Selasa, 13 Oktober 2020

"SUMELANG" By Ki Slamet 42

 

 

“S U M E L A N G”

By Ki Slamet 42

 

 Tembang asmarandana menguak  di malam sunyi

Lirih merintih, pedih, terasa lara sumelang di hati

Unggas malam, celepuk hitam menguak rasa sepi

Di bawah batu dalam semak perdu, di tepi perigi

Katak-katak bangkong berkukuk kong bernyanyi

Kidung aji turunkan hujan siram basahkan bumi

 

Maka di malam itu, hujan turun dengan derasnya

Sederas air mata yang mengalir ungkap rasa duka

Wujud rasa sumelang di kalbu yang tak mau sirna

Yang masih saja mengoyak mengiris relung sukma

Yang hingga kini masih terasa menggeliat di garba

Mencurah rasa rindu yang menggebu-gebu di dada

 

Di atas tanah bersemak di kebun belakang rumah

Serangga malam yang biasa nyanyi kidung indah

Diam tiada mau bernyanyi, bersedih dan gundah

Sang kelelawar hitam layang sebat seperti marah

Mangsa  laron-laron,  makan buah  jambu merah

Suara orong-orong pun terdengar makin melemah

 

Dalam rasa sumelang, nestapa dan gundah gulana

 Kulangkahkan kaki berjalan di malam gelap gulita

Telusuri jalan setapak, kelak-kelok, berpaya-paya

Menuju Pantai Selatan untuk mencari pelipur lara

Dan, hembus angin malam terasa dingin di telinga

Sirnakan letih, raibkanlah samsara,  duka nestapa

 

Di saat jelang pagi sampailah aku di pantai pesisir

Semak  bakau,  guyat-gayut  diterpa  angin semilir

Lirih berdesir terpa wajahku,  air mataku mengalir

Ingatkan kenangan cinta yang masih indah terukir

Hiasi relung jiwa yang  serasa tiada akan berakhir

Sebab tujuan dan cita-cita masih bergetar berdesir

 

Meski segalanya serasa panas laksana air mendidih

Meski hati ini lirih merintih semakinlah pedih perih

Aku tetaplah berupaya keras berjuang dengan gigih

Karena kehendak dan cita-cita harus tetaplah diraih

Dengan juang  tinggi dan dengan  penuh ketabahan

Penuhlah kesabaran dan penuh dengan ketawakalan

 

KSP42 – Bumi Pangarakan, Bogor

Selasa, 13 Oktober 2020 - 20:50 WIB

Minggu, 26 Juli 2020

"JAPA MANTRA" By Ki Wongso Panji Indrajit

Ki Slamet 42 Blog: "Atma Kembara"
Senin, 27 Juli 2020 - 09.30 WIB

Image "Buku Ilmu Penerawangan & Kesaktian ( Foto: sp)

JAPA MANTRA

Japa mantra adalah bacaan yang dapat membangkitkan ilmu yang selama ini mengeram di dalam diri kita.
Dengan japa mantra kit akan dapat memanggil dan mengalahkan makhluk-makhluk gaib yang akan mengganggu diri kita. Jadi japa mantra mempunyai arti yang penting untuk bisa menguasai suatu ilmu kesaktian.
Adapun bacaan yang perlu diamalkan adalah sebagai berikut,

Bacaan ke satu:
Bismillahirrohmanirrohim,
Niat ingsun matek aji, ajiku sukat kalanjana
Aji pengawasan saka Sang Hyang Pramana
Byar pet, peteng dadi padang
Padang terawangan pengawasan ingsun
Sakabehing sifat katon saking kersaning Alloh

Catatan:
Jika akan mengamalkan bacaan ini, bacalah tiga kali tanpa bernafas. Kemudian tiupkan pada telapak tangan anda, lalu usapkan tiga kali pada telapak tangan anda, dan usapkan tiga kali ke mata kita.

Bacaan yang ke dua:
Bismillahirrohmanirrohim,
Cahya-cahyaku, cahaya nur cahaya
Murub mubyar-mubyar padang trawangan
Sukma jati-jaktining sari
Adoh katon, cedhak katon
Isining jagad iki dak unggak katon kabeh
Alloh nyuwun padang sir kun fayakun
Namung mayane kang ora katon
Kabeh katon krana Alloh ta’ala

Catatan:
Dalam membaca mantra ini, mata anda harus tertutup

~Ki Slamet 42~
Kp. Pangarakan, Bogor
Senin, 27 Juli 2020 – 09.16
R e f e n s i :
Ilmu Penerawangan dan Kesaktian
Ki Wongso Panji Indrajit
Bintang Timur Surabaya

Selasa, 14 April 2020

PRAPANCA MENGUBAH NAGARAKERTAGAMA DALAM HENING

Blog Ki Slamet : Atma Kembara
Selasa, 14 April 2020 - 21.13 WIB 

Prapanca

Berdasarkan teks-teks Nagarakertagama pada bagianakhirkita bisa melihat bahwa penulis Nagarakertagama menghasilkan karya monumental ini dalam semangat sepi ing pamrih rame ing gawe. Prapanca menuliskan Nagarakertagama yang merupakan kidung pujian bagi Sang Raja dan Majapahit tanpa ada perintah. Karya Prapanca ini merupakan karya sukarela yang dikerjakan oleh inisiatif sendiri untuk memuliakan Raja M ajapahit dan leluhurnya serta kecintaan Prapanca pada Kerajaan Majapahit. Sang Kawi menghasilkan karya ini di dusun sunyi yang jauh dari pusat kerajaan dan kekuasaan. Sebuah dusun tempat menyepi yang penuh dengan bunga-bunga indah dengan alam asri menyejukkan hati.
Hal kedua yang menarik, prapanca adalah seorang Budha dan ia berkarya untuk sebuah kerajaan besar Majapahit yang diidentikkan dengan Kerajaan Hindu. Bentuk toleransi ini menjadi sangat luar biasa senapas dengan semboyan dalam kitab Sotasoma karya Mpu Tantular yang mengatakan:
“Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”. Yang bermakna, ‘Walaupun  berbeda-beda namun satu juga, tidak ada darma, kebaikan dan kebenaran yang mendua’.
Dalam Negara Kerajaan Majapahit telah dan tetap mengalir benih toleransi beragama yang harmonis, damai, dan toleran. Dalam pupuh 77 Nagarakertagama disebut desa perdikan Hindu Siwa dan dan Hindu Wisnu. Dari situ kita bisa melihat paling tidak ada tiga aliran agama yang hidup berdampingan dengan mesra, Hindu Aliran Wisnu, dan Agama Budha. Hindu Waisnawa yang memuja Wisnu bermula sumbernya setelah letusan Gunung Merapi pada tahun 929 masehi dari raja Airlangga dan Raja-raja Kediri seperti Jayabaya yang dianggap juga titisan Wisnu. Sedangkan aliran Siwa sesungguhnya juga bermula dari Isyana Rja Medang di Jawa Timur leluhur dari Dharmawangsa dan Airlangga. Raja Isyana dikenal dengan nama Mpu Senduk. Mpu Senduk itu melambangkan Ular Kobra yang menjadi kalung Dewa Siwa. Artinya bahwa Raja Isyana menjadi kesayangan Dewa Siwa atau juga Raja Isyana adalah penganut Hindu Siwa yang tekun dan mendalam.
Hal ini secara nyata juga diungkap oleh Ken Arok Raja pertama Singasari yang juga dikenal dengan Hindu aliran Siwa. Dari kedua Hindu Siwa dan Hindu Waisnawa itulah menjadi nyata bahwa toleransi di Bumi Majapahit merupakan keadaan dan suasana yang alami turun temurun dari para raja dan rakyat sebelumnya.
Toleransi terhadap Agama Buddha juga mendapat tempat yang sama karena rakyat dan raja-raja sebelumnya ada yang beragma Buddha. Sesungguhnya kita bisa menarik benih toleransi beragama ini sejak zaman Mataram Kuno di mana agama Hindu dan Buddha juga dapat hidup saling berdampingan. Ini dapat kita contohkan keberadaan Candi Prambanan yang bernapaskan Hindu berdampingan dengan Candi Sewu dari Agama Buddha. Ada juga di sekelilingnya candi-candi Hindu seperti Candi Sambisari, Candi Kedulan, Candi Kimpulan, Candi Ijo, Candi Gebang, Candi Merak; mesra berdampingan dengan Candi Plaosan, Candi Abang, Candi Kalasan, Candi Sari, Candi Palgading, Candi Banyunibo yang bernapaskan Agama Buddha.
Barangkali tafsiran Slametmulyana yang mengatakan bahwa Prapanca menulis Nagarakertagama dalam suasana kesedihan, kekecewaan, marah, mendongkol, merasa hina dan tak berarti, perlu kita maknai secara lain. Sesungguhnya dalam filosofi Agama Buddha hidup ini adalah penderitaan. Prapanca adalah seorang besar yang pernah menjabat menjadi pemimpin dalam Agama Buddha dalam kerajaan Majapahit.jabatan tinggi itu meskipun penting dan berharga tetapi bukan satu-satunya sumberkebahagiaan bagi Prapanca sebagai penganut Agama Buddha. Kehilangan jabatan, pengaruh, dan kekuasaan tidak akan menjadikan seorang pengikut Buddha yang luhur akan patah arang, patah hati, dan terbenam dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam dan berlebihan. Pastilah Prapanca mengerti benar kisah yang dituliskan sendiri bagaimana Raja Airlangga membagi kerajaanya untuk kedua anaknya. Kisah Airlangga ini sangatlah luar biasa. Bayangkan seorang Raja besar yang mempunyai kekuasaan sangat besar di hampir seluruh Jawa, Bali pada usia 50 tahun mengundurkan diri sebagai raja besar dan memilih menjadi seorang pertapa di Gunung Penanggungan. Itu artinya bagi seorang penganut agama yang sudah mendapatkan hidah, penerangan, pencerahan, dan roh suci akan merasakan bahwa kebahagiaan rohani lebih bernilai, bermakna dan berharga dibandingkan kebahagiaan kekuasaan, kenikmatan, dan harta. Benarlah kata pepatah: “Sura dira jaya ningrat lebur dening pangastuti”; kebahagiaan Ilahi lebih berharga danbernilai daripada kemewahan dan kenikmatan duniawi.
Dengan demikian kita bisa meraba dan menafsirkan barangkali itulah jalan kehidupan Prapanca yang harus menghadapi kedukaan, kesedihan, dan kekecewaan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari yang tak perlu diratapi maupun ditangisi. Pengalaman hidup Pranca dengan begitu justru menjadi pencerahan dan pemicu baginya untuk dapat menghasilkan sesuatu yang lebih bermakna bagi dirinya, keluarganya, dusun dimana ia tinggal, dan Sang Raja serta rakyat Kerajaan Majapahit. Ia tetap setia kepada Sang Raja. Ia tetap menuliskan citra poitif Kerajaan Majapahit hingga dikenal sampai saat ini. Prapanca juga dapat menjadi inspirator bagi para sejarawan modern, karena ia menuliskan sejarah dengan baik, jujur, positif dan memikat. Kesan positif, memikat, dan kolosal terlihat dari uraiannya yang begitu rinci, lengkap, dan logis tanpa berusaha menonjolkan tragedi-tragedi yang ada ataupun menutupi kebenaran sejarah. Seperti halnya Perang Bubat yang merupakan sesuatu yang sangat tragis, peristiwa ini tidak dituliskan dan diuraikan oleh Prapanca demi suatu ide yang lebih besar. Ide kejayaan Nusantara.
Prapanca membuka pintu bagi sumber-sumber lain untuk dapat memahami Perang Bubat. Prapanca sesuai nama samarannya mencoba merendah hati untuk tidak merasa mengerti segala yang ada, tidak merasa mengetahui segala hal; dalam istilah timur, aja rumangsa bisa, bisaa rumangsa. Prapanca bisa menahan diri, membatasi diri dan mengambil peran seperlunya; itulah tanda pribadi yang matang, meneb, tenang dan jiwanmukta. Jiwanmukta adalah sosok pribadi yang dapat mematikan segala nafsu dan mengerti kebenaran hakiki serta mengenal paraning dumadi. Prapanca memberikan dan menyediakan ruang yang besar bagi Sang Pencipta untuk mengisu hatinya sehingga pada akhirnya ia bisa menghasilkan mahakarya bagi Mjapahit dan Bagi Indonesia. Barangkali tepat yang dituliskan dalam Prasati Zoetmulder: “wiku haji jenek angher ing sunya” disematkan untuk Pujangga Prapanca seorang raja pendeta yang nyaman tinggal di dalam keheningan yang sempurna.

Selasa, 14 April 2020 – 21:15 WIB
Posted by Ki Slamet 42 Bogor
P u s a t a k a :
Mpu Prapanca,
“Kakawin Nagaraketagama”
Teks dan terjemahan:
Damaika Saktiani, dkk
Penerbit:
NARASI Yogyakarta 2018