Blog Ki Slamet 42: "Atma Kembara"
Senin, 06 April 2020 - 06.13 WIB
Senin, 06 April 2020 - 06.13 WIB
BAB II. BIDANG
PENCIPTAAN MUSIK
Ki Slamet 42 |
1.
Musikalitas
dan Disposisi
Seorang yang disebut
pencipta musik memerlukan selera musikal dan
bakat khusus untuk mencipta. Selera
musikal musikalitas saja belum dapat
memberi jaminan yang cukup untuk menentukan adanya bakat untuk mencipta. Kita
beranggapan, bahwa musikalitas merupakan syarat yang mutlak jika seseorang
ingin menerjunkan diri ke dalam dunia artistik musikal. Orang yang memiliki
musikalitas disebut orang yang musikal.
Orang yang musikal
belum tentu lantas dapat belajar main biola dengan bbaik. Atau membuat ciptaan
musik yang baik. Musikalitas seseorang mempunyai ketepatgunaannya sendiri. Yang
satu mungkin mempunyai bakat khusus untuk belajar main biola dengan baik,
sedangkan yang satunya lagi mungkin akan lebih sukses kalau belajar main piano.
Dan yang lainnya lagi mungkin lagi akan cocok kalau ia belajar main klarinet.
Yang demikian itu,
dikatakan orang yang mempunyai disposisi untuk
belajar piano atau biola, trompet dan seterusnya. Disposisi ini sangat tergantung
dari faktor-faktor kejiwaan serta fisik (keadaan jasmaniah) orang yang musikal
tadi.
Dengan menggunakan psychotest orang telah menemukan suatu
cara tertentu untuk menerapkan disposisi musikal seseorang. Psychotest ini telah banyak sekali
membantu mengurangi kekecewaan orang dalam memilih alat musik yang hendak
dipelajarinya di kemudian hari.
Tentang test jasmaniah untuk menetapkan
disposisi musikal seseorang, di sini dapat dikemukakan sebuah contoh. Orang
yang mempunyai pertumbuhan gigi sebelah muka yang tidak baik, janganlah
hendaknya memilih trompet sebagai alat yang hendak dipelajari. Yang mempunyai
cedera pada tangan kirinya, jangan umpamanya mencoba hendak belajar biola. Akan
tetapi pada suatu ketika pasti dia akan menghadapi kesukaran-kesukaran juga.
Penelitian disposisi
ini hendaknya jangan dianggap remeh oleh seseorang yang ingin menerjunkan ke
dalam dunia olah musik. Contohnya, seseorang yang musikal ingin sekali belajar
piano, lalu setelah dia belajar setahun lamanya, gurunya memberitahukan, bahwa
dia tidak mempunyai bakat khusus seorang pianis yang baik. Untuk sekedar dapat
main saja, memang tidak apa-apa. Atau untuk menjadi seorang pianis amatir
misalnya. Tapi semua itu terserah kepadanya. Berhasil nantinya, syukur, kalau
tidak berhasil, sudahlah. Dengan kemauan keras untuk belajar, dia pindah ke
bidang pelajaran biola. Juga di sini dia tidak mencapai kemajuan yang
diharapkan. Aneh betul, padahal dalam mata pelajaran lainnya musikalnya cukup
baik!
Akhirnya, sesudah
belajar memainkan alat-alat perkusi (yang dipukul) beberapa waktu lamanya,
gurunya bergembira sekali. Ternyata muridnya mengalami kemajuan yang cepat
sekali dalam mempelajari alat-alat perkusi. Itu artinya dia memiliki disposisi
pada alat-alat perkusi dan kepekaan pada irama (ritme). Akan tetapi bagaimana
pun juga, murid dan gurunya sedah membuang waktu dua tahun. Setahun untuk
belajar piano dan setahun lagi untuk biola. Tapi tidak apalah. Belajar musik
memang memerlukan kesabaran, kemauan keras serta ketekunan dari pelajar-pelajarnya.
Demikian pula dengan guru-gurunya.
2.
Bakat
Khusus Untuk Mencipta
Kalau kita teliti
dengan sungguh-sungguh, orang musikal yang mempunyai bakat khusus untuk
mencipta dengan baik, tidaklah banyak kalu dibandingkan dengan banyaknya orang
yang mempunyai bakat khusus untuk belajar memainkan salah satu alat musik.
Dengan perkataan lain, orang yang sungguh-sungguh kreatip, jumlahnya tidak begitu banyak kalau dibandingkan dengan
jumlah orang yang rekreatip.
Kreatip artinya
memiliki daya cipta. Sedang yang dimaksudkan dengan rekreatip ialah, mempunyai
kemampuan atau daya untuk “mencipta kembali”. Ada kalanya istlah kreatip dalam
dunia musik diganti dengan kata reproduktip.
Agaknya istilah kreatip dan rekreatip yang lebih kena dalam hal ini, karena
lebih mengandung pengertian kwalitas (mutu). Istilah reproduktip lebih condong
kepada pengertian kwantitas (jumlah). Jadi, yang termasuk bidang kreatip adalah
bidang penciptaan musik. Yang memainkan alat-alat musik digolongkan ke dalam
bidang rekreatip.
Apakah ada orang
yang sebetulnya musikal, akan tetapi tidak dapat mencapai hasil yang baik dalam
mempelajari alat musik apa pun? Ada. Apakah ada orang yang musikal yang tidak
mempunyai bakat khusus untuk mencipta musik? Juga ada.
Mungkin bakat orang
yang seperti itu dapat disalurkan ke pendidikan untuk menjadi dirigen atau
konduktor, jenis musikus yang tergolong rekreatip pula. Kalau orang seperti itu
ternyata juga tidak mempunyai disposisi untuk menjadi dirigen, baginya masih
terbuka kemungkinan lain. Orang musikal seperti itu mungkin seorang yang sangat
peka penangkapannya terhadap bentuk-bentuk pernyataan musikal serta
penyajiannya. Ia mungkin mempunyai bakat untuk menjadi kritikus musik. Siapa
tahu. Bakatnya ditujukan khusus untuk menganalisa penangkapannya terhadap
hidangan atau komposisi musik.
Dengan sendirinya,
adanya musikalitas saja belum berarti bisa langsung menjadi seorang kritikus
musik. Dia perlu mempelajari atau mendapat pelajaran dulu mengenai ilmu pengetahuan
serta praktik berbagai-bagai lapangan teknis musik. Misalnya, ilmu komposisi
musik, orkes, aranbsemen, estetika, psikologi, sejarah musik, dan sebagainya.
Jadi, memang tidak
jaminan, bahwa seorang yang musikal akan pasti juga mempunyai kemampuan untuk
mencipta. Tidak ada jaminan pula, bahwa seorang yang pandai memainkan alat
musik akan dapat pula mencipta.
Bagi seorang pemain
musik yang baik, pada umumnya banyak sekali waktu yang harus dicurahkan untuk
menguasai atau menjaga serta meninggikan mutu permainannya dengan cara yang
sebaik-baiknya. Karena itu, biasanya tidak ada waktu lagi untuk mengadakan
persiapan-persiapan mencipta.
Meskipun demikian,
di dalam sejarah musik diatonis Barat misalnya, terdapat juga beberapa komponis
yang baik, yang sekaligus juga seorang instrumentalis yang baik. Akan tetapi
jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Misalnya, Johann Sebastian Bach, Chopin, List dan beberapa orang lagi.
3.
Beberapa
Jenis Ciptaan Musik
Sekarang kita
teliti, apakah sebetulnya yang disebut ciptaan itu? Istilah mencipta menganggap
adanya suatu tindakan yang menghasilkan suatu bentuk pernyataan musikal yang
asli dari penciptanya. Bentuk itu tafinya tidak ada. Atau belum terwujud.
Bentuk pernyataan
musikal tadi harus bersumber pada alam pikiran, angan-angan serta perasaan
penciptanya sendiri secara lansung. Alam pikiran, angan-angan dan perasaan
penciptanya dapat saja tadinya terpengaruh oleh kekuatan-kekuatan yang ada di
luar dirinya.
Akan tetapi,
misalkan ada seseorang yang mengarang sebuah lagu, dan lagunya itu mirip dengan
lagu lain yang sebelumnya sudah ada,apakah hasilnya boleh disebut suatu
ciptaan? Ini adalah suatu persoalan dalam bidang penciptaan musik, yang
biasanya tidak begitu mudah diselesaikan.
Kalu kemudian
ternyata atau dapat dipastikan, bahwa ciptaannya itu merupakan jiplakan atau
setengan jiplakan dari sebuah komposisi lain, maka pencipta yang menjiplak itu
dapat dipersalahkan melakukan plagiat. Dalam
dunia seni, plagiat atau jiplakan atau tiruan atau curian, dianggap sebagai
suatu pelanggaran kode etik (peraturan tidak tertulis mengenai sikap susila
suatu golongan) yang memalukan.
Dalam bidang musik
biasanya tidak begitu mudah orang dapat menetapkan plagiat bukannya sesuatu
karya musik. Hanya orang yang banyak mengetahui tentang literatur musik dapat
memastikan plagiat bukannya suatu ciptaan baru. Sekarang mari kita selidiki,
dalam bentuk apa sajakah sebuah ciptaan musik itu dapat dijelmakan.
Bentuk ciptaan yang
paling kuat daya hidupnya adalah apa yang biasa kita sebut komposi. Komposisi adalah ciptaan yang tertulis. Di samping itu ada pula bentuk ciptaan yang tidak
tertulis, yang hanya dimainkan saja.
ciptaan seperti ini dalam bentuknya yang asli hanya berlangsung pada waktu dia
dimainkan untuk pertama kalinya. Selesai diainkan, ciptaan itu menghilang dari
udara. Kecuali kalau dia direkam dan segera dicatat. Jenis ciptaan ini disebut improvisasi.
Hanya kedua bentuk
ciptaan itulah yang sesungguhnya paling asli, yaitu seratus persen dinyatakan
oleh penciptanya sendiri. Selain dari kedua bentuk ciptaan tadi, ada agi sebuah
bentuk, yang tidak seratus persen menjadi tanggung jawab penciptanya. Jenis
ciptaan demikian disebut aransemen atau
transkripsi. Transkripsi didasarkan
pada ciptaan lain yang asli. Meskipun demikian, bentuk ciptaan ini memberi
persifatan musikal transkriptornya, yang berdiri sendiri dan yang seratus
persen menjadi tanggung jawabnya. Ketiga bentuk ini mari dekati bersama-sama!
1.
Komposisi
Komposisi adalah
suatu bentuk ciptaan yang tertulis. Dalam bentuk tulisan musik itulah ciptaan
menampakkan dirinya secara abadi. Pada suatu waktu, komposisi demikian oleh
penciptanya, sesudah diadakan pemeriksaan olehnya secara teliti, dilepaskan
untuk dinilai oleh publik, untuk diedarkan atau untuk didengarkan. Sekali
terlepas dari tangan komponisnya tidak dapat mengkutak-katik lagi tulisannya
itu. Misalnya, ingin mengadakan perobahan di sana-sini dalam ciptaannya atau
hendak mengadakan semacam koreksi dan sebagainya.
Masyarakatlah yang
akan menentukan sekarang, apakah ciptaannya itu akan berhasil atau tidak.
Berhasil atau tidaknya sesuatu ciptaan banyak
tergantung tidak saja dari nilai ciptaannya itu sendiri, melainkan juga
dari orang atau sekelompok orang yang menghidangkan ciptaan itu untuk pertama
kali kepada pendengar-pendengarnya.
Kurang bahagialah
seorang pencipta, yang komposisinya, hidangannya yang pertama kali dipercayakan
kepada seorang atau beberpa instrumentalis atau dapat juga vokalis, yang kurang
baik. Komposisi yang kurang baik pun kadang-kadang dapat jatuh karenanya.
Tetapi komposisi tadi masih punya kesempatan untuk menghidangkan ciptaannya
kembali dalam suatu permainan musik yang sesuai dengan angan-angannya.
Kadang-kadang terjadi juga, bahwa hidangan pertama kali sesuatu komposisi oleh
orkes di muka publik dipimpin sendiri oleh komponisnya, kalau memang
komponisnya itu dapat memimpin suatu hidangan orkes. Jadi, menjadi diregennya.
Dalam suatu hidangan
musik, mendengar musik yang mempunyai selera musikal yang kritis tentu dapat
mengetahui apakah komponisnya atau pemain-pemainnya yang berhasil membuat
sukses atau tidaknya musik yang dihidangkan.
2. Improvisasi
Ini adalah jenis
ciptaan yang tidak bersifat abadi. Artinya hanya berlangsung sekali saja. sebab
improvisasi tidak tertulis. Dia tidak dapat diulang kembali dalam bentuk serta
intensitas yang sama, seperti ketika dia untuk pertama kalinya dihidangkan
sekaligus juga diciptakan.
Kalau seorang
pencipta memainkan sebuah lagu pada piano yang pada saat itu juga mencipta, dia
melakukan improvisasi. Buah musik yang dihidangkan pada waktu itu merupakan
penjelmaan langsung dari perasaan serta angan-angan musikal yang timbul pada
waktu itu. Pada kesempatan itu, kalau dia ingin menghidangkan lagu itu kembali,
tentu perasaannya serta angan-angan musikalnya sudah tidak sama dengan yang
dulu itu. Maka dari itu, seorang improvisator tidak dapat melakukan improvisasi
kembali, yang dalam segala pernyataannya persis sama seperti ketika lagu itu
untuk pertama kali dimainkan.
Sebuah improvisasi
juga tidak dapat dikoreksi. Umpamanya dengan maksud agar lebih dapat
dipertanggungjawabkann secara teknis, seperti dalam suatu komposisi yang
tertulis, yang tiap kali dalam proses penciptaannya masih dapat kita periksa
dan betulkan.
Improvisasi juga
dapat merupakan suatu permainan sebagai suatu ciptaan langsung dari pola-pola
musik yang diberikan terlebih dahulu. Pola-pola ini biasanya diambil dari lagu
lain yang sudah ada sebelumnya. Improvisasi seperti ini kita dapatkan misalnya
dalam permainan musik Jazz atau musik hiburan jenis lain.
Umpamanya, seorang
pemain tropet dalam suatu orkes musik dapat melakukan improvisasi dari sebuah
lagu yang pada waktu yang bersamaan dihidangkan oleh orkesnya, dalam keadaan
sepertin ini, seorang improvisator tidak begitu bebas dalam melakukan tugas
improvisasinya. Dia tidak boleh “menyeleweng”
dari pola lagu yang sedang dihidangkan. Sebaliknya, dia berhak melontarkan “pendapat”-nya di dalam kalimat-kalimat
musikal menurut pola yang diberikan.
Dengan sendirinya,
hanya pemain-pemain yang berbakat sajalah yang dapat melakukan improvisasi yang
berkesan. Selain harus mempunya selera musikal serta daya khayal yang baik.
Kesukaran-kesukaran teknis dalam memainkan alat musik, tidak boleh merupakan
rintangan lagi.
3. Aransemen atau Transkripsi
Bentuk ciptaan ini
dihubungkan dengan dengan penulisan musik. Aransemen berasal dari kata asing “arrangement”, artinya susunan.
Transkripsi dari“transcription”,
artinya alih-tulis. Umpamanya sebuah komposisi untuk orkes simponi yang besar
dialihtuliskan menjadi sebuah karya musik untuk dimainkan dengan sebuah piano
saja atau untuk dimainkan dengan beberapa alat musik saja yang kecil jumlahnya.
Meskipun transkripsi
tidak begitu “asli” kalau dibandingkan dengan komposisi, namun dia memerlukan
keahlian musikal yang tidak bisa dipandang remeh . transkripsi atau aransemen
si “A” umpamanya, tidak dapat serupa dengan transkripsi atau aransemen si “B”.
Meskipun yang mereka transkripsikan itu komposisi yang itu-itu juga. Tiap transkriptor
mempunyai konsepsi musikalnya sendiri-sendiri, akan tetapi dia tidak sebebas
seorang komponis. Dia terikat pada pola-pola aslinya. Dia hanya berhak
mencurahkan “pendapat”-nya secara bebas dalam rangka pola asli yang ada dalam
suatu komposisi yang digubah.
Ada suatu istilah
dalam musik yang hampir menyerupai itu. Yaitu transposisi. Juga istilah transposisi dengan kata “trans” di dalamnya ada sangkupautnya
dengan mengalihkan sesuatu. Tapi yang dialihkan di sini ialah posisinya,
kedudukannya. Maksudnya, kedudukan tangga nadanya. Umpamanya, sebuah lagu
ditinggikan atau direndahkan dua nada, penuh seluruhnya, oleh karena terlalu
rendah atau terlalu tinggi untuk dinyanyikan. Dengan demikian bentuk lagu atau
melodinya masih serupa.
Kita ambil contoh
misalnya lagu “Padamu Negeri” karya Kusbini. Kita mencoba menyanyikannya.
Ternyata nada “sol” yang tertinggi, terlalu tinggi untuk dapat dinyanyikan.
Perlu direndahkan satu atau dua nada lagi, sehingga nada sol tadi dapat kita
nyanyikan. Di dalam keadaan atau kedudukan lagu satu atau dua lebih rendah itu,
lagunya masih tetap dapat dikenal kembali sebagai lagu “Padamu Negeri”.
Transposisi dapat
ditulis, dapat juga dimainkan atau dinyanyikan. Teranglah, bahwa dalam
transposisi yang diganti hanya tinggi tangga nadanya saja. jadi, transposisi
jelas bukan suatu bentuk ciptaan. Transpsisi hanya merupakan suatu persoalan
teknis saja.
Sebaliknya,
transkripsi kecuali merupakan persoalan teknis, juga dan terutama merupakan musikalitas. Transkripsi si A dan si B tadi
mengenai suatu komposisi tidak mungkin
serupa satu sama lain.
Transkripsi si A dan
transkripsi si B masing-masing mengenai komposisi, misalnya dari tangga nada
“c” diganti menjadi tangga nada “d”, harus
sama. Kalau kedua transposisi itu tidak sama, salah seorang penggarapnya
tentu membuat kesalahan. Maka dari
itu, transkripsi adalah terutama soal rasa keindahan musikal, sedangkan
transposisi hanya dapat benar atau salah.
Dalam bidang musik
ada lagi suatu pengertian lain, yang juga disebut, traskripsi. Kata traskripsi di sini biasanya dipergunakan dalam
bidang penelitian musik, dan artinya mengalihkan musik yang didengarnya ke
dalam suatu tulisan musik.
4.
Apa
yang terjadi pada saat orang mencipta?
Kita
sedang mendengarkan musik. Biasanya tidak sadar, bahwa musik yang sedang
kidengarkan itu, yang dapat mengasyikkan perasaan dan rokhani kita , dilahirkan
dengan segala daya upaya, rasa keindahan, keahlian, ketekunan. Pendeknya,
dengan pmengorbankan segala jerih payah, jasmaniah dan rokhaniah penciptanya.
Pada
umumnya dari apa yang dalam beberapa saat kita dengarkan itu tidaklah terdapat
kesan adanya pencurahan jerih payah itu. Seakan-akan apa yang mengelus-elus
telinga dan jiwa kita itu ditulis oleh komponisnya semudah kita membuat kuwe
lapis. Seolah-olah untuk menyusunbuah karya musik, komponisnya tinggal menunggu
datangnya sang ilham saja.
Menurut
pendapat para ahli peneliti, terjadinya suatu komposisi musik, dalam
kenyataannya adalah hampir selalu sebaliknya dari apa yang kita umumnya sangka.
Orang kebanyakan menyangka, bahwa ilhamlah yang membuka kemungkinan-kemungkinan
menyusun suatu komposisi yang begitu mempesonakan. Ilham biasanyaa dianggap
sebagai satu-satunya unsur yang menggerakkan komponis terlebih dahulu untuk
memberi kunci mengungkapkan keidahan-keindahan dalam susunan nada-nada yang
ditulisnya. Sesudah itu, segala sesuatunya seperti timbul begitu saja dengan
sendirinya.
Sampai
di manakah anggapan itu benar? Memang harus diakui, bahwa ilham itu memang
penting, akan tetapi dia hanya merupakan suatu unsur saja dalam proses
komposisi. Tidak begitu jauh berbeda dengan keadaan yang berlangsung dalam diri
kita, kalau kita sedang menyusun pembukaan sebuah karangan mengenai suatu soal.
Kadang-kadang kita sampai berjam-jam lamanya mencari kata-kata pembukaan
karangan itu. Malahan tidak jarang sampai berhari-hari. Pokok persoalan yang
kita hadapi sudah lama “menggantung” dalam diri kita. Hanya bagaimana kita
harus memulai karangan itulah yang belum ditemukan. Dalam keadaan jiwa yang
sedang mempersiapkan diri itu, dengan memeras pikiran, berjalan-jalankian-kemari,
melepaskan diri dari kesibukan sehari-hari sebentar, tiba-tiba kita menemukan
idenya, yang kemudian kita susun dalam kata-kata. Kata-kata pembukaan yang
ditemukan secara tiba-tiba itu kita lanjutkan untuk menyelesaikan karangan
tersebut. akan tetapi untuk menyelesaikan karangan itu, kita harus banyak
mengeluarkan keringat dan memusatkan pikiran kita.
Proses
penciptaan yang terjadi dalam jiwa komponis dalam garis besarnya tentu tidak
akan banyak menyimpang dari contoh-contoh tersebut. dalam sejarah penciptaan
musik yang telah ditulis mengenai proses penciptaan di dunia Barat, ada suatu
contoh di mana seorang komponis malahan menunggu sampai tujuh tahun lamanya
untuk menyelesaikan salah satu simponinya. Kalau buah ciptaannya sudah
berbentuk dan kita dengarkan, orang terpaksa harus mengakui, bahwa
seniman-seniman kreatip demikian tentulah merupakan makhluk-makhluk yang
dikaruniai Tuhan. Makhluk yang dapat menciptakan sesuatu yang indah dan
mempesonakan. Yang tidang sembarang orang mampu.
Oleh
karena itu, seniman kreatip menempati kedudukan tersendiri dalam masyarakat.
Orang selanjutnya menganggap, bahwa dengan dorongan gaib gaib kepada pencipta,
membuat komposisi adalah pekerjaan yang tidak perlu minta tenaga begitu banyak
dari penciptanya, sebab seniman kreatip hanya perlu digerakkan saja oleh
sesuatu kekuatan dari luar dirinya. Padahal kenyataannya adalah tidak demikian.
Kenyataannya adalah, bahwa dalam diri komponis terjadi suatu proses, yang
terbagi dalam beberapa tingkat perkembangan. Memang ada kalanya, mula-mula
seniman kreatip masih merupakan obyek yang pasip. Dia digerakkan oleh faktor
yang ada dalam dirinya sendiri. Juga faktor-faktor yang ada di luar dirinya itu
ikut mempengaruhinya. Hanya jiwa yang dapat menyesuaikan diri dengan apa yang
diterimanya dari dirinya sendiri dan dari luar dirinya, dapat menunjukkan
reaksi dan memberi jawaban. Jawaban ini merupakan suatu keadaan dalam jiwa
komponis, suatu keadaan di bawah sadar yang oleh sementara penulis, seperti Broex, disebut ‘gema batiniah”.
Adapun
faktor-faktor yang memancing keluarnya jawaban dari diri komponi adalah
umpamanya, pengetahuan teknis mencipta, kemudian citarasa musikal, pengetahuan
mengenai musik, pembawaan pengaruh dari masyarakat sekitarnya, keadaan kejiwaan
komponis sendiri dan lain-lain.
Keadaan
kejiwaan komponis pada tingkt perkembangan ini masih berbentuk samar-samar
mengenai apa yang akan dicipta. Perasaan demikian dibawa dalam dirinya untuk
beberapa waktu lamanya. Ada yang sebentar, dan ada pula yang sampai
bertahun-tahun. Pencipta belum aktip.
Dalam
tingkat perkembangan selanjutnya pencipta masih mencari-cari bentuk teknis yang
sesuai dengan perasaannya, yang bersuara. Akan tetapi kegiatan jiwanya pada
tingkat ini masih merupakan suatu suasana saja. dalam jiwa pencipta belum
berlangsung adanya bayangan suara-suara yang sudah menemukan bentuk teknis yang
sesuai.
Perasaan
seperti ini mungkin berlangsung dalam semua jiwa manusia, akan tetapi
tingkatnya tidak sama satu sama lain. Hanya mereka, yang mempunyai pembawaan
khusus sajalah yang dapat berhasil mengalihsuarakan perasaan itu.
Dalam
tingkat perkembangan inilah, yaitu pada waktu komponis dalam dirinya masih
membawa suatu suasana yang belum jelas, baru muncul apa yang disebut ilham.
Tingkat inilah yang mengalihkan pencipta dari keadaan yang tadinya pasip
menjadi mulai aktip. Dari keadaan tidak sadar menjadi sadar. Segala
perhatiannya dicurahkan kepada suatu bentuk pernyataan yang bersuara. Ilham ini
biasanya erat kaitannya dengan keharuan pencipta itu sendiri.
Demikianlah
pada umumnya perkembangan yang terjadi dalam jiwa komponis. Komponis
mencurahkan segala daya upayanya mulai dari pencarian bentuk pernyataan yang
bersuara. Kadang-kadang dengan mengalami bermaccam-macam konflik dalam dirinya
sendiri.
5.
Mencipta
adalah ilham tambah pencurahan tenaga yang banyak
Dari
uraian di atas ternyata, bahwa proses mencipta itu melewati berbagai-bagai
tingkat perkembangan. Tapi telah dikemukakan, bahwa dari mulai adanya perasaan
yang samar-samar dalam diri sang pencipta sampai kepada suatu bentuk yang
bersuara, dapat memakan waktu sedikit atau banyak, malahan dapatlah
berkali-kali.
Waktu
yang singkat biasanya menghasilkan buah-buah ciptaan yang penuh dengan ekspresi.
Akan tetapi tidak jarang pula menunjukkan beberapa keteledoran teknis.
Suatu
proses yang lama menghasilkan suara kematangan bentuk. Tidak mesti bentuk yang
digarap matang itu mengurangi kekuatan ekspresi. Karena banyaknya waktu ,
dengan sendirinya keteledoran teknis lebihmudah dapat dihindarkan.
Manakah dari kedua cara itu yang dianggap lebih baik?
Itu sukar dipastikan, karena banyak tergantung dari bahan-bahan yang dihadapi
pencipta.
Buah
ciptaan pendek tentu dianggap dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat.
Sebaliknya bentu-bentuk komposisi yang panjang dengan sendirinya memberi kesan
seakan-akan memerlukan waktu yang lama pula untuk membuatnya. Ini biasanya
anggapan kita. Anggapan ini tidak selalu benar.
Dalam
banyak buku mengenai sejarah musik Barat ditulis, bahwa komponis-komponis
klasik seperti Haydn, Mozart dan Beethoven berjuang dengan gigih untuk
dapat menyelesaikan komposi-komposinya. Komponis Indonesia Kusbini lama sekali berjerih payah untuk dapat memberi bentuk
bersuara kepada lagunya “Bagimu Negeri”,
yang pendek itu.
Schubert,
yang
dala musik Barat terkenal dengan “Lieder”-nya,
memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat menyelesaikan bentuk pernyataan
salah satu lagunya, yng hanya berlangsung kira-kira 2 atau 3 menit bila
dihidangkan.kita lihat sekarang, bahwa apa yang disebut ilham sebagai
suatuhadiah yang gaib itu, hanya dapat menghasilkan sesuatu jika ada pemusatan
segala daya upaya serta pencurahan keringat dari pencipta-pencipta yang begitu
bahagia itu!
Pada
waktu kita mendengarkan hasil konsentrasi dan keringat komponis, kita pada
umumnya tidak dapat mengenal kembali bekas-bekas pencurahan tenaga penciptanya
yang begitu banyak itu.
Orang
mungkin bertanya, buat apa orang mencurahkan begitu banyak tenaga, kalau dalam
hasil karyanya, pencurahan tenaga maksimal itu tidak berkesan. Anehnya, justru
di sinilah harus kita cari harkat manusia itu sebagai manusia.
6.
Kesenian
sebagai salah satu ciri manusia beradab
Soal ciptaan seni
bukanlah soal ekonomi kebendaan. Dia adalah soal tanggung jawab artistik penciptanya.
Ukuran yang bersifat kebendaan tidak dapat kita terapkan pada soal kesenian.
Ukuran yang dipakai adalah ukuran artistik. Ukuran yang bersifat kejiwaan.
Memang buat apa
sebetulnya kita belajar bertahun-tahun agar dapat menguasai secara baik permainan
alat biola? Apakah ia langsung menambah rasa keamanan kita dari bahaya yang
dapat menimpa kita sewaktu-waktu? Apakah bukan lebih baik kita mengail ikan
atau bercocok tanam saja, agar hasilnya, yang dapat menjamin kehidupan kita,
langsung dapat kita ambil?
Pendapat itu mungkin
benar, akan tetapi kita bukan binatang, yang ingin bertahan asal hidup saja.
Kita pun sama makhluk bergerak yang ingin hidup. Akan tetapi hidup yang kita
inginkan, ialah hidup yang dapat merasakan kebahagiaan, di mana kita dapat
menikmati segala keindahan yang dikaruniakan kepada kita oleh Tuhan dan segala
keindahan yang diciptakan oleh hamba-hamba-Nya, oleh manusia.
Justru di sinilah
letak ciri-ciri peradaban manusia. Manusia yang beradab berusaha berbuat
sesuatu dengan mencurahkan segala tenaganya, tidak hanya untuk memperjuangkan
melulu hidupnya, tetapi lebih daripada itu!
Semua makhluk
bergerak yang hidup di dunia ini paling sedikitnya rela mengorbankan tenaganya,
bersedia bersusah payah, karena digerakkan oleh tiga motip yang terpenting
untuk kelangsungan hidupnya :
a. Untuk
menambah kesejahteraan materiil.
b. Untuk
menambah keamanan diri sendiri dan golongannya.
c. Untuk
melanjutkan keturunan.
Seekor kucing
misalnya berlari-lari tidak untuk bersenam irama. Kucing itu berlari karena
ingin menangkap burung yang dikejarnya untuk dimakan (kesejahteraan materiil),
atau untuk melepaskan dari dari kejaran anjing (keamanan). Atau jika kucing itu
berjenis kelamin jantan karena mengejar kucing betina (keturunan).
Akan tetapi makhluk
yang beradab, menjadi manusia yang beradab, lebih banyak motipnya yang
menggerakkan sehingga ia mau bersusah payah. Antara lain; untuk menambah
santapan rokhani dan jiwaninya. Sebab jika tidak demikian, manusia hanya baru
setingkat dengan binatang perkembangannya.
Oleh karena itu
tidak perlu heran, kalau seorang komponis kadang-kadang sampai bertahun-tahun
lamanya mencari bentuk pernyataan yang cocok menurut getaran hatinya, hanya
untuk menyelesaikan sebuah lagu saja!
Seorang komponis
yang murni, dalam mencipta, biasanya
tidak akan memperhitungkan terlebih dahulu, apakah ciptaannya nanti akan
mendapatkan penghargaan materiil atau tidak dari publik. Dia mencipta oleh
karena dia ingin atau ada dorongan yang kuat untuk mencipta. Ada sebab-sebab
atau keadaan-keadaan yang bersemayam dalam dirinya sendiri, dan ada pula
sebab-sebab yang berada di luar jiwanya yang menggerakkan hatinya untuk
mengambil pensil guna mencatat yang bergema dalam hatinya.
Keadaan atau
faktor-faktor yang berada di luar diri komponis tentunya harus berjiwa
sedemikian rupa, sehingga dapat bergema dalam jiwa seorang yang merasa dirinya
terpanggil untuk mencipta. Faktor-faktor di luar diri komponis itu tentunya
juga mengandung unsur-unsur yang ada musik itu sendiri. Umpamanya saja laut
besar dengan ombaknya dan kekuatan suara yang menggelegar bergelombang
berirama. Perasaan yang ditimbulkan oleh adanya daya tarik negara-negara asing
yang berada jauh sekali di seberang lautan memberi bahan kepada petualangan
khayalan kita.
Akan tetapi, bukan
hanya suara yang berirama seperti laut besar itu saja yang dpat mengharukan
seorang pencipta, ketenangan pun dapat memberi bahan-bahan bersuara kepada
seorang komponis. Umpamanya saja suasana yang disebabkan oleh udara yang sejuk
di pegunungan dengan kicauan burung-burung serta hembusan angin yang halus yang
sering mengelus-elus telinga kita. Tentu saja bahan-bahan sumber ciptaan lain
pun masih banyak sekali. Seringkali malahan yang tidak disangka dapat menjadi
sumber ilham komposisi, khususnya oleh mereka yang memang tidak ditakdirkan
untuk mencipta musik. Pada umumnya, keadaan yang menimbulkan suasana tertentu
akan tetapi samar-samar, yang sukar dinyatakan dengan lukisan atau kata-kata,
mungkin akan lebih tepat kalau dinyatakan dengan musik.
Akan tetapi kita
harus ingat, bahwa dalam keadaan seperti yang kita ambil sebagai contoh di atas
hanya dapat bersemayam dalam jiwa seseorang yang musikal dan kreatip saja.
unsur inilah sebetulnya pendorong utama untuk mencipta.
7.
Proses
terjadinya improvisasi
Improvisasi sebagai
bentuk ciptaan yang dimainkan, biasanya melalui proses penciptaan yang tidak
begitu mendalam sentuhan kejiwaannya, kalau dibandingkan dengan bentuk ciptaan
yang tertulis. Juga bentuknya, tidak begitu teratur rapi. Kekuatan bangunannya
pun kurang kokoh, meskipun kadang-kadang dalam hal ekspresinya lebih
mengesankan.
Kesalahan-kesalahan
teknis dengan sendirinya seringkali sukar dihindarkan. Akan tetapi tentunya
hanya orang-orang yang jiwanya terlaras dengan musik sajalah agaknya yang dapat
membuat improvisasi yang berarti.
Pembaca yang biasa
main dalam band-band hiburan, apalagi pemain tunggal (solis), akan mengalami
sendiri, bahwa dalam rangka pola yang tetap, dia kadang-kadang perlu melakukan
improvisasi. Sebab kalau tidak demikian, pendengar akan bosan mendengarkan
melodi yang sama dua kali, kalau tidak diimprovisasikan. Terutama pola-pola
harmonis yang dimainkan oleh salah satu seorang pemain gitar yang memperdengarkan
perkembangan akor (suara sama) perlu diambil ptokan oleh pemain melodi untuk
mengimprovisasikan sebuah melodi yang selaras dengan perkembangan akor-akor
tersebut.
Pemain solo (pemain
tunggal) akan mengalami, bahwa membuat improvisasi bukanlah hal yang mudah.
Karena itu yang mereka lakukan kebanyakan hanyalah meniru improvisasi solis
lain yang sudah mahir saja. atau umpamanya waktu berlatih, meniru-niru
improvisasi permainan solis dari piringan hitam, casset-recorder, playdisk, dan
lainnya.
Akan tetapi,
improvisasi tiruan demikian tentu terutama hanya terbatas hanya pada latihan
teknis saja, belum menunjukkan kemampuannya dalam bidang musikalitas. Dan,
hanya ketrampilan teknis saja tanpa musikalitas tidak mudah digunakan untuk
meniru kalimat-kalimat musikal secara baik. Meskipun demikian meniru ada juga
baiknya, karena dengan meniru pemain-pemain musik yang baik dalam
latihan-latihan, khususnya mereka yangmemiliki secara musikal, dapat memahami
kalimat-kalimat musikal yang ditiru. Dengan cara demikian dia sebetulnya juga
mendidik diri sendiri untuk nantinya menjadi improvisator yang mempunyai
harapan baik di kemudian hari.
8.
Notasi
musik yang deskriptip dan preskriptip
Dalam masyarakat
yang kehidupan musiknya sudah berkembang, biasanya mempunyai suatu cara untuk
menotasi musiknya. Maksud notasi ialah, agar kita memperoleh kesan, bagaimana
sebuah lagu misalnya, berbunyi.
Di Indonesia ada
beberapa daerah yang sudah mempunyai cara untuk menotasi musiknya. Bentuk
notasi yang mereka pakai beraneka ragam. Ada yang menggunakan angka. Ada pula
yang menuliskannya dengan bentuk lain untuk memberi isyarat secara visuil
tentang perkembangan nada-nada dalam lagu yang telah dibuat notasinya.
Ada kalanya orang
membuat ntasi sebuah lagu hanya untuk catatan saja, agar tidak lupa
nada-nadanya. Atau untuk memberi kesan saja, bagaimana sebuah lagu dinyanyikan.
Notasi tentu tidak dapat memuat semua sifat nada-nada yang berkembang dalam
lagu tersebut. misalnya bagaimana kerasnya suatu perkembangan kalimat dalam
lagu harus dinyanyikan. Bagaimana tegangan rasa dari perkembangan suatu nada ke
nada lain harus digarap. Tulisan musik tidak ada yang mampu memberi uraian
sampai ke bagian yang sekecil-kecilnya, bagaimana sebuah lagu harus dinyanyikan
atau dimainkan dengan salah satu alat.
Cara mencatat musik
hanya untuk pegangan atau hanya untukk membantu ingatan kita saja, dan bukan
dengan maksud untuk dimainkan atau dinyanyikan, disebut notasi deskriptip. Kata
deskriptip berasal dari kata Inggris description
yang artinya kira-kira “uraian atau gambaran”.
Kita semua sudah
mengetahui, apa yang biasa disebut “paranada”
atau “balok-not”. Kata ini berasal dari istilah Belanda “notenbalk”, yaitu
notasi musik yang mempergunakan lima garis horisontal dan empat spasi untuk
menempatkan titi-titi nada. Seperti gambar berikut
Kata “baloknot”
mungkin untuk pendengaran kita terasa kurang serasi, apalagi dihubungkan dengan
persoalan yang begitu halus seperti musik. Buat angan-angan kita, balok memberi
kesan adanya potongan-potongan kayu yang besar dan berat, yang materinya sangat
menonjol. Sudah lama sesungguhnya para ahli-ahli musik Indonesia dipergunakan
istilah “paranada”, yang
kedengarannya lebih berirama.
Adapun paranada ini
sudah lama dipergunakan dalam dunia musik internasional sebagai cara untuk
mencatat musik seorang komponis dengan maksud untuk dimainkan. Oleh karena untuk dimainkan, semua unsur yang
mempunyai fungsi dalam musik sedapat mungkin harus ikut dibuat notasinya.
Seperti tinggi nada-nadanya, lamanya tiap-tiap nada berlangsung, dinamik
(tingkat kekerasan nada) dan sebagainya. Tentu saja tidak semua unsur dapat
dicatat, sebab memang tidak mudah untuk membuat notasi sesuatu yang berbunyi.
Keharusan yang mendasari dimainkannya suatu perkembangan nada-nada misalnya,
tidak mungkin dilukiskan dengan notasi. Namun demikian paranada dianggap
sebagai suatu cara notasi musik yang paling praktis hingga sekarang dan oleh
karenanya dipergunakan di mana-mana di dunia.
Cara notasi musik
dengan maksud untuk dimainkan ini disebut “notasi preskriptip”. Juga dari kata Inggris “prescription” yang berarti kira-kira “dikte”
atau “dorongan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu menurut kemauan yang
mendorong”. Sebab itulah kiranya apa yang dicatat komponis dalam
batas-batas tertentu mengikat pemain
dalam penyajiannya.
Apakah sifat
preskriptip ini ciri khas paranada? Tidak. Paranada juga dipakai untuk
keperluan pencatatan yang deskriptip. Tidak untuk dimainkan, melainkan hanya
untuk mencatat saja, untuk membantu ingatan kita, untuk dipergunakan sebagai
dokumentasi dan sebagainya.
Pencatatan musik
yang tidak bersistim diatonis pun, seperti lagu-lagu asli yang ada di Indonesia,
karawitan misalnya, dengan tambahan beberapa syarat, dapat pula dilakukan
dengan paranada, agar dapat dibaca pula dan dikenal oleh seluruh dunia. Isyarat
itu misalnya keterangan, bahwa titinada-titinada yang ditulis tidak persis sama
tinggi dengan kenyataannya.
Malahan dalam
seminar mengenai folklore Indonesia dalam tahun 1973 diputuskan untuk
mempergunakan paranada dalam mencatat musik rakyat di Indonesia, sebelum
ditemukan cara notasi lain yang lebih praktis. Tidak untuk mengganti cara-cara
notasi yang telah ada di Indonesia, melainkan agar hasilnya dapat diketengahkan
dalam forum ilmiah internasional. Hanya saja, karena musiknya menggunakan
tangganada bukan tangganada diatonis, ditambah dengan catatan atau
isyarat-isyarat lain mengenai tinggi nada-nadanya.
9.
Fungsi
notasi dalam kehidupan musik
Hampir semua remaja
yang pernah sekolah, sedikit banyak dapat membaca notasi musik. Paling,
mengerti bagaimana mempergunakannya. Yang dibiasakan dalam sekolah-sekolah umum
adalah umum adalah membaca notasi musik yang mempergunakan angka ( systim solfa
atau sistim Cheve ). Akhir-akhir ini, di beberapa sekolah sudah menggunakan
pelajaran membaca paranada.
Sebetulnya belajar
membaca notasi angka pun sama sukarnya atau sama mudahnya dengan belajar
paranada. Masalahnya adalah soal kebiasaan. Orang yang dapat membaca paranada
pun banyak yang kikuk menghadapi notasi angka, apalagi pada waktu memainkannya
dengan alat musik.
Untuk memainkan alat
musik, pada umumnya orang lebih mudah melakukannya kalau notasi dibuat dengan
paranada. Sebab paranada secara teknis lebih banyak membantu para pemain alat
musik untuk mengenakan nada-nada yang dibaca. Akan tetapi harus diingat, bahwa
kepandaian membaca paranada belum tentu berarti orangnya musikal. Paranada
hanyalah alat belaka, bukan musiknya itu sendiri. Alat yang menguntungkan dan
praktis untuk mengembangkan bakat musikal seseorang. Dengan pengetahuan
mengenai paranada, orang sedikit banyak dapat terjun ke dalam alam pikiran
serta perasaan komponis. Sebaliknya orang yang tidak dapat membaca paranada,
jangan dianggap kurang musikal daripada orang yang menguasai pengetahuan
paranada.
Bahwasannya seorang
yang musikal yang juga trampil membaca paranada, akan lebih cepat berkembang
dalam memupuk bakat musikalnya, itu jelas. Perkenalan serta pengetahuan
kehidupan musik di seluruh dunia akan lebih terbuka untuknya. Khususnya dalam
menyelami apa yang terkandung dalam jiwa komponis, yang bersembunyi di belakang
nada-nada dalam ciptan-ciptaannya.
Paranada sudah
berabad-abad dipergunakan manusia, dengan perkembangannya melalui berbagai
bentuk, sehingga sampai kepada bentuk yang sekarang ini. Dengan paranada,
seorang komponis, secara musikal, ingin menyatakan secara tertulis apa yang
terkandung dalam hatinya, dan sekaligus memperkenalkannya kepada masyarakat.
Buah kreasinya diharapkan akan menjadi kegiatan para pemain musik, di samping
menjadi obyek penikmatan musikal masyarakat.
Daya kreasi komponis
dituliskan dalam bentuk paranada, meskipun tidak seluruh gelora musikalnya
dapat dituliskan. Akan tetapi ciptaan musik yang ditulisnya, dalam batas-batas
kemampuan segala tanda yang ada dalam paranada, diharapkan oleh komponis akan
diikuti secermat mungkin oleh pemain musik sebagai hak ciptanya. Tentu saja
dengan memberi kebebasan yang terbatas kepada penghidangnya. Notasinya seratus
persen bersifat preskriptif. Pemain tidak tidak diberi kesempatan untuk menggunakan
daya kreasinya sendiri. Pemain hanya diberi kesempatan “mencipta kembali”
dengan kebebasan-kebebasan yang terbatas, sehingga hidangannya tidak menyimpang
dari ide komponis.
Dalam suatu
masyarakat yang mempergunakan notasi musik yang bersifat preskriptif,
kreatifitas adalah memonopoli komponis. Dalam suatu masyarakat yang tidak
mengenal tulisan musik yang preskriptif, atau yang tidak memiliki cara notasi
musik samasekali, kreativitas lebih banyak dinyatakan oleh pemain-pemainnya.
Pemain yang kreatip biasanya mencipta sebuah lagu secara improvisatoris, yang
diambil alih oleh pemain-pemain lain dengan memberi hiasan-hiasan musikal
menurut selera musika masing-masing. Pola komposisi yang asli biasanya tetap
diperkembangkan, akan tetapi rakyat pada umumnya bebas untuk menambah atau
menguranginya sesuai dengan seleranya. Pemikiran mengenai hak cipta
perseorangan tidak disadari dan tidak dihiraukan. Di dalam perkembangan ciptaan
demikian selanjutnya, masyarakat atau rakyat pada umumnya yang membentuk pernyataan
musikal tadi. Demikianlah proses terciptanya musik rakyat. Seniman kreatip
dalam masyarakat demikian adalah terutama pemain musik atau penyanyi dengan
hidangan-hidangannnya yang biasanya penuh dengan tambahan hiasan-hiasan musikal
disertai dengan perobahan melodi yang tidk banyak menyimpang dari pola melodi
asli menurut selera tiap penyanyi.
Demikianlah pula
umumnya yang kita alami dalam kehidupan musik tradisionil di Indonesia, dan
mungkin di negeri-negeri Asia lainnya pun demikian pula halnya. Artis kreatip
adalah terutama pemain atau penyanyi.
Musik kaeawitan
Indonesia pun mengenal pula tulisan musik. Biasanya yang ditulis hanya
balungannya atau tema pokoknya saja, dan tidak seluruh melodinya. Tulisan ini
biasanya dikerjakan sebagai pencatatan mengenai dasar-dasar melodi yang sudah
ada. Notasinya biasanya dipergunakan untuk mengingat-ingat perkembangan
melodinya. Jadi, bersifat deskriptip. Akan tetapi tidak jarang pula, notasi
demikian dipergunakan untuk menyajikan musik. Titinada yang dicatat sesuai
dengan tema pokok lagu tetap harus diikuti, akan tetapi penyaji mempunyai
kebebasan terbatas untuk ”menggarap” melodinya dengan hiasan-hiasan, yang
merupakan ungkapan kreatip pemain atau penyanyi itu sendiri.
Dalam soal kebebasan
mengadakan interpretasi, musik jazz lebih jelas lagi menunjukkan pemain atau
penyaji Jazz sebagai artis yang kreatip. Pemain atau penyanyi Jazz lebih bebas
daripada pemain Karawitan dalam menggarap melodi tertulis yang berasal dari
komponi, asal tidak menyimpang dari pola harmonis yang asli.
10.
Bentuk
musik dan skema bentuk
Baik, sekarang kita
pilih sebuah lagu yang sudah amat terkenal bahkan sampai ke mancanegara, “Bengawan Solo” karya sang Maestro “Gesang
”. lagu ini mendapatkan bentuknya justru oleh karena di diciptakan.
Bentuk sebagai suatu pernyataan dapat indh, kurang indah, jelek, jelek sekali
dan seterusnya. Inilah yang kita maksudkan dengan bentuk tadi. Lebih jelas lagi
apa yang kita maksud sebetulnya, kalau kita namakan bentuk tadi “bentuk pernyataan”. Ada juga yang menyebutnya
“wujud” atau “perwujudan”.
Akan tetapi, ada soal lain lagi yang dalam peristilahan musik juga disebut
bentuk, yaitu “pola” atau “skema” bentuk itu.
Dalam hubungan ini,
kita kembali kepada contoh lagu tadi, “Bengawan Solo”. Kalau kita perhatikan
lagu ini, ternyata bahwa lagu “Bengawan Solo” mengikuti polatertentu. Coba kita
nyanyikan, “Bengawan Solo..., Riwayatmu
ini..., Sedari dulu..., jadi..., perhatian insani . . . “
Kita mengenal
kata-kata ini sebagai kalimat-kalimat bahasa, yang mempunyai arti. Sesuai
dengan sebutan tadi, melodi yang dilagukan juga merupakan kalimat musik.
Kalimat musik ini kita namakan “tema”. Oleh karena tema itu tema pertama,
kita sebut saja tema A.
Orang yang mengenal
tema A ini untuk pertama kali sebagai perkenalan, biasanya ingin mengenalnya
lebih dekat lagi. Oleh karena itu, tema ini untuk kedua kalinya dilagukan lagi,
yaitu dari mulai “Musim Kemarau . . .
. . . “
Nah, tentu pembaca
akan melihat, bahwa ternyata masing-masing nada terakhir dari kedua kalimat
yang sama itu, tidak serupa. Namun, kedua tema tadi “maknanya” sama. Tema ulangan yang kedua kalinya ini kita sebut juga
temaa “A”. Tema A yang pertama berakhir dengan nada; sol fa sol mi. Tema A yang
kedua dengan; sol fa mi do’. Bagaimanakah
sekarang perkembangan kalimat-kalimat musik ini seterusnya?
Kalau kita ulangi
kalimat A tadi sekali lagi, tentu pendengarnya akan menjadi bosan. Oleh karena
itu, lagu ini kita lanjutkan dengan tema lain. Tema yang sifatnya bertentangan
dengan tema A tadi. Dimulai dengan kata-kata; “Mata airmu dari Solo”, melodinya berganti menduduki dasar nada
yang lain, seluruhnya seperti bersifat menentang. Tema baru ini merupakan kontras terhadap tema A tadi. Iringan
lagunya pun demikian, umpamanya diiringi dengan gitar, sudah bersifat lain.
Kalau tema A
umpamanya menggunakan dasar iringan yang berpusat pada nada dasar C (Naturel dalam istilah populernya), maka
yang merupakan kontras memakai nada dasar F (istilah populernya = 1 mol). Tema baru ini kita namakan tema “B”. Dengan
menggunakan tema B ini, orang sudah diajak menginjak ke alam lain, yang beda
suasana dengan asal mulanya.
Lagunya dengan
sendirinya tidak dapat berakhir di situ. Bagaimanapun sebuah melodi di dalam
perkembangannya melarikan diri dari temannya yang asli, dia akhirnya akan pulang
kembali ke asalnya. Kalau tidak begitu, maka ada rasa mengembara di dalam hati
kita yang harus diselesaikan.
Tadi kita sudah
berkenalan dengan tema pertama (tema A), yang sampai dua kali dilagukan.
Kemudian kita diperkenalkan kepada tema B, yang menentang tema tema A. Kita
merasa bahwa A-lah kenalan kita yang pertama dan kenalan yang utama pula,
sedangkan tema B hanya merupakan kenalan sambil lalu saja. orang sekarang
berada di persimpangan jalan, yang minta penyelesaian.
Untuk menjelaskan
tema B ini sebagai tema kontras, maka orang lalu menutup lagunya dengan kembali
ke tema A. Dimulai dengan kata-kata dari nyanyian; “Itu perahu . . . . . . “.
11.
Bentuk
lagu yang biasa
Kita lihat sudah,
bahwa lagu “Bengawan Solo” tadi melewati pola atau skema tertentu secara wajar.
Pola itu : A – A – B – B – A. Pola ini disebut “bentuk lagu”. Bentuk lagu yang
sederhana ini populer sekali. Sebab merupakan bentuk musik, baik musik vokal
maupun musik instrumental, untuk menyatakan perasaan-perasaan yang sederhana,
yang tidak terlalu dalam. Dan tidak pula menimbulkan persoalan-persoalan
kejiwaan yang terlampau rumit. Cocok untuk mencurahkan rasa lirik sambil lalu,
pertentangan-pertentangan batin yang ringan, rasa sentimentil remaja yang tidak
terlalu mencekam, rasa terpesona, rasa cinta selayang pandang dan sebagainya.
Hal ini mungkin
boleh kita sejajarkan dengan penggunaan bentuk cerpen dalam bidang sastra. Kalimat untuk perasaan-perasaan serta
persoalan-persoalan, keadaan jiwa yang meluas dan mendalam berikut
akibat-akibatnya yang tragis, liris, epis atau dramatis, dalam bidang sastra
pun memerlukan bentuk yang lebih luas. Misalnya bentuk roman atau novel.
Demikian pula halnya dengan musik, untuk keperluan yang sama di sini pun
memerlukan bentuk yang luas, seperti misalnya sonata, simponi, konserto dan lain-lain, yang biasanya dilakukan
oleh pencipta-pencipta musik seriosa.
Di Indonesia, bentuk
AABA ternyata banyak digunakan dalam hampir semua lagu nyanyian populer. Sampai
sekarang, di negeri kita pada umumnya, yang disebut dunia penciptaan musik,
kebanyakan baru berada dalam tingkat bentuk penciptaan musik untuk dinyanyikan.
Ciptaan-ciptaan instrumental jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Suara
instrumental sebagai suara musikal yang otonom (yang berdiri sendiri), agaknya
belum mendapat “pasaran” sebagaimana mestinya.
Pembaca mungkin ada
yang belum dapat membayangkan, betapa pencipta-pencipta yang sudah mempunyai
nama internasional yang tinggi dapat mencapai pernyataan musikal yang luhur
justru dalam ungkapan-ungkapan instrumental, tentunya di samping bentuk-bentuk
vokal pula.
Pembuatan komposisi
intrumental memang memerlukan suatu keahlian khusus dari pencipta. Yaitu
pengetahuan tentang sifat alat musik yang dipilih untuk komposisinya. Sama saja
dengan seorang penciptabuah-buah musik vokal, yang perlu mengetahuisebaik
mungkin sifat suara manusia. Kalau tidak begitu, besar kemungkinan komposisinya
yang dibuat untuk permainan trompet misalnya, akhirnya tidak dapat dimainkan
orang. Umpamanya saja, nada-nada yang ditulisnya untuk trompet terlalu tinggi
atau terlalu rendah, sehingga peniup trompet tidak sanggup memainkan
komposisinya. Di sini jelas diperlukan adanya pengetahuan komponis mengenai
jelajahan nada-nada yang secara normal dapat ditiup oleh manusia pada trompet.
Meskipun untuk pemain-pemain yang virtuos (pemain yang sudah menguasai teknik
permainan yang tinggi, pemain ulung) memang kadang-kadang dibuatkan juga
komposisi-komposisi yang melebihi syarat-syarat teknis yang normal.
Akan tetapi pada
umumnya, pencipta komposisi untuk trompet harus mengetahui pula
kesukaran-kesukaran teknis apa saja yang biasa terdapat pada permainan trompet.
Pencipta untuk trompet tentu tidak akan menulis nada-nada yang akhirnya
ternyata hanya bisa dimainkan oleh pemain biola misalnya.
Biasanya pencipta
komposisi untuk suatu alat tertentu, apa saja, misalnya, klarinet atau biola,
adalah seorang pemain klarinet atau pemain biola sendiri. Kalau tidak demikian
halnya, seringkali terjadi, bahwa seorang komponis minta bantuan seorang pemain
alat musik, untuk meminta petunjuk-petunjuk yang bersifat teknis.
Akan tetapi, yang
terutama diperlukan, adalah pengetahuan mengenai sifat teknis dan musikal
alat-alat musik pada umumnya. Kalau
tidak, bagaimana mungkin seorang komponis akan dapat membuat ciptaan untuk simponi. Suatu bentuk komposisi untuk
permainan semua anggauta keluarga alat musik. Dari yang digesek, dipetik,
ditiup sampai kepada alat-alat musik yang dipukul.
Yang dapat dimainkan bersama oleh puluhan sampai ratusan pemain!
Betapa hebat
kedengarannya! Dan betapa kejadian seperti itu merupakan suatu kegiatan
manusia-manusia yang berbudaya. Puluhan sampai ratusan manusia bersusah payah
sarta berkumpul untuk bersama-sama menyajikan suatu hasil seorang komponis,
hanya semata-mata untuk memenuhi syarat sebagai manusia yang berbudaya.
12.
Bentuk
komposisi yang besar
Di atas, kita telah
berkenalan dengan bentuk-bentuk komposisi yang kecil, yang sederhana, akan
tetapi tidak kecil isi serta fungsinya. Sekarang mari kita beralih kepada
pola-pola ciptaan musik yang lebih besar. Ciptaan-ciptaan yang kadang-kadang
dapat kita dengar pula lewat RRI atau televisi, yang dimainkan oleh orkes
simponi RRI, dan kadang-kadang juga oleh oleh orkes tamu dari mancanegara.
Juga dalam bentuk
ciptaan yang besar, pencipta selalu mendasarkan vitalitas komposisinya pada
adanya kontras, yaitu
pertentangan-pertentangan. Persis seperti dalam pola bentuk lagu. Tanpa
kontras, komposisinya tidak akan menunjukkan gaya hidup. Sama dengan sebuah
lukisan, kalau tidak terdapat pertentangan-pertentangan di dalamnya, seperti
pertentangan garis-garis yang melintang dan sebagainya, lukisan akan matii.
Hidup itu sendiri adalah suatu kompleks pertentangan yang ada di dalamnya.
Terutama pertentangan antara hidup dan mati.
Salah satu bentuk
komposisi yang besar, yang sudah menjadi klasik dalam musik diatonis adalah
bentuk sonata. Bentuk ini hingga
sekarang masih saja dipergunakan di seluruh dunia yang musik diatonisnya telah
berkembang dengan pesat. Bentuk sonata adalah khusus bentuk instrumental, yaitu
untuk permainan sebuah alat musik atau beberapa alat musik. Pola sonata terdiri
dari tiga buah gerak, movements dalam
bahasa Inggris. Yaitu adanya contras ;
gerak cepat, gerak lambat dan kembali ke gerak cepat lagi.
Bentuk ciptaan
sonata biasanya dibuat untuk permainan sebuah alat musik atau lebih, akan
tetapi tidak dalam jumlah yang terlalu besar. Kalau dimaksudkan untuk permainan
sesuatu alat, biasanya pianolah yang dipilih. Di samping itu, ada juga ssonata
untuk permainan biola, diiringi atau tidak diiringi piano. Ciptaan yang
demikian disebut sonata untuk biola. Di
samping itu ada sonata untuk cello, untuk hobo, komo, untuk klarinet atau
alat-alat lain. Mungkin sementara pembaca ada juga yang tidak mengenal
alat-alat tersebut. untuk keperluan itu mengenai berbagai-bagai alat musik akan
diuraikan dengan agak lebih diperinci.
Di atas sudah
diuraikan, bahwa sonata terdiri dari tiga bagian, atau tiga gerak. Bagian yang
pertama biasanya yang disebut mempunyai pola sonata. Tentu saja, pola sonata
dalam arti yang sempit. Disebut dalam arti yang sempit, oleh karena
keseluruhannya, yaitu ketiga bagiannya pun disebut sonatajuga.
Pola bentuk sonata
yang khusus itu (yaitu bagian pertama atau gerak pertama) mempunyai konstruksi
berdasarkan prinsip A – B – A. Di sini kita teringat lagi kepada pola bentuk
lagu. Jadi bagian pertama dari sonata itu dalam keseluruhannya sudah terdiri
dari tiga bagian; A – B – A.
Bagian pertama “A” disebut
pameran, atau eksposisi.
Bagian yang kedua “B”
dinamakan divertimento, yaitu hiburan. Bagian “B” ini terdiri dari
bagian-bagian yang diambil dari tema-tema yang dipamerkan dalam bagian A.
Disadur menurut konsepsi artistik sang
pencipta sendiri, di sana-sini disambung dengan melodi yang bebas
sifat-sifatnya.
Bagian ketiga, yaitu
yang disebut “A” lagi, dinamakan reprise,
atau juga reeksposisi, pameran
ulangan. Bagian ketiga ini sebetulnya juga ulangan dari bagian pertama dan
biasanya diberi bentuk variasi atau hiasan-hiasan yang bebas menurut rasa
artistik penciptanya. Dalam bagian ketiga ini makna konsepsi bagian pertama
harus dengan mudah dapat dikenal kembali.
Masing-masing bagian
tentu terdiri dari tema-tema, yang dengan sendirinya harus merupakan kontras
lagi satu sama lain. Bagian kesatu biasanya jelas merupakan permainan kontras
tema-tema ini. caranya membuat kontras, biasanya tema kesatu sifatnya kuat,
keras suaranya atu juga iramanya; dan tema kedua diambil yang berkesan halus, lembut, gerak
lagunya melodis sekali.
Sampai sekarang kita
baru membicarakan gerak pertama saja dari suatu sonata. Gerak pertama ini pun sudah terdiri dari tiga bagian, yang
masing-masingmengandung tema-tema yang bertentangan.
Gerak kedua dari sonata keseluruhannya biasanya dibuat
dalam bentuk lagu. Seringkali dengan saduran-saduran atau variasi-variasi
dengan mempergunakan tangganada-tangganada berlainan, yang satu sama lain masih
ada hubungannya. Umpamanya tema yang pada permulaan ditetapkan dalam tangganada
mayor selanjutnya diberi variasi dalam tangganada minor yang bersangkutan.
Semuanya ini merupakan bagian kedua dari sonata.
Sekarang gerak ketiga. Gerak ketiga ini disebut
juga finale, maksudnya; bagian
terakhir atau bagian penutup. Bentuk
yang dipilih kebanyakan bentuk Rondo. Rondo
andalah bentuk musik untuk mengiringi tarian.
Pembaca mungkin agak
merasa sedikit sukar untuk mengikuti jalan piliran pola komposisi sonata ini.
akan tetapi buat pencipta-pencipta yang berbakat, perkembangan proses
penciptaan seperti diuraikan tadi tidak terasa sebagai hukum-hukum yang
mengikat. Hukum-hukum atau pola-pola itu memang tidak dibuat dulu oleh suatu
panitia apa pun untuk memberi petunjuk cara membuat suatu komposisi.
Hukum-hukum serta kebiasaan-kebiasaan itu justru tadinya timbul secara wajar
oleh karena pola-pola itu merupakan perkembangan dari bentuk-bentuk
komposisi-komposisi yang sudah ada sebelumnya.
Tidak ada seorang
pun komponis yang terikat secara kaku dalam mencipta sebuah sonata. Di dalam
sejarah perkembangan bentuk sonata, tidak jarang kita menemukan poa-pola yang
menyimpang. Apalagi dalam zaman Romantik Barat. Sama saja sebetulnya dengan
pola lagu, yang dalam sejarah perkembangannya tidak selalu mempertahankan
bentuk yang sudah klasik itu. Bagaimanapun juga, prinsip kontrastik yang begitu
esensial dalam suatu bentuk pernyataan ini tetap dipertahankan. Yaitu prinsip
konstruksi A – B – A.
13.
Bentuk
simponi
Kalau penciptaan
suatu sonata sudah memberi kesan adanya daya upaya fisik serta spirituil dari
komponisnya, daya upaya tadi di dalam isinya akan menjadi meluas lagi kalau
kita meneliti suatu komposisi yang disebut simponi.
Sebab karya simponi mempunyai bentuk seperti sonata, hanya saja sonata yang
dapat dimainkan oleh semua keluarga alat-alat musik yang ada.
Dengan sendirinya
dari komponis diminta adanya pengetahuan khusus mengenai semua alat musik yang
dipergunakan untuk musik simponi. Terutama mengenai sifat-sifat alat musik,
warna suara suatu alat musik, jelajahan suaranya, kemungkinan-kemungkinan
teknis yang dapat dihasilkan oleh alat-alat itu, suatu citarasa yang baik
mengenai pengetahuan perpaduan berbagai-bagai warna dari aneka alat musik, dan
sebagainya.
Satu soal yang harus
diperlihatkan dalam hal simponi. Kalau sonata terdiri dari tiga bagian, maka
dalam hal simponi ia ditambah dengan satu bagian lagi. Jadi simponi biasanya
terdiri empat bagian. Di antara bagian kedua dan bagian terakhir dari bentuk
sonata, dalam simponi ditambahkan satu bagian lagi, atau disebut juga suatu gerak.
Bagian ketiga yang
ditambahkan ini biasanya mengambil bentuk Minuet,
suatu bentuk musik untuk mengiringi tarian Minuet. Komponis terkenal Beethoven adalah komponis pertama yang
mengambil bentuk Scherzo untuk bagian
ketiga ini dalam simponinya.
Istilah Minuet dan
Scherzo sesungguhnya lebih ditujukan kepada suasananya daripada kepada pola
komposisinya. Scherzo adalah suatu jenis musik yang memberi suasana jenaka yang
bermain-main, akan tetapi tentu saja dalam rangka seriosa, yang berbeda dengan
arti lucu seperti yang kita jumpai sehari-hari.
Musik simponi oleh karena adalah suatu sonata untuk orkes. Sedangkan orkes
adalah kesatuan alat-alat musik untuk dimainkan. Kesatuan itu
bermacam-macam. Ada yang terutama terdiri dari alat-alat musik gesek, seperti biola, biola alto dan celo, disebut orkes gesek. Ada yang
khusus terdiri dari alat-alat tiup, yang biasanya ditambah dengan alat-alat
yang menghasilkan irama. Misalnya seperti tambur
dan timpani. Orkes demikian disebut orkes
tiup. Disebut orkes tiup. Dibsebutnya orkes
fanfare. Dan, kalau orkes seperti itu dicampur dengan alat-alat yang tidak
termasuk alat tiup, seperti kontrabas yang
berdawai dan sebagainya, maka biasanya diberi nama orkes simponi. Kesatuan yang terdiri dari melulu gitar, seperti
yang banyak kita jumpai sekarang, disebut orkes juga. Akan tetapi secara
populer, orkes seperti itu sekarang disebut band,
sedangkan bentuk lain yang mempergunakan alat-alat seperti piano, biola,
saksofon dan trompet oleh umum malahan dinamakan orkes.
Kita perlu mengenal
nama-nama berbagai macam jenis alat-alat musik dalam suatu orkes simponi agar
kita mengetahui, bagaimana seorang komponis simponi itu harus berhadapan dengan
berbagai soal di dalam proses penciptaannya.
14.
Alat-alat
musik
Alat-alat musik dapat dibagi ke dalam empat
keluarga besar, yaitu :
a.
Kordofon
(alat musik berdawai).
b.
Aerofon
(alat musik yang ditiup mempergunakan udara).
c.
Idiofon
(alat musik yang bahannya ikut berbunyi).
d.
Membranofon
(alat musik yang mempergunakan kulit agar bersuara)
Pembagian seperti
ini kita pergunakan untuk kepentingan penelitian ilmah. Untuk berbagai macam
bentuk komposisi instrumental, kita bagi alat-alatnya untuk kepentingan praktis
dalam tiga golongan :
1). Keluarga alat-alat musik yang berdawai (string), ada yang digesek, dan
ada juga yang dipetik, seperti, harpa dan
gitar.
2). Keluarga alat-alat musik yang ditiup, trompet, klarinet, fagot.
3). Keluarga alat-alat musik yang memainkannya
dengan cara dipukul juga disebut perkusi seperti, timpani, cymbals, trianggle.
Mengenai alat-alat
musik yang berdawai, pembaca tentu banyak yang sudah melihatnya. Yaitu : biola; biola alto, violoncello atau cello. Kemudian masih ada contrabass, juga disebut: Stringbas. Stringbas adalah bas yang
mempergunakan dawai (strings). Sebab
ada juga bas yang ditiup.
Gitar, harpa, siter,, mandolin dan piano pun sesungguhnya termasuk keluarga
yang berdawai juga.
Biola, tentu sudah pembaca kenal. Dawainya ada empat.
Dilaras, mulai dari dawai yang terendah sampai yang tertinggi: g, d, a, e. Oleh karena yang terendah
dilaras g-rendah, komponis tentunya
tidak akan membuat komposisi untuk biola yang mengandung nada yang lebih rendah
daripada g-rendah tadi.
Sebaliknya, permainan pada dawai yang
tertinggi, yaitu dawai e atau juga dinamakan kwint dapat diberi nada-nada yang jauh lebih tinggi dari pada e. Akan tetapi tentu saja ada batasnya,
sampai setinggi mana. Batasnya adalah, sampai ke nada yang tingginya tingginya
tidak terdengar sebagai nada musikal lagi. Yaitu nada-nada yang sudah tidak
dapat kita nikmati sebagai nada lagi oleh telinga kita..
Biola ini mempunyai
kakak, yaitu yang disebut biola-alto. Juga
mempergunakan empat utas dawai. Larasannya: c – g – d’ – a’. Nada-nadanya dapat
berbunyi lebih rendah daripada nada terendah yang dihasilkan oleh dawai biola
yang terbesar. Oleh karena bentuk biola-alto lebih besar sedikit daripada
bentuk biola, warna nada-nadanya yang keluar pun lebih besar volumenya. Sifat
nada-nadanya tidak begitu menyerang seperti nada-nada biola biasa. Di
Indonesia, belum banyak orang yang belajar memainkan biola-alto ini. dalam
orkes simponi suara biola alto mutlak perlu. Dia pengisi kekosongan jelajahan
suara antara biola biasa dan violecello, sebuah
alat berdawai lain yang khusus memberi suar bas.
Jelajahan nada
musikal pada keluarga alat-alat gesek ini terus merendah sampai kepada alat
yang disebut kontrabas. Kontrabas
menghasilkan nada-nada yang lebih rendah lagi daripada violencello.
Kita sudah lihat
suatu keluarga alat gesek yang berdawai dari yang tinggi sampai terendah,
berturut-turut: biola, biola alto,
violencello atau cello dan contrabas.
Komposisi yang
khusus terdiri dari alat-alat gesek ini mempunyai bentuknya yang ideal dalam komposisi
yang disebut kwartet terdiri dari
permainan empat buah alat :
Biola kesatu,
Biola
kedua (masih
biola juga),
Biola alto,
Cello.
Orkes yang terdiri
dari tiga buah alat musik yang merupakan kesatuan disebut trio. Biasanya terdiri dari piano,
biola dan cello. Trio ini pun merupakan wadah khusus suatu komposisi juga.
Maksudnya orang, orang dapat menciptakan kwartet,
trio atau kwintet (untuk empat,
tiga atau lima buah alat) dan seterusnya, yaitu komposisi untuk enam buahalat,
disebut sekstet, untuk tujuh buah
alat namanya septet dan begitu
seterusnya. Bentuk atau rangka yang dipergunakan untuk komposisi tentunya
tergantung pada komponisnya, akan tetapi biasanya bentuk sonata.
Dari keluarga yang
berdawai ini kita menengok sejenak kepada keluarga alat musik yang ditiup. Pembaca mungkin banyak yang
belum mengenal alat-alat tiup yang dipergunaka dalam orkes simponi.
Alat tiup dibagi
menjadi dua jenis. Yang dari kayu dan
yang ddari logam. Alat tiup yang dari kayu antara lain; seruling, klarinet, hoboi, fagot, kontrafagot, saxsofon dan lain-lain.
Bahan yang
dipergunakan untuk membuat alat musik dari kayu ini selain daripada kayu, juga
terbuat dari ebonit, plastik dan logam. Ada yang terbuat dari perak, ada pula
yang disepuh emas.
Saxsofon umpamanya,
yang digolongkan ke dalam keluarga kayu, akan tetapi alat ini samasekali tidak
terbuat dari kayu. Alat ini terbuat dari logam, diberi sepuhan perak atau emas.
Akan tetapi, suara saxsofon dihasilkan melalui suatu proses, yang mempergunakan
alat dari sejenis kayu tipis. Biasanya dibuat dari kulit semacam jerami yang
keras, hampir sekeras kulit bambu yang disebut, reeds dari kata Inggris berarti = lidah.
Memang dari keluarga
kayu ini hampir semua alat musik tiup mempergunakan lidah, kecuali seruling yang
tidak. Macam apakah lidah itu, pembaca boleh mengambil persamaan dengan banyak
alat kesenian Indonesia sendiri, antara lain misalnya tarompet Jawa Timur, yang biasanya dipakai untuk mengiringi tarian kuda kepang. Tarompet ini menghasilkan
nada-nada keras dan tinggi karena mempergunakan semacam lidah. Akan tetapi
lidah yang dibuat dari tangkai pohon padi atau juga dari bahan-bahan lain. Klarinet, hoboi, fagot, kontrafagot dan saksofon, semua mempergunakan lidah (reeds). Pada umumnya yang paling
digemari para pemain alat musik tiup adalah reeds
buatan Perancis. Ada jenis yang keras, sedang dan yang lemas. Mau pilih
yang mana, terserah pada kesukaan masing-masing. Dan harganya tidak bisa
dikatakan murah
Ya, seruling terkadang
dibuat separuh dari kayu dan separuhnya lagi dari perak atau.
Sebagaimana tadi
telah disinggung, seruling tidak menggunakan lidah/reeds untuk memainkannya. sejenis logam lain. Seruling yang ecil mungil
dengan suara yang tinggi melengking disebut picolo.
Biasanya dipakai dalam orkes kemiliteran untuk berbaris.
Cara meniup seruling
dalam simponi sebetulnya sama saja dengan cara meniup seruling dari bambu,
khususnya seruling silang. Bedanya seruling dalam orkes simponi mempergunakan kelep untuk nada-nada yang kromatis. Kromatis adalah penetapan tinggi
nada-nada berturut-turut dengan jarak setengah nada tiap kali, nisalnya: nada c, kemudian nada cis, selanjutnya nada d, dan
seterusnya. Sama saja dengan do, di, re,
ri, mi dan seterusnya.
Sebetulnya, kelep-kelep itu dimaksudkan untuk mempermudah
permainan seruling, kalau kita ingin main dalam berbagai-bagai tangga nada. Ini
jika disamakan dengan permainan seruling bambu tanpa kelep. Akan tetapi ada
beberapa macam seruling pakai kelep, meskipun mempergunakan berbagai-bagai
tangganada pula! Ini soal kebiasaan saja.
Kembali ke seruling
untuk orkes. Kalau semua lubang sebuah seruling tertutup ditiup dan
menghasilkan nada yang tingginya seperti nada c pada piano, maka seruling
demikian kita sebut seruling larasan c. Oleh
karena itu, para nada untuk permainan seruling sama dengan paranada untuk
piano. Tangganada c untuk piano
adalah juga tangganada c untuk
seruling. Naturel untuk piano sama
dengan naturel untuk seruling, kalau
kita mau menyebutnya secara populer. Tangganada f untuk piano adalah juga tangga nada f untuk seruling. Kalau piano main satu mol, seruling juga satu
mol. Sederhana sekali!
Tidak demikian halnya dengan klarinet. Betul ada klarinet yang mempunyai larasan c, dan ada pula yang Es, akan tetapi biasanya larasannya
adalah bes.
Sebagian besar buah
musik yang digubah untuk orkes, mempergunakan klarinet bes. Oleh karena itu, kalau kita membunyikan nada c
pada klarinet , nada itu tingginya sama dengan bes pada piano! Tangganada yang dipergunakan pada piano tidak sama
dengan tangganada klarinet bes. Mengapa
dibikin seperti itu? Ini pun hanya soal kebiasaan, kalau sudah biasa, tidak
banyak menimbulkan kesukaran. Boleh dicoba!
Dengan sendirinya,
oleh karena seruling mempergunakan larasan c,
dan ini sama dengan larasan pada piano, tangganada yang dipakai klarinet bes tidak serupa dengan apa yang dipergunakan pada
seruling. Memang, di sini orang yang belum biasa menuli nada-nada untuk
berbagai instrumen, akan mudah menjadi bingung. Ini pun soal kebiasaan juga.
Sekarang kita mengerti,
betapa seorang komponis untuk orkes perlu menguasai notasi berbagai instrumen orkes. Mari kita tinjau larasan beberapa
alat tiup lain yang termasuk keluarga kayu.
Kita pilih misalanya
hoboi atau obu. Sepintas lau alat ini menyerupai klarinet. Klarinet mempergunakan sebuah lidah, obu ditiup dua
buah lidah, yang ditempelkan satu sama lain sedemikian rupa, sehingga
antara kedua buah lidah tadi masih ada jalan untuk menyalurkan udara yang kita
tiupkan ke dalam obu itu.
Obu atau hoboi
atau juga hobo dilaras c. Jadi
komponis kalau membuat notasi untuk hobo tidak perlu mengadakan transposisi. Apa yang dinotasikan untuk
hobo sama tingginya dengan apa yang ditulis untuk piano. Hobo menimbulkan nada
yang “lebih menyendiri”, kalau dibandingkan dengan nada klarinet. Cocok sekali
untuk mengesankan suasana yang jauh, tenang, cenderung ke rasa suah, rasa
mengembara, hampir menyerupai suara tarompet Jawa Timur.
Pada waktu membuat
membuat musik untuk hobo ini, kita tidak boleh lupa, bahwa meniup hobo
memerlukan banyak tekanan hawa, lebih banyak daripada kalau meniup seruling
atau klarinet. Lebih banyak tenaga fisik yang harus dicurahkan. Orang yang
pertama kali belajar meniup hobo, kepalanya jadi pening dan matanya menjadi
kemerahan, kalau pada permulaan sudah terlalu banyak berlatih. Pada umumnya,
belajar alat tiup pada mulanya menimbulkan pusing pada kepala dan mata merah,
khususnya pada pelajaran hobo.
Fagot boleh dianggap semacam hobo juga,
hanya bentuknya lebih besar dan lebih panjang daripada hobo. Cara meniupnya pun
pada dasarnya sama. Dan lidah yang diperlukannya pun sama dua buah, hanya agak
lebih besar dan lebih panjang daripada untuk hobo. Suaranya pun hampir sama
dengan suara hobo, hanya lebih rendah. Larasannya juga dibuat pada c.
Fagot ini penting untuk menambah warna dalam orkes, apalagi orkes simponi.
Fagot menjelajahi suara bas.
Yang lebih rendah
lagi daripada suara fagot adalah suara kontrafagot.
Alat ini juga mempergunakan dua buah lidah. Suaranya satu oktaf lebih rendah
daripada fagot. Suaranya begitu lembut dan rendah, sehingga memberi kesan suara
bebek. Oleh karenanya dalam komposisi seringkali digunakan untuk memberikan
kesan sesuatu yang lucu. Alat-alat musik tadi termasuk ke dalam golongan
alat-alat musik yang sudah lebih dari dua abad dipergunakan dalam orkes.
Berikut adalah contoh gambar instrumen musik fagot!
Keluarga yang paling
muda dalam keluarga alat tiup kayu adalah saksofon. Alat ini
terbuat dari logam, seringkali disepuh perak atau emas. Suaranya hampir
menyerupai suara manusia. Saksofon mempergunakan lidah sebuah, seperti
klarinet. Diberi nama saksofon, oleh karena yang mula-mula membuatnya Adolphe Sax, seorang bangsa Belgia,
dalam tahun 1844. Jadi juga sudah lebih dari satu abad umurnya.
Sesuai dengan
pembagian jenis suara manusia, pria dan wanita, saksofon dibuat lima jenis,
dari suara wanita yang tinggi sampai kepada suara lelaki yang rendah, yaitu: sopranino, alto, tenor, dan bariton (hanya sampai bariton saja).
Larasannya pun tiap-tiap jenis tidak sama. Ada yang c, ada yang bes, ada yang
es. Dengan sendirinya notasi musiknya
pun tidak sama. Sopranino dan soprano pada waktu ini sudah tidak dipergunakan
lagi.
Alto dilaras Es, tenor dilaras Bes dan bariton Es. Saksofon
jarang dipakai dalam simponi. Yang pernah memasukkan saksofon dalam komposisi
untuk simponinya antara lain
komponis-komponis Bizet dan Milhaud (baca: Bize dan Milo atau Miyo).
Sebaliknya suatu set
atau suatu kesatuan saksofon yang lengkap menjadi ciri khas sebuah orkes Jazz.
Dalam band-band musik populer belakangan ini saksofon kelihatannya mulai
mendapat tempat yang utama pula. Berikut adalah contoh alat musik saksofon.
Alat musik Saksofon
Ikhtisar ini tidak
akan lengkap rasanya, kalau kita tidak juga membicarakan alat tiup dari logam.
Dalam bahasa Inggris orang menyebutnya bras-instruments.
(brass=logam). Alat-alat inilah biasanya yang seringkali dipergunakan dalam
orkes simponi. Golongan ini dalam orkes merupakan suatu seksi tersendiri.
Alat-alat ini tidak ada satu pun yang mempergunakan lidah.
Suara yang keluar
dari alat-alat ini terjadi oleh karena getaran hawa kedua buah bibir kita, yang
hampir dirapatkan satu sama lain melalui suatu tempat mulut yang dibuat untuk
tiap-tiap alat tersebut. suara yang dihasilkan tingginya dibentuk oleh volume
ruangan yang ada pada tiap-tiap alat logam. Alat yang kecil bentuknya
mengeluarkan suara tinggi. Sebaliknya yang besar dan panjang menghasilkan
nada-nada yang rendah.
Golongan alat-alat
logam terdiri antara lain dari; trompet,
trombon, tuba, korno atau horn,
eufonium dan sebagainya. Nama kornet adalah
nama trompet yang kecil bentuknya. Yang paling populer adalah trompet dan trobon. Trompet dilaras
berjenis-jenis. Larasan biasa adalah larasan Bes. Meskipun suara yang dihasilkan trompet keras, kuat dan
agresip, suara trompet kadang-kadang dapat juga digunakan untuk mengesankan
sifat-sifat yang liris.
Trompet memperguanakan 3
buah pentil , yang dapat mengeluarkan
semua kromatis musik. Bagaimana hanya dengan tiga buah pentil saja alat itu
dapat menghasilkan nada-nada demikian banyaknya, itu oleh karena adanya apa
yang kita sebut anak nada dalam alam
suara, kadang-kadang disebut juga nada alam.
atau harmonics dalam bahasa
Inggris. Dalam bab-bab selanjutnya persoalan ini akan kita bicarakan lagi.
Ternyata nada-nada
yang dihasilkan trompet mempunyai batas-batas baik ke bawah ke arah suara
rendah maupun ke arah atas ke arah suara tinggi. Komponis yang ingin memasukkan
suara trompet dalam komposisinya diminta kewaspadaannya mengenai gejala ini.
Alat logam lain, yang
mempunyai suara lebih rendah daripada trompet adalah trombon. Ada juga trompet bas, akan tetapi
sekarang sudah jarang dipergunakan lagi. Trombon ada yang memakai pentil, ada
yang tidak. Pemain kebanyakan memakai yang tanpa pentil. Juga trombon
mengeluarkan berbagai-bagai nada berdasarkan gejala anak nada tadi. Yang tanpa
pentil disebut juga slide-trombone. Slide
artinya kira-kira menggelincir. Terserah
pada kita sendiri apakah kita hendak menamakannya trombon gelincir. Trombon demikian memerlukan slide (gelinciran) untuk meninggikan atau merendahkan suara. Dengan
jalan “menggelincirkan” panjang-pendeknya ruangan trombon itu. Larangannya yang
dipakai biasanya Bes. Untuk
mengingatkan kembali, larasan Bes di sini artinya, bahwa nada C pada trombon sama tingginya dengan nada Bes pada piano. Berikut adalah contoh
gambar instrumen musik trombonAlat logam lain yang indah suaranya, akan tetapi
yang tidak begitu mudah dimainkan, adalah komo.
Disebut juga horn. Rupanya
istilah horn kurang dipergunakan. Oleh
karena di samping horn Inggris ada pula horn Prancis, yang maksudnya korno. Horn Inggris samasekali bukan
korno, melainkan sejenis hobo yang mengeluarkan suara alto. Lebih besar sedikit
daripada hobo biasa.
Korno sebetulnya lebih banyak
mempergunakan ruangan daripada trompet untuk mengeluarkan suara. Oleh karena
itu bentuknya, atau tabung yang dipergunakannya lebih panjang daripada tabung.
Kalau pada trompet. Kalau pada trompet tabungnya dilipat dua kali dengan bentuk
agak memanjang, pada korno tabungnya dilipat beberaa kali dalam bentuk yang
bulat. Korno mempergunakan pentil untuk mengeluarkan nada-nada kromatis.
Suaranya tidak
sekeras suara trompet akan tetapi lebih terpusat, sehingga memberi suasana yang
romantis. Juga suasana hutan yang lebat “jauh di sana”. Komponis-komponis tentu
saja mengambil manfaat sebanyak-banyaknya dari suara korno ini. meskipun
suaranya kedengarannya lemah, namun tembusnya kuat, suaranya dapat terdengar
dari jarak yang jauh. Oleh karena itu, alat seperti ini, dalam bentuk yang
beraneka warna, seringkali dipergunakan di mana-mana di dunia untuk pergi
berburu. Korno seperti itu dengan sendirinya tidak perlu mempergunakan pentil.
Meskipun demikian korno dapat juga mengeluarkan beberapa suara alam, untuk
memberi isyarat pada pemburu-pemburu lainnya, yang termasuk rombongan pemburu,
yang tersebar di hutan. Sebagai alat liris, korno adalah alat yang ideal
sekali. Berikut adalah gambar alat musik korno.
Tuba |
Tuba terbuat dari logam. Bentuknya besar
dan yang dipergunakan dalam orkes simponi pada umumnya adalah tuba bas. dengan sendirinya, karena
bentuknya demikian, nada-nada yang dikeluarkannya pun adalah nada-nada rendah.
Alat ini kadang-kadang dipakai juga untuk keperluan baris-berbaris militer.
Oleh karena besarnya, alat ini seringkali diganti dengan eufonium, yang sedikit lebih kecil bentuknya.
Alat-alat musik yang
kita bicarakan sampai sekarang terutama dipergunakan dalam orkes untuk mengisi
unsur yang bersifat melodis dan harmonis (paduan suara-suara itu
bersama). Ini adalah contoh gambar alat musik tuba.
Tugas terakhir
alat-alat musik adalah untuk memberi isi pada penekanan irama. Untuk keperluan
itu disediakan alat-alat yang dipukul alat-alat perkusi nama populernya.
Alat-alat yang
dipukul pun masih dapat dibagi lagi menjadi dua golongan. Ialah alat yang dipukul
dan memberi nada dan warna suara materi alat itu sendiri. Jelasnya, alat-alat
perkusi terdiri dari membranofon dan idiofon.
Yang termasuk membranofon antara lain; tambur. Tambur ini ada yang kecil, ada
juga juga yang besar. Tambur yang kecil banyak dipergunakan dalam orkes atau
band populer.
Timpani |
Dalam suatu orkes
simponi diperlukan membranofon yang penting kedudukannya dalam orkes, yaitu
alat yang disebut timpani atau
pauke. Orkes simponi paling
sedikitnya mempergunakan 2 buah timpani yang larasannya tidak sama satu sama
lain. Dan kalau lebih sempurna tiga buah. Sebab timpani ini dapat dilaras
menurut sebuah nada tertentu sekaligus. Artinya, guna timpani bukanlah
dimaksudkan untuk memainkan melodi. Dalam orkes ia hanya dilaras untuk
menghasilkan sebuah nada tertentu saja. Untuk
keperluan melaras dipergunakan pedal, sehingga kalau dipijak dapat
melaras alat itu pada nada yang diinginkan. Dengan sendirinya, jelajahan suara
larasan timpani tidak begitu luas seperti kita, misalnya melaras dawai biola.
Tugas timpani adalah
adalah untuk memberi tekanan (aksen) pada suatu dasar suara atau nada tertentu.
Memang kedengarannya sangat melegakan hati kalau dia berbunyi. Kadang-kadang
juga suaranya sangat mendebarkan hati, seakan-akan mempengaruhi denyutan
jantung kita. Notasi timpani ditulis dengan penetapan tinggi nada yang harus
dihasilkan. Seorang komponis Rusia, Stravinsky, melihat pentingnya fungsi tambur seperti
timpani itu, sehingga dia membuat komposisi yang seluruhnya terdiri dari suara
tambur melulu. Berikut ini adalah contoh gambar alat musik timpani.
Suara tambur yang
ditujukan untuk menghasilkan berbagai-bagai warna suara begitu penting
dianggapnya, sehingga komponis tadi memberi isyarat-isyarat lain dalam notasi
komposisinya, semacam persyaratan teknis seperti tongkat pemukul, ujungnya
harus dibungkus dengan kapas atau bahan bulu kempa (vilt ) dan sebagainya.
Trianggle |
Yang tergolong idiofon sebagai alat perkusi adalah triangel. Alat ini dapat mengeluarkan nada-nada tertentu, suaranya tinggi
dan jernih. Bentuknya seperti segitiga, dibuat dari logam yang dipernikel. Di
samping adalah contoh gambar alat musik trianggle.
Cymbals |
Alat yang lain adalah cymbals,
dua buah plat dari logam yang dipukulkan satu sama lain secara berbarengan.
Suaranya berbunyi, creng...creng...creng!
tidakmempunyai tinggi nada tertentu. Berikut adalah contoh gambar alat
musik Cymbals.
Kita perlu tahu juga
adanya penggunaan semacam terbang dalam orkes simponi yang disebut tamburen. Tamburan adalah nama untuk
terbang dalam suatu orkes simponi. Kemudian masih juga dipakai semacam gambang
yang disebut silofon. Alat ini dapat menghasilkan nada
kromatis.
Glockenspiel |
Akhirnya kita perlu
pula mengetahui sebuah alat lagi yang larasannya seperti ksilofon yang dikenal
dengan sebutan Glockenspiel. Kalau klisofon bilah-bilahnya terbuat dari kayu,
glockenspiel terbuat dari logam yang dapat bersuara nyaring dan tinggi.
Dengan sendirinya, alat-alat yang
dipukul, yang digunakan dalam orkes simponi, masih dapat ditambah lagi jumlah
dan jenisnya. Tiap-tiap alat dimaksudkan untuk memberi efek tertentu seperti
yang terkandung dalam hati komponis. Misalnya yang dibuat dari kayu dalm bentuk
kotak yang dipukul dengan tongkat pendek dari kayu pula. Kesan suaranya seperti
bunyi alat yang dibawa penjual bakmi dorongan. Alat-alat seperti itu tentu saja
tidak mengeluarkan nada yang jelas tingginya.
Vibrafon |
Ada sebuah lagi alat
yang menyerupai klisofon, yang biasanya juga digolongkan ke dalam
keluargaperkusi, yaitu vibrafon. Vibra maksudnya;
bergelombang. Alat inidigerakkan dengan daya listrik yang dapat memutar
kipas-kipas yang ditempatkan di bawah tiap-tiap bilahan-bilahan vibrafon yang
tidak dibuat dari kayu seperti bilahan-bilahan ksilofon, melainkan dari
campuran dan logam timah. Suaranya jernih bervibrato
(bergelombang atau bergetar) yang memperindah nada-nada yang dihasilkan.
Vibrafon akhir-akhir ini menjadi sangat populer dalam band-band remaja di
samping organ.
Organ Hammond |
Organ alat musik yang
digerakkan dengan daya listrik. Kelebihan organ dari vibrafon ialah, organ
dapat menghasilkan berbagai macam warna
nada. Ada nada-nada yang dapat meniru suara biola, suara klarinet, suara piano
dan sebagainya. Pergantian warna itu digerakkan oleh suatu setel pipa-pipa yang
dapat dikemudikan oleh
pemainnya dengan
satu tombol untuk tiap warna suara. Sistim demikian disebut register. Cara memainkannya tidak
dipukul seperti memainkan ksilofon misalnya, melainkan seperti memainkan alat
musik piano saja. akan tetapi secara teknis tidak sama. Sebab piano
mengeluarkan suara perkusip. Yaitu
suara pukulan yang tingkat kekerasannya sejak bilah-bilah (tut-tut) dipukul
atau ditekan, menurun terus sampai menghilang. Sedangkan suara organ terus
berbunyi dengan kekerasan suara yang sama selama bilah-bilah atau tut-tutnya
masih ditekan jari. Dengan memainkan organ secara demikian, kita seakan-akan
dapat menyuarakan sebuah orkes simponi.
Organ yang barusan
kita bicarakan itu tentunya organ yang biasa kita temukan dalam band-band
populer belakangan ini. prinsip memprodusir bunyi seperti bunyi organ demikian,
mengingatkan kita kepada organ yang sekarang pun masih dipakai dalam
gereja-gereja. Malahan dapat kitatelusuri kembali sampai ke zaman kuno. Salah
satu alat tua demikian adalah kledi di
pedalaman Kalimantan, yang dalam menghasilkan suara prinsipnya sama dengan
organ.
Tentu saja organ di
gereja-gereja,yang begitu besar konstruksinya, dengan pipa-pipa yang beberapa
meter tingginya, tidak dapat diangkut ke mana-mana. Orang mencari akal untuk
membuat suatu alat seperti organ itu, akan tetapi yang tidak begitu sukar untuk
dipindah-pindah. Dengan bantuan daya listrik, bentuk pipa-pipa yang besar untuk
menghasilkan suara, organ dapat diperkecil. Dengan demikian timbul suatu model
organ yang bentuknyaa seperti piano, yang terkenal adalah Hammond Organ. Sekarang organ demikian sudah menjadi barang
industri dan dibuat di beberapa negara. Bentuk yang sekarang, yang memiliki dua
tingkat baris bilah (tuts), pada umumnya disebut elektone.
Akhirnya, mungkin
pembaca akan bertanya pada diri sendiri, alat-alat musik seperti itu lantas
digolongkan ke dalam alat apa? Misalnya elektone, piano, gitar dan suara
manusia? Piano, oleh karena mengeluarkan suara melewati dawai-dawai, dapat
dimasukkan ke dalam golongan kordofon. Elektone digolongkan ke dalam aerofon.
Gitar jelas sebuah kardofon. Dan suara manusia oleh karena dihasilkan dengan
udara, meskipun aneh kedengarannya, boleh digolongkan kedalam aerofon.
15.
Suara
manusia
Bicara tentang suara
manusia sebagai suatu unsur dalam dunia penciptaan musik, kita perlu lebih
mendekati persoalan ini. seorang komponis yang ingin membuat kreasi musik
dengan mempergunakan manusia sebagai salah satu unsur musikalnya, perlu
mengetahui betul mengenai suara manusia dan sifatnya. Paling sedikitnya dia
harus tahu, bahwa ada perbedaan antara menggarap suara pria dan suara wanita.
Dan bahwa suara-suara itu menurut jenisnya mempunyai wilayah atau jelajah suara
tertentu.
Suara wanita terdiri
dari suara soprano, yaitu suara
wanita tertinggi. Soprano itu pun menunjukkan sifat khas masing-masing pada
setiap penyanyi. Ada soprano koloratur,
soprano liris, soprano dramatis, dan sebagainya.
Soprano koloratur adalah soprano yang sangat
tinggi dan bersifat dinamis, banyak geraknya, sedangkan soprano yang liris tidak begitu tinggi dan gelisah.
Soprano yang dramatis lebih mementingkan suara yang ekspresip, perperasaan.
Soprano dramatis pun tidak begitu tinggi seperti soprano koloratur, akan tetapi
warna suaranya lebih penuh, lebih mengesankan adanya sesuatu yang terjadi pada
pendengarnya, ya nampak lebih ekspresip. Memang sukar sekali untuk menjelaskan
tiap-tiap sifat itu dengan kata-kata. Untuk mengetahuinya, pembaca lebih baik
terjun sendiri ke dalam lingkungan pendidikan musik vokal.
Istilah koloratur
berasal dari kata “colour”, yaitu warna.
Jadi suara yang berwarna. Suara demikian dapat dipergunakan untuk hiasan dekor
sesuatu. Dan oleh karena itu, suaranya perlu mempunyai aneka warna kemungkinan
secara teknis.
Suara wanita, selain
daripada soprano yang tinggi, selanjutnya dibagi lagi dalam suara wanita yang
rendah, yaitu jenis suara alto. Di antara suara soprano dan
alto masih ada lagi suara wanita yang lain, yaitu mezzo-soprano. Suara wanita yang lebih rendah letaknya daripada
alto disebut, kontra alto.
Dengan sendirinya,
suara alto tidak dapat sampai pada nada tertinggi yang dapat dicapai oleh suara
soprano. Sebaliknya, suara soprano sebaiknya janganlah diberi nada yang
termasuk alto, di luar jelajah suara soprano itu sendiri. Seorang komponis
vokal perlu memperhatikan soal wilayah jelajah suara ini, umpamanya waktu
menyusun paduan suara antara soprano dan alto.
Suara pria pun
mempunyai pembagian wilayah jelajah suara. Ada dua jenis suara yang pokok. Yang
tinggi disebut tenor , yang rendah disebut bas. Di antara kedua
jenis tersebut masih disediakan tempat untuk suara yang disebut bariton.
Sekarang, janganlah
kita membuat kekeliruan-kekeliruan lagi dalam menyebut jenis suara wanita dan
jenis suara pria. Meskipun kadang-kadang
masih ditemukan dalam koran atau majalah dalam hal sebutan suara-suara wanita
dan pria ini. jadi, suara wanita terbagi
dalam; soprano, mezzo-soprano, alto,
kontra alto. Sedangkan untuk jenis wilayah jelajah suara pria terbagi
dalam; tenor, bariton dan bas. Kontra bas tidak ada.
Dalam dunia musik
vokal, pembagian suara seperti tersebut di atas kiranya perlulah diperhatikan.
Khususnya pada waktu seorang pencipta musik vokal membuat komposisi untuk
paduan suara.
Dalam dunia musik
populer sebaliknya memang ada kebiasaan untuk membuat susunan paduan suara dari
suara penyanyi-penyanyi yang sukar digolongkan ke dalam suara soprano, tenor,
alto dan bas. Untuk keperluan itu, biasanya ditempuh suatu kebijaksanaan
membuat paduan suara yang walayah jelajahsuaranya dari yang rendah sampai yang
tinggi tidak melebihi satu oktaf.
Misalnya kita
berhadapan dengan empat orang penyanyi wanita. Yang suara pertama diberi nada e, ketiga nada g, dan yang keempat nada a, atau c’.
Atau dengan sistim do-re-mi, keempat
penyanyi tadi bersama-sama diberi nyanyian dalam batas-batas jelajahan suara
akor, yang pada suatu waktu tertentu terdiri dari nada-nada do-mi-sol-la atau do-mi-sol-do’. Tidak melebihi satu oktaf. Cara membuat paduan suara
demikian dinamakan membuat “harmoni
tertutup” atau “harmoni diperdekat”. Istilahnya
dalam bahasa Inggris “closed harmony”. Nada-nadanya
dalam paduan suara diperdekatkan satu sama lan.
16.
Wilayah
jelajahan suara manusia
Suara manusia yang
terendah pada umumnya mempunyai ketinggian yang sama dengan nada yang
dihasilkan oleh 82 kali getaran dalam satu detik. Atau yang berfrekuesi 82.
Yang tertinggi biasanya tidak melebihi frekuensi 1046. Jadi wilayah jelajahan
suara manusia pada umumnya bergerak hanya di antara 82 sampai dengan 1046
getaran tiap detik. Atau kalau disebut nama nada-nadanya, dari E sampai c’’’. Dalam paranada
digambarkan seperti ini,
Wilayah Jelajahan Suara Manusia
K e t e r a n g a n :
ᗔ
Wilayah jelajah suara Bas dari E sampai dengan f’
ᗔ Wilayah jelajah suara Tenor dari c sampai dengan c ‘’
ᗔ
Wilayah jelajah suara Alto dari
f sampai dengan f’’
ᗔ
Wilayah jelajah suara Soprano c’ sampai dengan c’’’
17.
Mengenai
komponis-komponis ternama
Sistim musik
diatonis yang sekarang kita pakai, sejarahnya dapat diusut kembali sampai ke
zamanYunani Kuno. Lebih dari dua puluh abad yang lalu. Sistim yang dipergunakan
bangsa Yunani pada waktu itu untuk musiknya dianggap sebagai pangkaal
perkembangan musik diatnis sampai sekarang. Tentu saja sistim yang sekarang
sudah tidak lagi sama dengan sistim Yunani dulu.
Perkembangan sejarah
musik diatonis di negara-negara Barat sampai sekarang yang usianya telah
berabad-abad itu, dengan sendirinya telah menghasilkan komponis-komponis dengan
kreasi-kreasi yang dalam dunia internasional diakui bermutu tinggi.
Perkembangan musik
diatonis di Indonesia, apalagi yang telah menginjak zaman kreasi-kreasi, masih
muda sekali, kalau dibandingkan dengan perkembangan di Barat. Zaman kemerdekaan
di Indonesia memberi rangsangan yang besar kepada bangsa Indonesia untuk
menghasilkan komposisi-komposisi diatnis sendiri. Malahan dalam zaman
penjajahan pun sudah timbul beberapa buah ciptaan bangsa Indonesia sendiri,
merekapun tidak banyak. Yang menonjol sekali pada pada zaman itu adalah
buah-buah ciptaan Wage Rudolf Supratman. Di
samping lagu-lagu “Mars KBI”, “Ibu Kartini” dan beberapa lagi lainnya yang
bersifat cinta tanah air, “Indonesia Raya” merupakan ciptaannya yang paling
terkenal. Dari lagu perjuangan, “Indonesia Raya” berkembang menjadi lagu
Kebangsaan Indonesia. Lagu “Indonesia Raya” dalam bentuk aslinya, diciptakan
oleh W.R. Supratman menjelang tahun bersejarah 1928, yaitu tahun diadakannya
Kongres Pemuda Indonesia di Jakarta.
Zaman kemerdekaan
memberi banyak kesempatan untuk berkreasi. Akan tetapi yang termasuk bermutu
baru sedikit. Kebanyakan tenggelam ke dalam bentuk-bentuk pernyataan yang
sangat dipengaruhi oleh bentuk-bentuk lagu Barat populer. Beberapa pencipta
musik diatonis di Indonesia yang serius dapat disebut antara lain Cornel Simanjuntak, Mochtar Embut, Kusbini,
Binsar Sitompul, Amir Pasaribu, Ismail Marzuki, dan beberapa lainnya lagi
yang tidak kita sebutkan disini. Pada umumnya mereka ini berkreasi dengan
mempergunakan kesadaran musikal yang, terutama, diilhami oleh bentuk pernyataan
buah-buah musik seriosa Barat. Kemudian dicobanya diungkapkan dalam bahasa
musikalnya masing-masing. Sebagian besar bergerak dalam ciptaan-ciptaan musik
vokal. Cornel Simanjuntak dianggap
sebagai seorang komponis Indonesia yang banyak memberi dorongan pada pencipta
lagu-lagu yang kemudian secara populer, disebut: lagu-lagu seriosa. Kusbini
lebih banyak bergerak dalam komposisi-komposisi yang mempergunakan bentuk
keroncong sebagai dasar.
Dalam soal
penciptaan musik di Indonesia, kita tidak dapatme lepaskan peranan RRI (Radio
Republik Indonesia) dalam bidang kreasi musik. Penyelenggaraan sayembara dalam
beberapa tahun terus-menerus untuk memenangkan julukan “Bintang Radio”,
menyebabkan timbulnya komponis-komponis baru dalam bidang vokal, baik dalam
jenis-jenis yang disebut seriosa, hiburan maupun keroncong, untuk dipergunakan
sebagai nyanyian dalam sayembara-sayembara tersebut. dalam zaman Bintang Radio
beberapa lagu, yang secara teknisvokal meminta syarat-syarat yang “lebih sukar”
diciptakan. Umpamanya, susunan melodi untuk dinyanyikan dengan mempergunakan
beberapa modulasi (pergantian
tangganada atau permainan dengan kromatik dan sebagainya).
Sesudah tahun
enampuluhan, bidang kreasi di Indonesia sedikit demi sedikit beralih ke bidang
penciptaan musik vokal hiburang yang condong ke sifat komersial. Masuknya musik
Barat yang disebut “Kultur Kosmopolitan” merupakan sebab utamanya. Musik
Beatles menaklukkan seluruh remaja di dunia, di Indonesia tidak terkecuali.
Ciptaan musik yang yang bernafas pendek, dari yang sentimentil “cengeng” sampai
kepada yang “panas bergelora” dan “tenggelam dalam suasana”, menguasai jiwa
remaja serta dunia penciptaannya. Kreasi musik yang serius jauh terdorong ke
belakang. Musik yang berseni tidak laku.
Sadar akan keharusan
memberi sesuatu yang bersifat Indonesia di tengah-tengah serangan musik yang
serba kosmopolitan itu, dunia kreatip di Indonesia menemukan
tematik-tematik baru, yang tersimpan
dalam lagu-lagu daerah yang tersebar di seluruh Nusantara. Dengan berisi
tematik-tematik lagu-lagu daerah atau paling sedikitnya mempergunakan melos yang ada dalam lagu-lagu daerah di
Indonesia, timbul seperti jamur di waktu hujan ciptaan-ciptaan lagu-lagu dengan
aneka sifat kedaerahan. Lagu-lagu Minang, Sunda, Betawi, Jawa Tengah, Jawa
Timur, sebagian besar dalam bentuk langgam keroncong. Untuk bahan perbandingan,
bagaimanakah perkembangan dunia kreasi diatonis di negara-negara Barat?
Perkembangan dunia
penciptaan musik diatonisyang pada umumnya terkenal di Indonesia, adalah mulai
dari zaman perkembangan – apa yang biasa kita sebut – Musik Klasik Barat. Yaitu
kreasi musik yang menghias sejarah musik diatonis di Barat mulai abad ke-18.
Yang termasuk Musik Klasik Barat sesungguhnya adalah komposisi-komposisi Haydn, Mozart dan Beethoven. Juga komponis Johann
Sebastian Bach, khususnya dalam kreasi-kreasinya yang terakhir, dianggap
termasuk komponis klasik. Musik sebelum zaman itu, untuk kebanyakan dari kita,
kurang dikenal, dan oleh karenanya mungkin kurang dapat kita nikmati.
Kata “klasik”
kemudian dipergunakan pula terhadap semua jenis musik yang dianggap sebagai
contoh yang baik dan yang bermutu tinggi dari suatu jenis gaya tertentu. Jenis
gaya tersebut disebut juga “genre”(baca: syangre). Umpamanya dipakai juga untuk
menyebut “genre” musik kamar, genre hiburan dan lain-lain. Dalam hal
ini orang memasukkan juga : Jazz Klasik ke
dalamnya. Salah satu contoh Jazz Klasik misalnya ialah: lagu “Mood Indigo”
ciptaan Duke Ellington.
Di Indonesia sendiri
ada dipergunakan pula istilah: lagu-lagu
tradisional klasik. Yaitu lagu-lagu tradisionil yang telah mengalami
perkembangan sedemikian rupa sehingga bermutu tinggi, misalnya musik karawitan
di Indonesia. Lalu istilah klasik dihubungkan pula dengan musik yang tidak
jelas mempergunakan beat, yaitu
pukulan birama yang tetap. Umpamanya ada orang berkata: Lagu “Bengawan olo”
yang biasanya dihidangkan dengan pukulan birama yang ajeg, yaitu secara langgam
keroncong, kali ini disajikan tanpa beat.
Di dalam sejarah
musik diatonis Barat, sesudah zaman Klasik itu, kita kemudian menginjak abad
ke-19. Disebut zaman Romantik yang
berlangsung kira-kira 50 tahun lamanya. Yaitu dimulai kira-kira tahun 1800
hingga 1850. Pribadi komponis mulai berbicara di dalam segala bentuk vokal
maupun instrumental.
Komponis-komponis
yang terutama yang pantas kita ketahui sebagai salah seorang romantikus adalah Beethoven yang – seperti tadi pun sudah
disebutkan termasuk pula seorang komponis klasik. Komponis romantis kedua
adalah Schubert, termashur oleh
karena menjadi pencipta bentuk pernyataan vokal yang artistik, yaitu bentuk “song” atau “lied”.
Selanjutnya dapat
disebut pula komponis-komponis opera yang termahsur seperti Weber dan Meyerbeer. Opera adalah sebuah bentuk pernyataan musik vokal dan
intrumental, yang diilhami oleh suatu cerita yang didalam penghidangannya
dimainkan sebagai drama yang dinyanyikan di atas panggung. Isinya terdiri
terutama dari nyanyian-nyanyian. Suatu hidangan yang merupakan suatu kehidupan
musik khusus di Eropa Barat.
Pengaruh bentuk opra
ini juga pernah merembes ke Indonesia di awal tahun 20-an. Namanya di Indonesia
“Opera Bangsawan” atau “Stambul”. Pada waktu itu “Komedi
Stambul” ini sangat populer. Ceritanya kebanyakan diambil dari cerita Seribu Satu Malam. Salah sebuah cerita
Indonesia yang pada waktu itu digubah dalam bentuk “Komedi Stambul” adalah Nyai Dasimah. Pada waktu itu rupanya
sudah menjadi mode untuk menyuguhkan suatu pertunjukan dengan cerita yang
memilukan hati kepada publik. Para wanita yang menonton jadi menangis. Demikian
pula dengan para prianya.
Kembali pada
pembicaraan kita mengenai zaman Romantik di Eropa Barat, kita tidak dapat
mengabaikan nama dua komponis Romantik yang ternama, yaitu: Chopin (dibaca: Syopeng), dan Liszt keduanya merupakan komponis untuk
piano. Kemudian seorang komponis biola yang termashur: Peganini. Ia sendiri adalah
seorang vistous, permainan biolanya begitu mempesonakan, sehingga pada waktu
itu orang menganggap Paganini bersekongkol
dengan Syaitan! Anggapan seperti itu sangat karakteristik untuk zaman Romantik
pada waktu itu.
Komponis Romantik
lainnya yang tersohor selanjutnya ialah: Berlios
(baca: Berdio) yang terkenal dengan apa yang disebut”musik panorama”. Yaitu musik yang “menceritakan”, yang diilhami
oleh soal-soal yang tidak termasuk dalam musik itu sendiri. Musik yang mencoba
“menggambarkan” sesuatu. Di sini penggunanan warna alat-alat musik yang dimainkan, lebih diberi tekanan. Dalam
karya-karya seperti ini, komponis Wagner terkenal
sekali. Dia menjadi mashur oleh karena “drama
musiknya”. Yaitu suatu bentuk opera, di mana semua unsur-unsur diperlakukan
sama; baik teks, dekor, akting, maupun plot cerita dan sebagainya. Wagner
sangat terkenal dengan salah satu “drama musik”-nya, “Ring des Nibelungen”.
Keadaan itu, yaitu
komponis mencari kekuatannya juga di dalam berbagai macam hal di luar musiknya
itu sendiri, dengan sendirinya memancing suatu reaksi. Ialah timbulnya musik absolut, musik mutlak. Musik
absolut hanya mempergunakan unsur-unsur musikal saja untuk menyatakan konsepsi
musikalnya. Tidak terpengaruh oleh kesusastraan atau mengambil ilham dari
unsur-unsur yang bukan musik. Contoh terkenal dari komponis jenis ini adalah: Brahms, dengan dengan
simponi-simponinya.
Kemudian timbul
aliran Impresionisme dengan tokoh
komponisnya yang sangat menonjol yaitu: Debussy.
Musiknya biasanya sukar diikuti melodinya, karena di sini, tekanan lebih
diberikan kepada harmoni. Sama dengan Impressionisme dalam senirupa, yang lebih
mengutamakan warna, sedangkan detail dihilangkan. Melodi dalam musik, seperti
garis-garis dalam lukisan yang tidak begitu dikemukakan.
Untuk memberi impresi (kesan) musik gamelan umpamanya,
Debussy mempergunakan skala dengan
nada, yang hanya terdiri dari nada-nada penuh, misalnya: c, d, e, fis, gis, ais, ci’. Mungkin maksudnya
ingin memberi kesan warna seperti yang dihasilkan oleh laras selendro dalam
gamelan. Tentu saja tangganadanya tidak ama dengan tangganada selendro. Dan
memang maksudnya pun hanya untuk memberi kesan saja, untuk memberi impresi.
Permulaan abad ke-20
menghasilkan komponis-komponi yang radikal sekali dalam musik absolut ini.
seperti milhaud (baca:Miyoo) dan schonberg, yang digolongkan ke dalam
aliran Ekspresionisme (dari kata ekspresi yang artinya pernyataan).
Mendengarkan musik
demikian, kalau belum terbiasa, hati bisa menjadi gelisah. Komponis yang
membuat sebuah orkestrasi dengan cara mempergunakan bermacam-macam nada dasar
untuktiap-tiap alat musiknya. Disebut komponis yang beraliran politonalitas, (Poli = banyak. Tonalitas kira-kira sama dengan Laras yang mempergunakan nada dasar
tertentu.)
Di dalam
politonalitas dengan sendirinya dipergunakan beberapa nada dasar sekaligus.
Pendengar musik demikian terpaksa mempertajam pendengarannya agar dapat
menangkap keindahan musiknya. Sebab, musik yang demikian tentu tidak mengelus pendengaran kita. Kita masih
perlu membiasakan diri. Kalau sudah terbiasa, pendengar mungkin lambat-laun
dapat juga menangkap adanya kewajaran di dalamnya, menangkap sesuatu yang
logis.
Komponis-komponis
absolut yang radikal seperti tersebut di atas, di antaranya ada pula yang ingin
menambah ekspresi musiknya dengan tidak menggunakan nada dsar sama sekali.
Sebagai contoh misalnya: komponis Schnberg
dan Alban Berg. Komposisi-komposi
mereka seperti itu disebut “atonal” .
yaitu tidak pakai tonalitas, tidak pakai nada dasar. Aliran ini disebut aliran Atonalitas.
Bentuk musik yang
biasa kita dengar biasanya mempergunakan nada-nada dalam suatu tangga nada
tertentu. Perkembangan nada-nadanya dalam suatu melodi selalu mempunyai
kenderungan untuk kembali ke nada tertentu. Nada dasar di sini mempunyai
kekuatan menarik gerak-gerik nada dalam melodi kembali kepadanya. Dan pendengar
merasa puas. Dalam atonalitas semua nada yang ada dalam melodi mempunyai fungsi
yang sama, juga nada-nada kromatisnya. Tidak ada nada yang menarik perkembangan
nada kembali ke nada dasarnya. Bukan lagi penggunakan nada: c, d, e, f, g, a, b, c’ dengan c
sebagai penutup melodi, melainkan penggunaan nada-nada c, cis, d, dis, e, fis, dan seterusnya ( do, di, re, ri, mi, fa, dan seterusnya ), yaitu tangganada kromatis.
Melodi musik yang
atonal, untuk mereka yang belum terbias mendengarnya, sunguh-sungguh
membingungkan. Kita sudah biasa mengikuti sebuah melodi yang berakhir dengan
nada dasar. Coba kita bayangkan. Pada waktu kita berhadapan dengan musik yang
tanpa nada dasar ini, kita terus-menerus ingin menangkap nada yang
menyelesaikan musiknya. Akn tetapi nada dasar itu tidak kunjung tertangkap.
Kadang-kadang kita kira tahu atau dapat kita ikuti sebagian dari melodi atonal
itu menuju ke arah suatu nada dasar, tetapi tiba-tiba nada dasar tidapat kita temukan
kembali.
Musik seperti itu
untuk kebanyakan orang mungkin tidak dapat mengharukan. Musiknya memberi kesan
seperti kita menghadapi soal ilmu pasti, yang harus kita tinjau berulang-ulang,
untuk dapat menangkap hasil yang dimaksudkan. Mungkin kalau kita membiasakan
diri mendengarkan musik demikian, lama-lama kita dapat juga menemukan
logikanya.
Dewasa ini , belum
banyak manusia musikal yang sudah dapat menikmati musik atonal seratus persen.
Kebanyakan masih menganggapnya sebagai suatu pernyataan yang berarantakan,
memusingkan. Tapi ini pun akhirnya soal kebiasaan juga. Siapa tahu, tidak lama
lagi musik demikian sudah dianggap sebagai pernyataan biasa.
Sama halnya dengan
musiknya Debussy. Sekarang kalau
kalau kita mendengar musik Debussy, kita menganggapnya sebagai barang biasa
saja, hanya agak lain dari yang biasa kita dengar. Padahal pada permulaan abad
ke-20, waktu Debussy memperkenalkan komposisinya kepada publik dengan
menghidangkannya sendri, publik mengerutkan keningnya, mereka menganggap
sebagai musik seorang komponis yang tidak sehat otaknya!
Demikianlah
kira-kira bila kita tinjau selayang pandang perkembangan musik diatonis di
negara-negara Barat yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya. Sejarah musik
itu banyak gunanya bagi kita, kalau kita nanti hendak menyusun sejarah
perkembangan musik kita sendiri. Khususnya kalau kita nanti sesekali menemukan
unsur-unsur pergantian bentuk pernyataan musik dalam perkembangan sejarah. Ada
aksi, yang kemudian diikuti oleh reaksi.
Untuk dapat
mengetahui bagaimana sifat reaksi itu, mari kita tinjau kembali sejarah musik
diatonis Barat ini. dimulai dari komponis-komponis klasik kira-kira tahun 1750
sampai sekarang, sudah du abad lebih.
Zaman
komposisi-komposisi yang disebut Klasik. Sifat
musiknya objektip. Memuat unsur-unsur
keindahan, yang seakan-akan hidup dan bergerak di luar diri kita. Susunan
nada-nadanya sendirilah yang menetapkan keindahan. Seakan-akan kita sebagai pendengar, mengalami suatu
keindahan yang berlangsung di depan kita. Di dalam musik klasik Barat,
pemakaian berbagai alat musik tidak banyak mempengaruhi musiknya itu sendiri.
Sebuah simponi
ciptaan Mozart (simponi adalah bentuk
musik yang mempergunakan semua jenis alat musik yang tersedia), tidaklah akan
banyak berkurang keindahannya, kalau musik itu dibuat transkripsinya menjadi,
misalnya, sebuah susunan musik untuk piano-tunggal saja.
Nanti akan kita
lihat, pada bentuk-bentuk pernyataan ciptaan dalam zaman Romantik, yaitu
sesudah zaman Klasik, justru alat-alat musiklah yang dipergunakan untuk menyatakan
ekspresi tertentu.
Zaman Romantik yang berlansung kira-kira 50 tahun lamanya
dalam sejarah musik. Dari tahun 1800 sampai kira-kira tahun 1850. Di dalam 50
tahun itu, Romantik dengan sendirinya mengalami perkembangannya sendiri secara
gradual. Musik menjadi tempat pencipta menyatakan diri. Dengan berbagai-macam
jalan. Dengan penggunaan berbagai macam alat musik. Dengan pemakaian
unsur-unsur dinamik, harmoni dan lain-lain lagi. Dengan sendirinya, pernyataan
pribadi demikian lama-kelamaan dapat menuju ke arah kebebasan dari
ikatan-ikatan norma yang berlaku pada waktu itu. Yang dimaksud di sini tentu
saja: norma-norma musikal. Misalnya, pencipta membuat simponi yang terdiri dari
lima bagian, menyimpang dari kebiasaan empat bagian.
Dalam bidang musik
eksekutip, musik yang dihidangkan, virtuositas
mulai mendapat perhatian dan penghargaan. Paganini dan Liszt adalah dua contoh yang menonjol dalam
permainan instrumen masing-masing secara virtuos. Paganini dengan biolanya, Liszt
pada pianonya.
Kekuatan warna
alat-alat musik dieksploitir habis-habisan (Wagner!).
kebalikan daripada musik yang disebut klasik, musik Wagner misalnya yang
berbentuk komposisi untuk orkes, akan hilang kekuatannya atau ekspresinya,
kalau dibuatkan transkripsi dari komposisinya itu untuk permainan
piano-tunggal. Musik Romantik terang
bersifat subjektip, sebab perasaan
diri komponis sendirilah yang banyak ditonjolkan.
Sesudah zaman
Romantik, yang berlangsung cukup lama, kira-kira 50 tahun, timbul reaksi. Orang
lari ke musik absolut , musik mutlak. Orang kembali mencari kekuatan
dalam unsur-unsur musikal itu sendiri yang harus merupakan dasar keindahan
musik (Brahms, Debussy, Regers). Mulai
tahun 1900, musik absolut menjadi lebih radikal.
Timbulnya atonalitas, politonalitas, poliritmik dan
sebagainya adalah kecenderungan manusia untuk menemukan rangsangan-rangsangan baru. Dengan
meningkatnya kemajuan teknologi, manusia tidak merasa puas lagi dengan
soal-soal yang biasa. Apalagi manusia sekarang berlebih waktu terluang yang
harus diisi. Timbul bentuk-bentuk orkes yang baru, yang alat-alatnya sedapat
mungkin semuanya diperkuat suaranya dengan mempergunakan daya listrik, seperti
band-band sekarang. Pemain musik remaja ingin melepaskan diri dari norma-norma
yang dirasakan mengikat dirinya. Pemain musik dalam band-band populer misalnya,
berpakaian seenaknya sendiri. Kebiasaan-kebiasaan ini cepat menular ke seluruh
dunia. Dengan digunakannya daya listrik untuk alat-alatnya, yang dapat
mengeraskan suara, sifat musiknya menjadi lebih agresip lagi.
Di dalam dunia
komposisi musik yang serius, komponis juga mencari rangsangan-rangsangan baru.
Dengan cara sintetis, ditemukan warna-warna suara, yang sebelumnya tidak pernah
bisa dihasilkan oleh alat-alat musik biasa. Dengan demikian timbul
komposi-komposisi yang elektronis, yang memerlukan alat-alat elektronis, yang
memerlukan alat-alat elektronis pula. Musik seperti ini belum sampai menjadi
populer di Indonesia.
18.
Istilah:
gaya, corak, bentuk pernyataan
Pada
waktu kita meninjau ciptaan musik seseorang, kadang-kadang kita mempergunakan
istilah yang bermacam-macam. Istilah yang satu sama lain sesungguhnya sukar
ditetapkan batas-batas artinya. Ada yang bilang: gaya atau sifat, selanjutnya
orang yang mempergunakan kata corak,
bentuk pernyataan dan lain sebagainya.
Mungkin
orang mempergunakan berbagai istilah itu dengan maksud yang sama. Yaitu ingin
menunjukkan tanda pengena yang bersifat khas terhadap suatu komposisi
dibandingkan dengan komposissi yang lain.
Orang
kebanyakan menggunakan istilah “gaya”
untuk keperluan ini. dalam buku-buku atau tulisan-tulisan mengenai kesenian,
kata “gaya” ini memang sering dipergunakan. Kita sendiri pun tentu saja
mengerti apa yang dimaksud dengan “gaya” itu, tanpa perlu memusinkan kepala
untuk meneliti, sampai di mana batas-batas arti “gaya” tersebut.
Namun
demikian, tidak ada salahnya kalau kitamengetahui pula, bahwa istilah “gaya”
itu dipergunakan dalam berbagai-bagai batas pengertian menurut pembidangannya.
Jika
kita berpendapat, bahwa gaya seorang Kusbini lain kalau dibandingkan dengan
seorang Ikandar dalam komposisi-komposisinya, ini tentu dihubungkan dengan cara
pengungkapan aspirasi musikal Kusbini yang berbeda dengan cara Iskandar. “Gaya”
di sini dihubungkan dengan sifat perseorangan.
Penggunaan
istilah “gaya” yang lain misalnya juga begini: Musik zaman Romantik mempunyai
gaya yang berbeda dengan musik zaman modern. Di sini “gaya” dipakai untuk
memperlihatkan perbedaan antara musik yang dibuat dalam suatu zaman tertentu, dengan musik dari zaman
yang lain.
Kemudian
kata “gaya” masih dipergunakan juga untuk menunjukkan sifat khas musik suatu
bangsa, yang berbeda dengan musik bangsa lain. Atau musik suatu daerah kalau
dibandingkan dengan musik daerah lain. Umpamanya: Musik Itali mempunyai gaya
yang dengan mudah dapat dibedakan dari musik gaya Jerman. Atau, musik Jepang
tidak sama gayanya dengan musik Arab. Masih ada lagi: Musik Jawa Tengah dan
Bali berbeda dalam gayanya. Di sini istilah “gaya” dipakai untuk menunjukkan
sifat khas musik-musik berbagai-bagai bangsa,
suku atau daerah.
Akhirnya,
kata “gaya” masih juga dipergunakan untuk membedakan penggunaan atau fungsi
sesuatu musik tertentu. Misalnya, dalam polemik yang pernah diadakan mengenai
“gaya” ciptaan Cornel Simanjuntak,
dipergunakan kata-kata “gaya gereja” .
malahan lain fihak lagi memakai kata “gaya
Jazz” yang dihadapkan dengan kata “gaya
Neatles”. Di sini “gaya” dipergunakan khusus untuk menunjukkan cara khas
dalam memainkan sesuatu.
Dari
cntoh-contoh tadi, menjadi teranglah bahwa istilah “gaya” dipergunakan di dalam
hubungannya di dalam pelbagai aspek. Untuk membatasi artinya, pada umumnya kata
“gaya” dipergunakan hanya dalam 3 aspek. Yaitu gaya perseorang, gaya zaman, dan
gaya nasional, kebangsaan atau juga kedaerahan.
Jadi,
kita hanya boleh mengatakan: gaya
Kusbini, gaya Romantik, gaya Arab, atau juga gaya Bali. Yang kita maksudkan dengan “gaya” hanya: sifat khas yang ada pada wujud pernyataan
musik itu sendiri. Tanpa menghiraukan, apakah musik itu bagus atau jelek,
untuk apa musik itu dipergunakan dan soal lain yang menyangkut penulisannya
secara teknis, umpamanya orkestrasinya dan lain-lain.
Penelitian
mengenai gaya sesuatu komposisi memerlukan sikap analitis dari penelitian serta
kemampuan untuk membanding-bandingkan , yang
memang tidak begitu mudah. Karena itu lebih baik kita serahkan saja
pekerjaan ini kepada para ahli ilmu musik (musikologi).
—KSP—
Kamis. 16 Maret 2020 – 11.58 WIB
REFERENSI:
Sumaryo L.E.
Komponis, Pemain Musik dan Publik
Pustaka Jaya – Jakarta 1978
Tidak ada komentar:
Posting Komentar