Blog Ki Slamet : Atma Kembara
Selasa, 14 April 2020 - 21.13 WIB
Selasa, 14 April 2020 - 21.13 WIB
Prapanca |
Berdasarkan teks-teks Nagarakertagama
pada bagianakhirkita bisa melihat bahwa penulis Nagarakertagama menghasilkan karya monumental ini dalam semangat sepi ing pamrih rame ing gawe. Prapanca
menuliskan Nagarakertagama yang merupakan
kidung pujian bagi Sang Raja dan Majapahit tanpa ada perintah. Karya Prapanca
ini merupakan karya sukarela yang dikerjakan oleh inisiatif sendiri untuk
memuliakan Raja M ajapahit dan leluhurnya serta kecintaan Prapanca pada
Kerajaan Majapahit. Sang Kawi menghasilkan karya ini di dusun sunyi yang jauh
dari pusat kerajaan dan kekuasaan. Sebuah dusun tempat menyepi yang penuh
dengan bunga-bunga indah dengan alam asri menyejukkan hati.
Hal kedua yang
menarik, prapanca adalah seorang Budha dan ia berkarya untuk sebuah kerajaan
besar Majapahit yang diidentikkan dengan Kerajaan Hindu. Bentuk toleransi ini
menjadi sangat luar biasa senapas dengan semboyan dalam kitab Sotasoma karya Mpu Tantular yang
mengatakan:
“Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”. Yang bermakna, ‘Walaupun
berbeda-beda namun satu juga, tidak ada darma, kebaikan dan kebenaran
yang mendua’.
Dalam Negara
Kerajaan Majapahit telah dan tetap mengalir benih toleransi beragama yang
harmonis, damai, dan toleran. Dalam pupuh 77 Nagarakertagama disebut desa perdikan Hindu Siwa dan dan Hindu
Wisnu. Dari situ kita bisa melihat paling tidak ada tiga aliran agama yang
hidup berdampingan dengan mesra, Hindu Aliran Wisnu, dan Agama Budha. Hindu
Waisnawa yang memuja Wisnu bermula sumbernya setelah letusan Gunung Merapi pada
tahun 929 masehi dari raja Airlangga dan Raja-raja Kediri seperti Jayabaya yang
dianggap juga titisan Wisnu. Sedangkan aliran Siwa sesungguhnya juga bermula
dari Isyana Rja Medang di Jawa Timur leluhur dari Dharmawangsa dan Airlangga.
Raja Isyana dikenal dengan nama Mpu Senduk. Mpu Senduk itu melambangkan Ular
Kobra yang menjadi kalung Dewa Siwa. Artinya
bahwa Raja Isyana menjadi kesayangan Dewa Siwa atau juga Raja Isyana adalah
penganut Hindu Siwa yang tekun dan mendalam.
Hal ini secara
nyata juga diungkap oleh Ken Arok Raja pertama Singasari yang juga dikenal
dengan Hindu aliran Siwa. Dari kedua Hindu Siwa dan Hindu Waisnawa itulah
menjadi nyata bahwa toleransi di Bumi Majapahit merupakan keadaan dan suasana
yang alami turun temurun dari para raja dan rakyat sebelumnya.
Toleransi
terhadap Agama Buddha juga mendapat tempat yang sama karena rakyat dan
raja-raja sebelumnya ada yang beragma Buddha. Sesungguhnya kita bisa menarik
benih toleransi beragama ini sejak zaman Mataram Kuno di mana agama Hindu dan
Buddha juga dapat hidup saling berdampingan. Ini dapat kita contohkan
keberadaan Candi Prambanan yang bernapaskan Hindu berdampingan dengan Candi
Sewu dari Agama Buddha. Ada juga di sekelilingnya candi-candi Hindu seperti
Candi Sambisari, Candi Kedulan, Candi Kimpulan, Candi Ijo, Candi Gebang, Candi
Merak; mesra berdampingan dengan Candi Plaosan, Candi Abang, Candi Kalasan,
Candi Sari, Candi Palgading, Candi Banyunibo yang bernapaskan Agama Buddha.
Barangkali
tafsiran Slametmulyana yang mengatakan bahwa Prapanca menulis Nagarakertagama dalam suasana kesedihan,
kekecewaan, marah, mendongkol, merasa hina dan tak berarti, perlu kita maknai
secara lain. Sesungguhnya dalam filosofi Agama Buddha hidup ini adalah
penderitaan. Prapanca adalah seorang besar yang pernah menjabat menjadi
pemimpin dalam Agama Buddha dalam kerajaan Majapahit.jabatan tinggi itu
meskipun penting dan berharga tetapi bukan satu-satunya sumberkebahagiaan bagi
Prapanca sebagai penganut Agama Buddha. Kehilangan jabatan, pengaruh, dan
kekuasaan tidak akan menjadikan seorang pengikut Buddha yang luhur akan patah
arang, patah hati, dan terbenam dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam
dan berlebihan. Pastilah Prapanca mengerti benar kisah yang dituliskan sendiri
bagaimana Raja Airlangga membagi kerajaanya untuk kedua anaknya. Kisah
Airlangga ini sangatlah luar biasa. Bayangkan seorang Raja besar yang mempunyai
kekuasaan sangat besar di hampir seluruh Jawa, Bali pada usia 50 tahun mengundurkan
diri sebagai raja besar dan memilih menjadi seorang pertapa di Gunung
Penanggungan. Itu artinya bagi seorang penganut agama yang sudah mendapatkan
hidah, penerangan, pencerahan, dan roh suci akan merasakan bahwa kebahagiaan
rohani lebih bernilai, bermakna dan berharga dibandingkan kebahagiaan
kekuasaan, kenikmatan, dan harta. Benarlah kata pepatah: “Sura dira jaya ningrat lebur dening pangastuti”; kebahagiaan Ilahi
lebih berharga danbernilai daripada kemewahan dan kenikmatan duniawi.
Dengan demikian
kita bisa meraba dan menafsirkan barangkali itulah jalan kehidupan Prapanca
yang harus menghadapi kedukaan, kesedihan, dan kekecewaan sebagai bagian dari
kehidupan sehari-hari yang tak perlu diratapi maupun ditangisi. Pengalaman
hidup Pranca dengan begitu justru menjadi pencerahan dan pemicu baginya untuk
dapat menghasilkan sesuatu yang lebih bermakna bagi dirinya, keluarganya, dusun
dimana ia tinggal, dan Sang Raja serta rakyat Kerajaan Majapahit. Ia tetap
setia kepada Sang Raja. Ia tetap menuliskan citra poitif Kerajaan Majapahit
hingga dikenal sampai saat ini. Prapanca juga dapat menjadi inspirator bagi
para sejarawan modern, karena ia menuliskan sejarah dengan baik, jujur, positif
dan memikat. Kesan positif, memikat, dan kolosal terlihat dari uraiannya yang
begitu rinci, lengkap, dan logis tanpa berusaha menonjolkan tragedi-tragedi
yang ada ataupun menutupi kebenaran sejarah. Seperti halnya Perang Bubat yang
merupakan sesuatu yang sangat tragis, peristiwa ini tidak dituliskan dan
diuraikan oleh Prapanca demi suatu ide yang lebih besar. Ide kejayaan
Nusantara.
Prapanca
membuka pintu bagi sumber-sumber lain untuk dapat memahami Perang Bubat.
Prapanca sesuai nama samarannya mencoba merendah hati untuk tidak merasa
mengerti segala yang ada, tidak merasa mengetahui segala hal; dalam istilah
timur, aja rumangsa bisa, bisaa rumangsa.
Prapanca bisa menahan diri, membatasi diri dan mengambil peran seperlunya;
itulah tanda pribadi yang matang, meneb, tenang
dan jiwanmukta. Jiwanmukta adalah
sosok pribadi yang dapat mematikan segala nafsu dan mengerti kebenaran hakiki
serta mengenal paraning dumadi. Prapanca
memberikan dan menyediakan ruang yang besar bagi Sang Pencipta untuk mengisu
hatinya sehingga pada akhirnya ia bisa menghasilkan mahakarya bagi Mjapahit dan
Bagi Indonesia. Barangkali tepat yang dituliskan dalam Prasati Zoetmulder: “wiku haji jenek angher ing sunya” disematkan
untuk Pujangga Prapanca seorang raja pendeta yang nyaman tinggal di dalam
keheningan yang sempurna.
Selasa, 14 April 2020 – 21:15 WIB
Posted by Ki Slamet 42 Bogor
P u s a t a k a
:
Mpu Prapanca,
“Kakawin
Nagaraketagama”
Teks dan
terjemahan:
Damaika
Saktiani, dkk
Penerbit:
NARASI
Yogyakarta 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar