komposi yang demikian secara benar
atau tidak.
8.
Musik Sebagai Suatu
Jenis Kesenian yang Agresip
Manusia di mana pun dia berada, hampir tidak dapat mengelak diri dari
mendengar musik. Sebab musikdhidangkan lewat radio, televisi, tape-recorder,
pick-up, hidangan-hidangan konser, pertunjukan-pertunjukan yang diiringi dengan
musik, pesta dan sebagainya. manusia zaman sekarang mungkin harus melarikan
diri ke rimba raya agar dapat menghindarkan diri dari serangan musik, sebab
daya serang musik jangan kita anggap kecil artinya.
Suara sebagai bahan musik menembusdinding, dan jarak bebera pun jauhnya.
Musik yang diputar pada piringan hitam di Amerika, dengan lewat radio, sampai
juga pada pendengaran manusia yang ada di tanah air kita, mau atau tidak. Musik
ternyata merupakan salah satu jenis kesenian yang agresip sifatnya dari seni
rupa atau seni tari, mengharuskan manusia yang ingin menikmatinya, paling
sedikitnya mengeluarkan tenaga untuk membuka matanya lebih dahulu. Lagi padangan
mata tidak dapat menembus dinding. Tapi sebaliknya, meskipun kita tidak mau,
kita masih dapat mendengar uara musik, meskipun kita berbaring di tempat tidur
dengan menutup mata, jauh dari sumber suara musik itu sendiri.
Jenis seni yang lain, yang menggunakan suara sebagai bahannya, misalnya
seni deklamasi, masih juga mengandung faktor-faktor yang menghambat agresinya.
Faktor itu adalah, pengertian dari apa yang dimaksudkan oleh sajak yang
dideklamasikan. Tandanya, kita sama sekali tidak dapat “terserang” oleh
keindahan sebuah sajak yang dideklamasikan, kalau kita tidak mengerti
bahasanya.
Suara musik sebagai suara saja memiliki kekuatan sendiri dalam
nada-nadanya yang tersusun secara ritmis,
melodis, harmonis, koloristis serta dinamis,
tidak hanya merupakan gambaran suatu emosi, akan tetapi sudah merupakan
emosi itu sendiri. (Koloritas = penggunaan
suara), yaitu pemakaian alat-alat musik tertentu. Dinamis = dengan hubungannya dengan kekuatan nada, keras atau
lemah.) Jadi, suara musik mempunyai kekuatan yang otonom, yang langsung menyentuh pendengarannya, secara fisik maupun
secara psikologis.
Kenikmatan yang dialami oleh publik yang mendengarkan musik mempunya
aneka sifat. Sebagian dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam diri manusia itu
sendiri, sebagian lagi dari luar. Ini sesuai dengan kenyataan, bahwa publik
terdiri dari berbagai macam manusia, dari mulai pemangkas rambut, seniman
sampai kepada yng cerdik pandai.
Akan tetapi, kenikmatan itu apada umumnya terdiri bagian. Bagian pertama
adalah keindahan yang dinikmati manusia disebabkan oleh keindahan susunan
suara-suara musik itu sendiri sebagai suatu organisme yang hidup. Yaitu
indahnya melodi, rasa keserasian pada waktu kita meresapkan paduan suara dan
warna-warnanya, kewajaran suatu pernyataan yang berlangsung dalam waktu seperti
hidup. Penyerapan keindahan yang demikian termasuk dalam bidang-bidang
hukum-hukum keindahan yang organis. oleh
karena mengenai mengenai organisme itu sendiri.
Kenikmatan kedua berlangsung pada waktu kita meresapkan keindahan, yang kita dapatkan dari emosi yang terbawa
oleh susunan nada-nada dalam musik itu. Emosi yang kita coba tangkap sebagai
keharusan kita sendiri. Mungkin inilah yang dimaksudkan orang dengan “makna”
atau “sari” atau “arti” musik yang didengar. Komponisnya sendiri mungkin tidak
mempunyai maksud memberi maka atau arti pada ciptaannya. Keindahan yang
demikian memang tidak mudah untuk diterangkan, apalagi kepada mereka yang tidak
pernah merasa terharu oleh musik.
Keharuan yang bercampur dengan kekaguman mungkin. Suatu rasa mengenai
sesuatu yang tidak diketahui rasa apa itu sebetulnya, akan tetapi yang terasa
indah sekali oleh penyerapnya. Seperti misalnya sensasi yang timbul di hati
kita pada waktu sebuah bintang bergerak pindah tempat dengan menggoreskan
cahaya di langit pada waktu malam yang cerah secara tiba-tiba hanya untuk
sekejap.
Persoalan mengenai peresapan keindahan yang melibatkan emosi kita ini
termasuk hukum-hukum keindahan yang
emotip. Contoh pindahnya sebuah bintang di langit tadi tentu jangan
diartikan, bahwa keindahan musik itu
sama atau sesuai dengan keindahan sinar bintang pindah itu. Oleh karena, itu
hanya untuk mencoba menjelaskan proses lahirnya sensasi yang dimaksudkan, dalam
bidang estetika (pengetahuan mengenai
keindahan) saat diresapkannya keindahan demikian dalam diri manusia pada
umumnya disebut “saat estetis”. Orang
menganggap, bahwa saat estetis inilah yang harus kita tangkap dan manfaatkan
serta pertahankan selama mungkin di saat kita menikmati musik.
Keindahan yang bersifat emotip ini dapat menjelma dalam berbagai-bagai
sifat dan suasana perasaan. Rasa terharu oleh karena musik yang didengarkan
begitu mengesankan sesuatu yang dramatis, menimbulkan suatu proses yang berisi
konflik yang perlu penyelesaian, sampai pada kesan, sesuatu yang mengagumkan
karena menyentuh perasaan pendengarnya dengan dahsyat. Pendeknya segala sesuatu
yang menyebabkan pendengarnya menjadi terharu.
Meskipun ada dua proses dalam penyerapan keindahan bentuk keindahan
kesenian, yaitu yang organis dan yang emotip, kita janganlah menganggap, bahwa
proses yang bersifat emotip ini baru berlangsung sesudah kita mengalami proses
yang bersifat organis. kedua proses sebetulnya berlangsung bersama-sama, baik
proses yang menyentuh indera kita, maupun proses yang menyebabkan kita
tenggelam ke dalam soal-soal yang abstrak, seakan-akan kita tidak lagi berada
lagi dalam suatu dunia yang nyata, jauh serta mendalam di alam kerokhanian,
yang hanya terdapat dalam musik yang baik.
Meskipun kenikmatan yang kita peroleh dari mendengarkan musik mengalami
intensitas yang terkuat pada waktu kita mendengarkan, kenikmatan masih dapat
kita alami sesudah musiknya selesai dihidangkan. Perasaan terharu sesudah itu
dengan sendirinya tidak lagi bersifat dahsyat seperti pada waktu kita
mendengarkan, akan tetapi ingatan kepada keindahan yang telah didapatkan
memberi berbagai macam persoalan untuk dipikirkan kepada kita.
Buat manusia yang berbudaya, keadaan demikian memberi suatu kenikmatan
kultural, yang tentunya lain sifat dan intensitasnya kalau dibangkan dengan
kenikmatan meresapi keindahan yang menyerang hatinya pada waktu mendengarkan.
Tinjauan-tinjauan tadi serta ingata kepada keharuan yang dialaminya
dapat memberi dorongan mental yang segar, dapat pula memberi ide-ide kultural
yang baru, yang sebelumnya tidak terpikirkan. Musik yang baik dapat merupakan alat pemurnian rasa,
jiwa dan rokhani manusia.
9.
Pendengar yang
Musikal
Publik yang mendengar suatu hidangan musik dapat terdiri dari
orang-orang yang musikal, kurang musikal atau mungkin saja orang-orang yang
tidak musikal. Biasanya orang-orang yang
musikal pergi ke suatu hidangan musik atas kemauan sendiri. Yang kurang
musikal, menjadi pecinta musik, dan yang mengunjungi konser musik atat kemauan
sendiri pula. Yang tidak musikal pun ada juga yang menjadi publik pendengar
konser, misalnya kalau ria perlu mengantar teman atau keluarga yang gemar
musik.
Dari ketiga jenis pengunjung konser itu, tentunya yang musikallah yang
akan mendapatkan kenikmatan sebanyak-banyaknya, sedangkan yang tidak musikal
dan tidak senang kepada musik mungkin tidak akan mendapatkan kenikmatan
apa-apa. Malahan dalam banyak hal mungkin menjengkelkan dirinya. Masih untung,
kalu ornga seperti itu hanya tidak terbuka hatinya dalam hal meresapi keindahan
musik saja tetapi misalnya hatinya masih terbuka untuk keindahan bentuk
kesenian lain, umpamanya seni drama. Jadi ia hanya tidak musikal saja. sebab
ada kalanya, seseorang tidak dapat menikmati keindahan bentuk seni apap pun,
apakah itu seni musik, seni drama, seni sastra, seni rupa. Itu pun masih belum
begitu celaka, sebab mungkin dia masih dapat menyerap keindahan alam. jadi ia
hanya tidak artistik saja. sebab, keindahan tidak hanya dihasilkan oleh
pernyataan kesenian saja. juga alam terbuka kaya raya dengan keindahan yang
menajubkan, yang diciptakan Tuhan untuk dinikmati manusia.
Manusia itu sendiri ikut menciptakan keindahan juga, yaitu dalam
bentuk-bentuk pernyataan seni. Kalau dalam menikmati keindahan alam sebagai karunia Tuhan pada manusia tak
timbul keinginan untuk meneliti sumber-sumber dan proses terjadinya keindahan itu,
karena adanya kesadaran hatinya bahwa segalanya memang sudah seharusnya
demikian, maka dalam menikmati keindahan yang dicipta manusia dalam bentuk
pernyataan seni, pada manusia masih timbul keinginan untuk meneliti sumber
hakekat seni serta proses terjadinya keindahan seni itu, yang dibuat oleh
sesama manusia dan yang dianggap berada di dalam kemampuan pula untuk diraba
rahasianya, dengan maksud agar dapat lebih banyak menikmati keindahannya.
Demikian pula persoalannya dengan manusia di dalam usahanya untuk lebih
dapat menikmati keindahan yang diciptakan dalam bentuk musik. Hanya mereka yang
musikallah yang membunyai bekal untuk meraba lebih mendalam dalam soal-soal
abstrak yang berada di belakang susunan nada-nadanya. Akan tetapi antara
musikalitas dan kemampuan untuk menangkap sesustu yang terpendam dalam bentuk
pernyataan musik masih ada jarak yang harus dilalui terebih dahulu.
Yang lulus ujian masuk lembaga pendidikan musik hanyalah orang yang
berhasil menempuh test yang memperlihatkan, bahwa ia mempunyai bekal cukup
untuk menerima pelajaran-pelajaran musik. Apakah itu bekal untuk memainkan alat
musik, untuk menjadi kompunis atau untuk menjadi seorang kompunis atau untuk
menjadi seorang yang akan mendapat didikan musikal analitis di dalam menghadapi
kewajaran buah-buah pernyataan musik.
Manusia yang mempunyai bekal musikalitas dapat mengembangkan bekalnya
itu dengan bekerja keras. Diharapkan daripadanya ada suatu kemauan untuk
berlatih, untuk bergiat, sebagai suatu usaha surplus daripada hanya memiliki
tanda-tanda musikal saja, yang pada dasarnya baru terdiri dari: memiliki
kepekaan terhadap berbagai bentuk ritme, kepekaan terhadap interval, melodi,
harmoni serta mempunyai pendengaran yang baik. Manusia yang memenuhi
syarat-syarat pokok ini tidak dapat diharapkan berhail baik dalam pendidikannya.
Demikian juga syarat-syarat untuk seorang pendengar musik yang baik di
dalam menghadapi hidangan-hidangan musik yang ingin dia resapkan keindahannya.
Dia tidak bisa hanya mendengarkan musiknya dengan pasip. Dia tidak bisa hanya
membiarkan susunan nada-nada menyusup ke dalam kalbunya dengan sikap mental
yang menerima saja. dan dia hanya dapat berhasil dalam hal itu, kalau dia dapat
menyelami kewajaran atau logika bentuk pernyataan musik yang didengarnya.
Musik terdiri dari susunan nada-nada yang mempunyai sifat cepat berlalu.
Bahan-bahannya pun tidak dapat diraba. Dia datang dan menghilang seketika itu
juga. Yang ketinggalan pada pendengarnya biasanya hanya ingatan pada yang baru
didengarnya saja. ini yang membuat manusia ingin mengulangi mendengarnya dalam
kesegarannya untuk menikmatinya kembali, dan kalau mungkin, untuk
melipatgandakan kenikmatannya.
Sifat cepat hilangnya musik ini memaksa pendengarnya untuk memperkuat
ingatannya terhadap apa yang telah musikal berlalu. Tanpa mempunyai kekuatan
ingatan demikian, pendengar tidak akan mudah menyelami hubungan antara apa yang
telah berlalu dan apa yang masih akan didengar. Oleh karena itu, diperlukan
adanya konsentrasi pada apa yang didengar. Tapi usahanya tidak boleh berubah
menjadi suatu sikap untuk mengadakan analisa dengan mempergunakan pikiran. Yang
menganalisa pada waktu menikmati musik bukan otak kita, melainkan mental serta
jiwa kita. Bahwasannya otak kita pada waktu mendengarkan musik tidak tinggal
diam samasekali, itu tak perlu dikatakan lagi.
Konsentrasi pada apa yang didengar harus tetap dipertahankan hanya
sampai pada soal-soal yang musikal saja. segala penyelewengan di dalam
konsentrasi ini kepada soal-soal yang berada di luar musik akan mengurangi
kenikmatan musikalnya. Umpamanya saja, mental dan jiwa kita tertarik ke arah
bayangan-bayangan yang bersiafat visual menarik atau ke arah
pengertian-pengertian yang dikesankan oleh judul buah musik itu.
Dengan memusatkan sikap mental kita ke arah inti musik itu sendiri, kita
akan mengalami sesuatu yang belum pernah kita alami sebelumnya. Seperti suatu
perasaan atau keadaan kejiwaan yang begitu mudah, yang hanya terdapat gerak
suatu komposisi yang baik-baik saja.
Mengarahkan konsentrasi kita agar
bersikap demikian untuk kebanyakan pendengar memang tidak mudah, sebab lebih
mudah melayangkan diri ke arah bayangan-bayangan yang visual. Akhirnya yang
menarik mungkin bukan musiknya lgi, melainkan bayangan-bayangan itu. Apalagi
kalau mendengarkannya itu di dalam suatu gedung atau tempat lain yang menyulitkan kontrasi. Apakah itu
karena suasana dalam gedungnya ataukah sifat musiknya sendiri yang dihidangkan.
Publik musik pop, musik di restoran-restoran, biasanya mudah di bawa ke
bayangan-bayangan visual demikian. Yang mereka nikmati bukan lagi musiknya,
melainkan bayangan atau khayalan yang menarik, nisalnya, penyanyi wanita yang
genit, yang memberi asosiasi bulan purnama, piknik, berkencan dan sebagainya.
Maka mengertilah kita sekarang, mengapa justru musik-musik demikianlah
yang menjadi populer sekali. Cara mendengar publik seperti itu tidak harus
berarti nilai artistik musiknya kurang, sebab nilai artistik kadang-kadang kita
temukan juga dalam musik pop, termasuk cara menghidangkannya.
Tidak boleh kita lupajakan pula, bahwa bayangan-bayangan yang berada di
luar musik kita dapatkan pula dari muik seriosa yang digolongkan ke dalam apa
yang dalam bab-bab terdahulu disebut “musik
programa”. Malahan di sini justru itulah yang diinginkan oleh
komponis-komponisnya, yaitu agar musiknya memberi kesan adanya suasana alam
terbuka, sifat beberapa jenis hewan tertentu dan sebagainya. komponis Berloz, Saint Saens, malah juga Beethovwn, pernah menciptakan musik yang
termasuk musik programa. Akan tetapi bentuk pernyataan musiknya itu begitu baik
dinilai dari sudut artistik, sehingga karya-karyanya, tanpa mengingatkan pada
soal-soal yang berada di luatmusik pun, sudah merupakan keindahan tersendiri.
Lain halnya dengan karya-karya yang memberi kesan peperangan, misalnya
dengan meniru suara senapan dan meriam dengan alat-alat perkusi seperti
terdengar seperti betul-betul suara senapan dan meriam. Karya demikian dianggap
komposisi musik, melainkan imitasi belaja,
10. Beberapa Penngaruh Pada Pendengaran Musik Publik
Dalam uraian terdahulu telah disinggung, bahawa ada faktor-faktor yang
memberi pengaruh kepada sifat pendengaran publik dalam mendengarkan musik. Ada
pengaruh yang datangnya dari luar, ada pula yang dari pendengar itu sendiri.
Faktor-faktor di luar diri pendengar yang terpenting adalah tempat musik itu dihidangkan,
selanjutnya jenis musik itu sendiri.
Faktor-faktor yang mempunyai pengaruh pada pendengaran dan datang dari
pendengar sendiri ialah terutama musikalitas
pendengar, kedudukan sosialnya, dan
keadaan jiwanya pada waktu
mendengarkan.
Bahwa tempat sangat besar pengaruhnya pada pendengaran dapat kita
bayangkan, kalu kita misalnya mendengarkan sebuah hidangan musik yang serius di
tempat-tempat yang ramai, seperti di pasar malam, di restoran, atau di tempat
pesta. Soalnya, pendengar tidak dapat memusatkan perhatiannya pada apa yang
dihidangkan.
Tempat yang terbaik untuk mendengarkan musik adalah sebuah gedung yang
khusus diperuntukkan guna menghidangkan sajian musik. Gedung seperti itu
disebut gedung konser. Segala sesuatu yang berada dalam gedung itu tentunya
dibuat atau disusun sesuai dengan syarat-syarat agar dapat mendengarkan musik
dengan baik. Bahan-bahan dalam gedung tidak menyebabkan gema suara, akan tetapi
juga tidak begitu banyak menyerap suara musik yang disajikan. Yang dimaksudkan
dengan bahan-bahan tadi ialh umpamanya gorden-gorden yang tebal, pembungkus
kursi-kursi dan lain-lain.letak gedung harus cukup jauh dari lalu lintas yang
berisik. Lantai dibuat sedemikian rupa, agar tidak banyak menyebabkan adanya
bunyi yang mengganggu. Umpanya dilapisi bahan empuk agar sepatu tidak berisik
pada waktu orang berjalan di atas lantai. Kursi-kursi diupayakan agar tidak
dapat ditarik ke sana dan kemari, justru sedapat mungkin jangan sampai berbunyi
kalau kita bergerak sambil duduk. Udara dalam gedung diupayakan agar tetap
segar. Maksudnya, agarpublik tidak keluar-masuk gedung oleh karena udara
terlalu panas. Adanya alat pendingin udara baik, asal tidak mengeluarkan bunyi
yang mengganggu konsentrasi pendengar-pendengarnya dan merugikan kualitas suara
musik yang sedang disajikan.
Orang-orang yang mengunjungi gedung demikian, terpaksa memperhatikan
cara-cara serta tingkah lakunya agar tidak mengganggu yang lain. Misalnya,
datang beberapa waktu sebelum pertunjukan musik dimulai. Sebab jika datang
terlambat, ia harus menunggu sampai sebuah nomor dalam acara selesai dahulu.
Keluar-masuk gedung, jika memang betul-betul perlu sekali, harus dicarikan saat
yang cocok, agar tidak mengganggu musik yang dihidangkan dan
pendengar-pendengar lainya. Saat yang tepat tentunya ialah pada waktu
istirahat. Di samping itu sebaiknya menahan diri pula, agar tidak merokok pada
satpertunjukan berlangsung. Kebiasaan menghidangkan makanan dan minuman pada saat
musik sedang berlangsung harus sama sekali tak dilakukan.
Bukan pula merupakan suatu kebiasaan yang baik, kalau seorang juru
potret mengambil suatu konser musik pada waktu permainan sedang berlangsung,
selain dari mengganggu konsentrasi para pengunjung oleh gerak-geriknya yang
kian kemari, lampu Blitznya pun dapat mengganggu konsentrasi para pemain atau
dirigennya. Kalau memang menganggap perlu memotret, bicarakanlah terlebih
dahulu dengan manager panggung untuk mendapatkan waktu yang tepat. Biasanya, kalau
para pemain musiknya menyetujui, sesudah selesai konser dapat diadakan
pemotretan khusus.
Keamanan dalam gedung konserakan menyadarkan para pemain nya, kedatangan
publik memang khusus untuk mendengarkan
musik. Pemain akan berusaha bermain dengan sebaik-baiknya. Ketidaktenangan
suasana dapat menyebabkan kesalahan pemain musik karena sekecil apa pun akan
terdengaroleh publik. Mikropon sebaiknya tidak dipergunakan oleh karena akan
membuyarkan konsentrasi: suaraakan menjadi besar dan datang dari berbagai penjutu.
Suasana konser yang demikian akan berubah menjadi suasana pesta. Publik tidak
akan dapat lagi memusatkan perhatiannya dengan baik. Pembicaraan yang tadinya
dilakukan secara berbuisik-bisik antara pendengar satu dan lainnya hanya
kadang-kadang saja, akhirnya akan dilakukan dengan keras agar dapat mengimbangi
menggelegarnya suara musik yang meraung-raung dari alat-alat pengeras suara.
Suasana akibatnya menjadi rusuh samasekali.
Lain halnya, jika permainan band itu diadakan dalam gedung yang sengaja
dibangun untuk menghidangkan lagu-lagu populer.
Penggunaan sound system di sini tujuannya memang untuk memberi suasana
meriah. pengunjung tidak datang hanya untuk mendengarkan hiburan musik, tetapi
untuk menghirup suasana bebas, tidak terikat, sehingga sehingga tidak akan
terasa sebagai suatu gangguan yang serius, kalau dia bicara dengan suara biasa,
tidak berbisik-bisik, dengan teman pengunjungnya.
Hidangan pentas band sedikit banyak harus juga membawa suasana pesta.
Kecuali musik , pendengar pun ingi pula menikmati hal-hal lainnya yang bukan
musik, yang menarik hatinya. Di samping itu dia pun ingin tertawa, ingin
digerakkan hatinya dengan khayalan-khayalan romantik yang bersifat sambil lalu.
Oleh karena itu, tidak jarang pemilik gedung konser merasa berkeberatan,
kalau gedungnya dipergunakan untuk menghidangkan musik yang dianggapnya kurang
atau tidak serius. Mungkin karena khawatir sifat artistik yang dibawakan oleh
suasana gedung kepada pengunjung-pengunjungnya akan lenyap karenanya.
Memang benar, pengaruh suatu gedung konser yang paling penting
pengunjungnya adalah pengaruh artistik. Jenis musik tertentu, meskipun termasuk
yang terbaik dilihat dari sudut artistik, dapat juga memberi pengaruh yang
negatip pada pendengaran kita, kalau jenis musik itu terlalu sering kita
dengar. Lagu-lagu perjuangan misalnya, yang sering pula menyegarkan mental kita
kalau dimainkan pada saat yang tepat, pada suatu saat dapat membosankan kita.
Kita kadang-kadang menginginkan adanya pergantian suasana, mendengarkan
lagu-lagu yang romatis misalnya, untuk mendapatkan kesegaran yang baru. Itulah
beberapa faktor di luar diri kita sendiri yang memberi pengaruh pada
pendengaran kita ketika diberi hidangan musik. Mengenai pengaruh yang berasal
dari faktor dalam diri pendengar sendiri seperti musikalitas, agaknya sudah
cukup disinggung dalam uraian-uraian sebelumnya.
Faktor lainnya, yaitu kedudukan sosial pendengar, sedikit banyak
menentukan warna kenikmatannya dalam mendengarkan musik. Seorang seniman bukan
musikus, biasanya menikmati musik menurut proses penikmatan yang diikutinya
dalam jenis seni yang disukainya.
Seorang penari misalnya di dalam mendengar musik akan cenderung untuk
membayangkan gerak-gerik badannya sesuai dengan irama dan melodi yang
dinikmatinya.
Seorang sastrawan yang mempunyai kebiasaan untuk mengungkapkan secara
artistik segala sesuatu dengan kekuatan kata-kata, akan cenderung untuk mencari
juga pengertian-pengertian dari susunan nada-nada yang didengarnya, dan begitu
seterusnya.
Sama halnya dengan seorang cendekiawa yang di dalam mendengarkan
pernyataan sebuah komposisi, cenderung untuk banyak mempergunakan otaknya
secara analitis. Keadaan jiwa pendengar pada saat tertentu dapat menyebabkan
hatinya tidak terbuka untuk keindahan musik. Umpamanya kalau dia sendiri atau
keluarganya sedang ditimpa kesusahan, misalnya kematian. Orang ingin, untuk
sementara waktu, menyingkirkan diri dari musik, pada suatu waktu akan lebih
senang pada ketenangan untuk beberapa lamanya, meskipun dia itu sebenarnya
seorang yang musikal.
Tentunya masih banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi pendengaran
manusia di dalam apresiasi musik. Ada faktor-faktor yang menambah kenikmatan,
ada yang mengurangi kenikmatan, ada yang mengganti warna kenikmatan dan
akhirnya ada pula yang menyebabkan pen
dengar menjadi bosan terhadap musik, dan semuanya itu hanya untuk sementara
saja.
Banyak orang menganggap, bahwa kemusikalitasan seseorang ada hubungannya
dengan kemampuannya membaca paranada, atau paing sedikitnya membaca titinada do
re mi. Bahwasannya anggapan itu tidak benar dapat kita ambil sebagai contoh:
seorang pemain piano yang memainkan musik dari tulisan paranada, tapi terbukti
tidak memiliki musikalitas sedikit pun,
meskipun kedengarannya seperti ada musik yang betul-betul dimainkan. Kalau kita
dengarkan permainan orang itu dengan sungguh-sungguh, maka akan terasalah oleh kita, bahwa kemurnian
nada-nada yang menunjukkan musikalitas tidaknya seorang pemain (karena larasan
nada-nada pada piano yang dimainkan biasanya sudah dimurnikan sebelumnya oleh
seorang pianotuner), tapi dalam kualitas nada-nada yang dihasilkan
olehnya, dalam mengambil kalimat-kalimat musik secara logis, dalam penggarapan
dinamik, dalam penguasaan irama, dalam gerak susunan nada-nada yang dilakukan
oleh jari-jarinya, dalam pencurahan ekspresi emosinya, yang dapat ikut kita
rasakan dan lain-lain gejala lagi. Kalau hal-hal tersebut tidak tampak dalam
permainannya, maka itu berarti bahwa si pianis memainkan pianonya seperti ia
mengerjakan sebuah mesin otomat saja.
Sebaliknya, kita pun kadang-kadang berjumpa dengan seorang pemain piano
yang permainannya meyakinkan sekali,
tapi kemudian ternyata, bahwa dia tidak dapat membaca nada sama sekali.
Kepandaian membaca paranada memang diperlukan sebagai bekal untuk mempelajari musik, tapi mempunyai
kepandaian tersebut tidak berarti merupakan tanda musikalitas. Sebab kalau
benar begitu, kita tidak akan mempunyai orang-orang tunanetra yang musikal.
Begitu pula halnya dengan seorang pendengar yang musikal. Tanpa
mengetahui sebuah tulisan nada pun dia mampu meresapkan keindahan-keindahan
yang dipancarkan dari suatu bentuk pernyataan musikal yang berisi. Akan tetapi
tak dapat disangkal, bahwa ia akan lebih beruntung lagi, kalau dia menguasai
pengetahuan tentang tulisan musik. Misalnya, dapat mencoba mengecek
perkembangan suatu komposisi yang tertulis secara tenang, sesudah dia
mendengarkan bagaimana dihidangkannya.
11. Musik Populer dan Publik
Dalam setiap perkembangan kehidupan musik, selalu ada suatu jenis musik
yang kalau tidak dihebohkan, paling sedikitnya dianggap sebagai musik yang
mempunyai pengaruh negatip dalam masyarakat. Pada zaman kolonial dulu, ada
jenis musik keroncong, musik “swing” dan musik Jazz, yang oleh sebagian
masyarakat kita pada waktu itu diterima dengan geleng-geleng kepala.
Pada zaman pendudukan militerisme Jepang di Indonesia, justru gengsi
musik keroncong dan sejenisnya, yang dianggap sebagai salah satu bentuk musik
Indonesia yang populer, malahan mulai naik. Sebaliknya musik Swing dan Jazz
yang datangnya dari Amerika dilarang.
Musik keroncong dan sejenisnya, khususnya dalam ritmik, memberi pengaruh
kepada perkembangan jenis musik lain yang dibubuhi pukulan-pukulan
keroncong (beats), yang disebut
dengan langgam keroncong.
Kekurangan bentuk-bentuk musik yang beredar dalam masyarakat memberi
kesempatan untuk lahirnya dan berkembangnya lagu-lagu seriosa Indonesia (antara
lain lagu-lagu Cornel Simanjuntak).
Zaman kemerdekaan indonesia memberi kesempatan yang luas pada mereka
yang memiliki daya cipta untuk menyatakannya dalam berbagai macam bentuk musik
Indonesia, kebanyakan vokal. Musik keroncong yang sebelumnya dianggap dianggap
sebagai musik “buayaa-buaya” keroncong mendapat perlakuan yang lebih baik dari
masyarakat musik dengan anggapan, bahwa lagu-lagu keroncong adalah suatu bentuk
pernyataan musik Indonesia yang memiliki ciri-ciri kepribadian Indonesia.
Orkestrasi keroncong, yang aslinya hanya dimainkan secara sederhana
sekali dengan biola, seruling, gitar, ukulele dan cello untuk “gedugan”, “dinaikkan tingkatnya” dengan
diberi orkestrasi secara simponis. Malahan musik keroncong akhirnya termasuk
musik vokal yang di RRI dipertandingkan untuk mencapai kejuaraan Bintang Radio.
Di samping itu, kesadaran untuk kembali ke kepribadian sendiri
menyebabkan, masyarakat seperti dengan serentak mulai menggali lagu-lagu daerah
untuk dipopulerkan, disajikan dengan mempergunakan beat serta gaya vhidangan yang dapat dengan mudah diterima oleh
darah muda . . . dan darah tua juga.
Bentuk dan cara menghidangkan musik seperti ini, yaitu dengan beat yang tetap, ternyata sangat popiler
di kalangan muda-mudi di seluruh dunia. Tentu di Indonesia pun tidak
terkecuali, seakan-akan ingin membuktikan adanya proses pertumbuhan musik sama
di kalngan muda-mudi di negara mana pun mereka berada. Yaitu adanya suatu
bentuk musik yang ritmiknya mengalir terus-menerus, menggerakkan serta
mempercepat peredaran darah kita, yang membuat kita bergembira, melupakan
ikatan-ikatan yang kaku, mudah dinyanyikan, yang ingin mencurahkan rasa rindu
yang ringan, kesedihan-kesedihan sepintas lalu, cinta yang tak sampai, yang
dapat membuka rasa bahagia sejenak, pendeknya perasaan-perasaan yang dialami
muda-mudi dalam proses perkembangan jiwanya pada suatu waktu tertentu.
Tidaklah mengherankan, kalau musik demikian, kalau musik demikian, yang
pernah disebut musik “beatle-beatle-an”, apalagi dengan adanya
kemajuan-kemajuan teknis dalam bidang perekaman musik, masuknya piringan hitam
dan pita rekaman-rekaman yang berisi musik pop Barat di Indonesia antara lain
“sebagai oleh-oleh orang tua yang mumpung ada kesempatan ke luar negeri bukan
atas ongkos sendiri kepada anak-anaknya
di rumah”, sangat merangsang masyarakat
kita, baik yang muda maupun yang tua.
Sebuah band yang alat-alatnya terdiri dari beberapa buah gitar listrik,
satu set drum, ditambah dengan alat-alat tiup dan organ, dihiasi dengan
sejumlah vokalis, dan sound-system yang
biasanya bbbeervolume sebesar mungkin, penuh dikerumuni oleh muda-mudi sampai
berjejal-jejal. Inilah gambaran sebuah band pop zaman sekarang.
Sebagian masyarakat mencintainya sampai fanatik, sebagian lagi
mengutuknya. Dicintai khususnya oleh karena pernyataannya secara organis
dirasakan cocok dengan selera muda dalam proses pertumbuhan. Dikutuk, oleh
karena dianggap bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia dan dapat
menuju ke arah timbulnya ekses-ekses yang baik, yang dapat merusak alat kita!
Seperti kita ketahui, irama memberi
pengaruh motoris-fisik yang bersifat mutlak, yang selanjutnya dapat memberi
efek yang bersifat psikologis.Melodi terutama
memberi pengaruh pada jiwa seseorang, demikian pula harmoni. Akan tetapi efek pengaruhnya tidak bersifat mutlak.
Sebagaimana kita telah maklum, musik pop, khusunya yang mempunyai irama
yang tegang seperti beguine, cha-cha,
tango, rock, gamat melayu, dangdut dan sebagainya dengan penggunaan beat
yang tetap, menyebabkan adanya semacam rasa ketegangan yang teratur
sekali, tanpa kita menyadarinya dengan baik.
Orang yang mendengarkan musik demikian, bahkan yang hanya mendengar saja
pun, dengan tidak sadar sudah menggerak-gerakkan tubuhnya, yang gerak-geraknya
mengikuti beat musik yang
didengarnya. Denyutan jantung dan
peredaran darah kita secara motoris mengikuti tekanan ketegangan ritmis yang
dipancarkan. Serinkali diperkuat dengan perlakuan warna suara yang dihasilkan,
yang dapat di-“permainkan” secar elektronis. Pendengar secara fisik tidak dapat
mengelakkan pengaruh ini. mau atau tidak.
Melodi hanya memberi suasana tertentu yang sifatnya tidak
mutlak. Pendengar yang satu mungkin terharu olehnya, sedangkan pendengar yang
lainnya tidak terpengaruh samasekali.
Ketegangan yang ditimbulkan oleh musik yang demikian, ada saatnya tidak
tertahankan lagi. Dia perlu disalurkan melalui gerak-gerak fisik yang ritmis
pula, misalnya dengan gerakan kaki yang mengikuti tempo musik, dengan melantai
berkawan atau melantai sendiri.
Kalau cara seperti itu tidak dilakukan, penyaluran ketegangan dapat
mengambil bentuk lain, umpamanya: berteriak. Dalam bentuk yang ekstrim,
pendengar dapat mengadakan gerak-gerak yang tidak karuan, bergerak seperti
orang keranjingan misalnya. Reaksi seperti ini sebagian besar bergantung dari
sifat serta jiwa seseorang atau sesuatu bangsa yang berhadapan dengan sajian
musik populer demikian.
Bangsa kita sendiri sebagai publik, pada umumnya hingga sekarang tidak
pernah disinyalir memberi reaksi yang ekstrim demikian terhadap musik populer
yang didengarkan. Mungkin juga itu disebabkan oleh cara penghidangan
pemusik-pemusik kita sendiri yang tidak berada dalam batas-batas sifat
permainan yang tidak mengejar ekses.
Musik populer, sebagai pernyataan musik
dengan segala unsur-unsurnya yang ada di dalmnya, sebetulnya secara langsung
tidak akan menyebabkan adanya anggapan, bahwa pernyataannya bertentangan dengan
kepribadian kita dan sebagainya, asal saja
disajikan secara artistik dengan hanya mementingkan soal-soal yang musikal
saja. sebab, pernyataan-pernyataan demikian, dengan ritme yang tidak kurang
memanaskan, dalam musik Indonesia sendiri sebetulnya ada, yaitu dalam gangsaran, misalnya untuk mengiringi
tarian kudakepang. Alat-alat perkusi yang dimainkan untuk mengiringi tarian
Pakarena di Sulawesi Selatan misalnya, tidak kurang pengaruhnya kepada denyutan
jantung kita.
Musik pop Barat itu sendiri pun, di dalam
perkembangannya seringkali mengandung unsur-unsur artistik yang baru dan
menyegarkan. Musiknya itu sendiri sebetulnya tidak dapat kita salahkan.
Jika demikian, di manakah harus kita cari
unsur-unsur yang dianggap publik dapat menimbulkan ekses atau bertentangan
dengan kepribadian bangsa?
Jawabnya adalah, justru di dalam
unsur-unsur yang terletak di luar musik
itu sendirilah, yaitu di dalam unsur-unsur yang non-musikal. Di dalam
usaha-usaha pemain yang ingin menarik hati publik pendengar hal-hal yang
terletak di luar bidang musik itu sediri. Misalnya di dalam gerak, pakaian
serta pernyataan visual lainnya.
Main musik dengan membuat gerakan-gerakan
fisik yang secara organis melebihi apa
yang disebabkan oleh ritmik musik itu sendiri, terang merupakan suatu usaha
yang tidak artistik. Apalagi, kalau gerakan-gerakannya dilakukan oleh vokalis
wanita kita yang berkostum seronok, mudah sekali menuju ke penonjolan daya
tarik seksnya, yang memberi asosiasi bayangan-bayangan yang sama sekali tidak
musikal lagi kepada publik. Keadaan demikian sudah terang menambah ketegangan
hati publik, dan ingin menyalurkan rasa tegangnya dengan bertepuk tangan,
berteriak-teriak atau bersuit-suit. Kalau terus-menerus demikian, suasana
sekitar permainan musik dapat menjadi gaduh.
Berpakaian yang aneh-aneh sebagai pemain
musik pop, seperti pakai kacamata besar yang samasekali tidak perlu, membiarkan rambutnya panjang dan
sengaja dibikin kusut dan sebagainya, sebetulnya hanya merupakan mode saja yang
diambil dari luar kebiasaan kita sendiri. Kelakuan demikian adalah suatu
imitasi saja, yang mungkin merupakan usaha sekeras-kerasnya, agar tidak
kelihatan lagi seperti bangsa Indonesia. Segala imitasi pada dasarnya memang
tidak asli, jadi jarang mempunyai nilai di dalam rangka mencari unsur-unsur
kepribadian sendiri.
Kalau mode berpakaian demikian sampai
menjalar ke luar lingkungan band dan sejumlah besar muda-mudi kita ikut
menirunya, keadaan demikian sungguh akan memberi kesan yang jauh dari sedap
lagi. Suasana demikian, dalam usia muda-mudi tanggung sangat mudah meningkat
menjadi suatu perkembangan ke arah adanya mentalitas yang cenderung untuk
menyeleweng dari kebiasaan-kebiasaan yang mengikat, adanya keinginan yang
sebebas-bebasnya yang berasosiasi dengan sifat membandel, mengerjakan
kenakalan-kenakalan yang kelihatan sepintas lalu tidak merugikan apa-apa, akan
tetapi yang dapat menuju ke arah timbulnya keadaan sosial yang lebih serius dan
lain-lainnya lagi.
Ekses-ekses yang dianggap disebabkan oleh
pernyataan musik sebagai musik, ternyata sebenarnya merupakan akibat daripada
unsur-unsur yang terletak di luar musik itu
sendiri.
Lebih banyak kita mencurahkan perhatian
kita ke arah perkembangan musik itu sendiri dan tetap menerima dan
menghidangkan musik pop secara artistik, merupakan antara lain, jaminan untuk
mengurangi unsur-unsur non musikal yang dapat menimbulkan ekses-ekses negatif.
BAHAN BACAAN:
1. Broeecks, Jan L. Begrip en Schoonheid van de Muziek.
2. Coker, Ierry. Improvising Jazz.
3. Coplan, Aaron. Music and Imagination.
4. Dorian, Frederic, The History
of Music in Performance.
5. Dresden, Sem. Algemene
Muziekleer.
6. Jarret, James L. The Quest for Beauty.
7. Jean, J.A. Science and Music.
8. Pepper,S. aesthetic Quality.
9. Runes and Schricked.
Encyclopedia of the Arts.
10. Sachs. Curt. History of Musical Instruments.
11. Szabolcsi, Bence. A History of Melody.
—KSP42—
Rabu, 08 April 2020 – 16.09 WIB
P U S T A K A :
Sumaryo L.E.
Komponis, Pemain Musik dan Publik
Pustaka Jaya – Jakarta 1978
Tidak ada komentar:
Posting Komentar