Selasa, 14 April 2020

PRAPANCA MENGUBAH NAGARAKERTAGAMA DALAM HENING

Blog Ki Slamet : Atma Kembara
Selasa, 14 April 2020 - 21.13 WIB 

Prapanca

Berdasarkan teks-teks Nagarakertagama pada bagianakhirkita bisa melihat bahwa penulis Nagarakertagama menghasilkan karya monumental ini dalam semangat sepi ing pamrih rame ing gawe. Prapanca menuliskan Nagarakertagama yang merupakan kidung pujian bagi Sang Raja dan Majapahit tanpa ada perintah. Karya Prapanca ini merupakan karya sukarela yang dikerjakan oleh inisiatif sendiri untuk memuliakan Raja M ajapahit dan leluhurnya serta kecintaan Prapanca pada Kerajaan Majapahit. Sang Kawi menghasilkan karya ini di dusun sunyi yang jauh dari pusat kerajaan dan kekuasaan. Sebuah dusun tempat menyepi yang penuh dengan bunga-bunga indah dengan alam asri menyejukkan hati.
Hal kedua yang menarik, prapanca adalah seorang Budha dan ia berkarya untuk sebuah kerajaan besar Majapahit yang diidentikkan dengan Kerajaan Hindu. Bentuk toleransi ini menjadi sangat luar biasa senapas dengan semboyan dalam kitab Sotasoma karya Mpu Tantular yang mengatakan:
“Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”. Yang bermakna, ‘Walaupun  berbeda-beda namun satu juga, tidak ada darma, kebaikan dan kebenaran yang mendua’.
Dalam Negara Kerajaan Majapahit telah dan tetap mengalir benih toleransi beragama yang harmonis, damai, dan toleran. Dalam pupuh 77 Nagarakertagama disebut desa perdikan Hindu Siwa dan dan Hindu Wisnu. Dari situ kita bisa melihat paling tidak ada tiga aliran agama yang hidup berdampingan dengan mesra, Hindu Aliran Wisnu, dan Agama Budha. Hindu Waisnawa yang memuja Wisnu bermula sumbernya setelah letusan Gunung Merapi pada tahun 929 masehi dari raja Airlangga dan Raja-raja Kediri seperti Jayabaya yang dianggap juga titisan Wisnu. Sedangkan aliran Siwa sesungguhnya juga bermula dari Isyana Rja Medang di Jawa Timur leluhur dari Dharmawangsa dan Airlangga. Raja Isyana dikenal dengan nama Mpu Senduk. Mpu Senduk itu melambangkan Ular Kobra yang menjadi kalung Dewa Siwa. Artinya bahwa Raja Isyana menjadi kesayangan Dewa Siwa atau juga Raja Isyana adalah penganut Hindu Siwa yang tekun dan mendalam.
Hal ini secara nyata juga diungkap oleh Ken Arok Raja pertama Singasari yang juga dikenal dengan Hindu aliran Siwa. Dari kedua Hindu Siwa dan Hindu Waisnawa itulah menjadi nyata bahwa toleransi di Bumi Majapahit merupakan keadaan dan suasana yang alami turun temurun dari para raja dan rakyat sebelumnya.
Toleransi terhadap Agama Buddha juga mendapat tempat yang sama karena rakyat dan raja-raja sebelumnya ada yang beragma Buddha. Sesungguhnya kita bisa menarik benih toleransi beragama ini sejak zaman Mataram Kuno di mana agama Hindu dan Buddha juga dapat hidup saling berdampingan. Ini dapat kita contohkan keberadaan Candi Prambanan yang bernapaskan Hindu berdampingan dengan Candi Sewu dari Agama Buddha. Ada juga di sekelilingnya candi-candi Hindu seperti Candi Sambisari, Candi Kedulan, Candi Kimpulan, Candi Ijo, Candi Gebang, Candi Merak; mesra berdampingan dengan Candi Plaosan, Candi Abang, Candi Kalasan, Candi Sari, Candi Palgading, Candi Banyunibo yang bernapaskan Agama Buddha.
Barangkali tafsiran Slametmulyana yang mengatakan bahwa Prapanca menulis Nagarakertagama dalam suasana kesedihan, kekecewaan, marah, mendongkol, merasa hina dan tak berarti, perlu kita maknai secara lain. Sesungguhnya dalam filosofi Agama Buddha hidup ini adalah penderitaan. Prapanca adalah seorang besar yang pernah menjabat menjadi pemimpin dalam Agama Buddha dalam kerajaan Majapahit.jabatan tinggi itu meskipun penting dan berharga tetapi bukan satu-satunya sumberkebahagiaan bagi Prapanca sebagai penganut Agama Buddha. Kehilangan jabatan, pengaruh, dan kekuasaan tidak akan menjadikan seorang pengikut Buddha yang luhur akan patah arang, patah hati, dan terbenam dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam dan berlebihan. Pastilah Prapanca mengerti benar kisah yang dituliskan sendiri bagaimana Raja Airlangga membagi kerajaanya untuk kedua anaknya. Kisah Airlangga ini sangatlah luar biasa. Bayangkan seorang Raja besar yang mempunyai kekuasaan sangat besar di hampir seluruh Jawa, Bali pada usia 50 tahun mengundurkan diri sebagai raja besar dan memilih menjadi seorang pertapa di Gunung Penanggungan. Itu artinya bagi seorang penganut agama yang sudah mendapatkan hidah, penerangan, pencerahan, dan roh suci akan merasakan bahwa kebahagiaan rohani lebih bernilai, bermakna dan berharga dibandingkan kebahagiaan kekuasaan, kenikmatan, dan harta. Benarlah kata pepatah: “Sura dira jaya ningrat lebur dening pangastuti”; kebahagiaan Ilahi lebih berharga danbernilai daripada kemewahan dan kenikmatan duniawi.
Dengan demikian kita bisa meraba dan menafsirkan barangkali itulah jalan kehidupan Prapanca yang harus menghadapi kedukaan, kesedihan, dan kekecewaan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari yang tak perlu diratapi maupun ditangisi. Pengalaman hidup Pranca dengan begitu justru menjadi pencerahan dan pemicu baginya untuk dapat menghasilkan sesuatu yang lebih bermakna bagi dirinya, keluarganya, dusun dimana ia tinggal, dan Sang Raja serta rakyat Kerajaan Majapahit. Ia tetap setia kepada Sang Raja. Ia tetap menuliskan citra poitif Kerajaan Majapahit hingga dikenal sampai saat ini. Prapanca juga dapat menjadi inspirator bagi para sejarawan modern, karena ia menuliskan sejarah dengan baik, jujur, positif dan memikat. Kesan positif, memikat, dan kolosal terlihat dari uraiannya yang begitu rinci, lengkap, dan logis tanpa berusaha menonjolkan tragedi-tragedi yang ada ataupun menutupi kebenaran sejarah. Seperti halnya Perang Bubat yang merupakan sesuatu yang sangat tragis, peristiwa ini tidak dituliskan dan diuraikan oleh Prapanca demi suatu ide yang lebih besar. Ide kejayaan Nusantara.
Prapanca membuka pintu bagi sumber-sumber lain untuk dapat memahami Perang Bubat. Prapanca sesuai nama samarannya mencoba merendah hati untuk tidak merasa mengerti segala yang ada, tidak merasa mengetahui segala hal; dalam istilah timur, aja rumangsa bisa, bisaa rumangsa. Prapanca bisa menahan diri, membatasi diri dan mengambil peran seperlunya; itulah tanda pribadi yang matang, meneb, tenang dan jiwanmukta. Jiwanmukta adalah sosok pribadi yang dapat mematikan segala nafsu dan mengerti kebenaran hakiki serta mengenal paraning dumadi. Prapanca memberikan dan menyediakan ruang yang besar bagi Sang Pencipta untuk mengisu hatinya sehingga pada akhirnya ia bisa menghasilkan mahakarya bagi Mjapahit dan Bagi Indonesia. Barangkali tepat yang dituliskan dalam Prasati Zoetmulder: “wiku haji jenek angher ing sunya” disematkan untuk Pujangga Prapanca seorang raja pendeta yang nyaman tinggal di dalam keheningan yang sempurna.

Selasa, 14 April 2020 – 21:15 WIB
Posted by Ki Slamet 42 Bogor
P u s a t a k a :
Mpu Prapanca,
“Kakawin Nagaraketagama”
Teks dan terjemahan:
Damaika Saktiani, dkk
Penerbit:
NARASI Yogyakarta 2018

Rabu, 08 April 2020

Sumaryo L.E: "KOMPONIS, PEMAIN MUSIK DAN PUBLIK 1V"

Blog Ki Slamet 42: Atma Kembara
Rabu, 08 April 2020 - 16.15 WIB

BAB IV. PUBLIK PENDENGAR

1.      Fungsi Pendengar Dalam Kehidupan Musik
Sebagaimana telah disinggung dalam bab-bab terdahulu, pendengar musik sebagai suatu unsur dalam kehidupan musik tidaklah dapat kita abaikan begitu saja. Malahan pendengarlah yang sesungguhnya memberi pendapat terakhir, apakah karya seorang komponis dan hidangannya mempunyai hak hidup dalam masyarakat atau tidak.
Sebuah komposisi sebagai ciptaan yang tertulis tidak dimaksudkan untuk disimpan begitu saja sebagai dokumen. Sebuah ciptaan musik baru mendapatkan fungsi dalam masyarakat, kalau ciptaan itu menjadi suatu kenyataan yang bersuara, yang dapat didengar oleh sesama manusia. Yang penting adalah, apakah pendengar mendapatkan kenikmatan atau tidak daripadanya.
Kenikmatan yang didapatkan dari mendengar musik oleh manusia ini tidak perlu sama sifatnya. Ini banyak ditetapkan oleh masing-masing pendengarnya. Pendapat musik terdiri dari berbagai macam unsur dalam masyarakat. Tiap-tiap unsur mempunyai cara berpikir sendiri, perasaan serta cita-cita yang berbeda satu sama lain. Pendengar musik dapat terdiri pedagang, penguasa, seniman, anak  sekolah, pemangkas rambut, pegawai negeri, tukang catut, sarjana dan sebagainya.
Berbagai unsur dalam masyarakat tadi, bagaimanapun juga berbeda fungsinya dalam suatu kehidupan musik, baru memperoleh artinya yang menentukan, kalau semua itu tergabung dalam suatu kesatuan yang bersama-sama mendengarkan suatu hidangan musik. Yaitu bersatu dalam apa yang disebut publik.
Jadi, publik publik terdiri dari keseluruhan manusia-manusia dalam masyarakat yang dengan caranya sendiri-sendiri mengadakan kontak dengan musik. Caranya dapat dengan perantaraan televisi, radio,, penyelenggaran musik di rumah dan sebagainya.
Yang paling ideal adalah, bersama-sama mendengarkan musik dalam dalam sebuah gedung atau tempat khusus, di mana tiap-tiap pendengar mempunyai harapan akan mendapatkan kenikmatan dari hidangan musik sebanyak-banyaknya, dan oleh karenanya rela mengorbankan sesuatu guna penyelenggaraan itu, dengan jalan membeli karcis tanda masuk.
Dengan sendirinya, akibat mendengar musik secara lain, seperti mendengarkan lewat radio, televisi dan sebagainya, tidak sedikit merupakan dorongan untuk mengunjungi suatu hidangan musik yang hidup (live). Tanpa adanya publik seperti itu musik tidak akan mendapatkan dorongan moril serta materiil yang kuat dan akan menemui kepunahannya akibat haus kekeringan. Oleh karena itu, di dalam usaha kita untuk menggiatkan kehidupan musik dalam masyarakat, memperkenalkan masyarakat itu sendiri kepada musik yang adalah merupakan suatu usaha sosial-budaya yang vital.
Manusia akan mencintai sesuatu, kalau dia menyadari, bahwa apa yang dicintainya itu dapat memberikan suatu nilai kehidupan yang berharga kepadanya. Di dalam musik, nilai-nilai itu baru dapat dinikmati, kalau manusia itu diberi penjelasan serta pengalaman tentang nilai-nilai yang berhgarga dalam musik. Pada bab-bab selanjutnya kita akan meninjau bersama-samaunsur-unsur apakah dalam musik yang perlu mendapat perhatian, agar dapat diresapi publik yang terdiri dari berbagai jenis pendengar itu. Cara penerimaan musik ini biasanya disebut apresiasi.

2.    Bentuk Pernyataan Musik
Sekarang kita coba meninjau perwujudan dari musik sebagai suatu bentuk pernyataan yang hidup yang memiliki daya untuk menggerakkan hati manusia. Sesungguhnya sudah jelas, bahwa musik hanya memiliki daya menggerakkan hati manusia pada waktu musik itu menjadi kenyataan yang bersuara.
Suara itu sendiri sudah mempunyai daya menggerakkan fisik serta kejiwaan manusia. Suara kaleng kosong yang dibanting ke lantai dengan tiba-tiba di alam sunyi akan langsung mengagetkan manusia, yang sekonyong-konyong dengan langsung pula menimbulkan asosiasi adanya kemungkinan ketidakserasian ataupun bahaya kena lempar, barang penuh dan sebagainya. suara kaleng kosong yang demikian tidak memiliki tinggi nada, ini disebabkan oleh adanya getaran yang tidak tetap dan tidak teratur yang menyebabkan barang itu berbunyi, suara demikian disebut bahana. Sebaliknya suara yang memilik getaran atau frekuensi yang teratur disebut nada. Nada oleh karenanya oleh karenanya mempunyai tinggi yang tetap.
Tidak semua nada termasuk nada musikal. Yang terlalu rendah frekuensinya atau yang terlampau tinggi, tidak dapat dipergunakan untuk nada musik. Nada-nada demikian mengganggu pendengaran kita. Soalnya, nada-nada yang demikian tidak dapat kita nikmati, sebab menggelisahkan.
Sekarang kita mencoba menghasilkan suara lain. Umpamanya suara trompet yang dilontarkan ke udara secara tiba-tiba. Dari suana yang tenang, tiba-tiba... teeet, teeet! Ada suara trompet. Meskipun suara trompet itu nada musikal, kita dibuat kaget juga karenanya. Dan hati kita menjadi gelisah. Berdebar-debar sebentar, sama saja dengan keadaan ketika kita tiba-tiba mendengar suara kaleng kosong tadi.
Suara keras yang dihasilkan secara tiba-tiba ternyata mempunyai pengaruh fisik yang mengagetkan kepada kita. Tidak menjadi soal, apakah itu suara musikal, dan apakah kita mau atau tidak. Antara kaget karena suara trompet tadi yang berbeda hanyalah asosiasi kita. Suara kaleng memberi asosiasi adanya barang jatuh, atau kena lemparan sesuatu. Sedang suara trompet mungkin langsung memberi asosiasi adanya suara klakson mobil di jalan.
Unsur yang tiba-tiba dihasilkan ini kadang-kadang dipergunakan juga dalam komposisi musik. Di dalam sebuah simponi ciptaan Haydn yang disebut orang “Surprise Symphny” juga terdapat penggunaan alat-alat musik yang dimainkan secara tiba-tiba dan keras sesudah para pendengarnya diberi kesempatan menikmati susunan nada-nada yang tenang. Menurut cerita, maksud Haydn berbuat demikian ialah karena ia hendak membangunkan pendengar-pendengarnya yang tertidur!
Perlakuan atau pembagian dalam berlangsungnya tempo ternyata juga mempunyai pengaruh kepada fisik manusia, yang kemudian tergerak jiwanya. Manusia adalh makhluk yang badannya, secara fisik, berkembang secara teratur.  Dalam segala-galanya. Malahan ada kecenderungan ke arah teraturnya segala sesuatu yang berhubungan dengan perkembangan dan kemanfaatan badannya. Peredaran daerah, detik jantungnya, keluar-masuknya nafas lewat hidung kita, semuanya berlangsung dalam tempo yang penuh keseimbangan.
Fisik manusia dapat menyesuaikan diri dengan semua pembagian waktu yang berimbang. Kalau perimbangan ini diganggu, manusia menjadi gelisah, pernafasannya menjadi lebih cepat jalannya, begitu juga detik jantung dan peredaran darahnya.
Suara yang datang dengan tiba-tiba, dari tidak ada sekonyong-konyong menjadi ada, apalagi secara keras, terang mengganggu perimbangan fisik pendengarannya, yang menyebabkan rasa tegang. Suara yang dihasilkan dengan mempergunakan pembagian waktu secara teratur memuaskan hati manusia dan memberi kepadanya rasa ketenangan.
Jadi jelaslah, bahwa irama (ritme) sebagai pembagi waktu secara tertentu dalam musik mempunyai pengaruh pada diri manusia, terutama secara fisik. Sedangkan warna suara lebih menggerakkan jiwa kita. Suara kaleng tadi dan suara trompet, masing-masing memberi asosiasi yang berbeda satu sama lain.

3.      Unsur-Unsur Hidup Dalam Musik
Unsur-unsur ini dalam banyak tulisan tentang musik sudah terkenal, yaitu: irama (ritme), melodi, dan harmoni. Ketiga unsur inilah dalam musik yang pertama-tama bersifat konstruktip. Dalam arti, tidak boleh ditawar-tawar oleh pemain sebagai pernyataan musik itu, sebagai bahan pembangunan yang bersifat  abadi. Kalau diganti irama, melodi dan  harmoninya, lagunya akan menjadi lain.
Yang disebut irama dalam musik sebetulnya lebih mudah dirasakan daripada diterangkan. Irama, secara populer, adalah adanya unsur-unsur  dalam musik sebagai pembagian berlangsungnya waktu yang memberi pernyataan hidup kepada musik itu. Oleh karena irama itu, musik terasa mempunyai gerak. Seringkali di dalam pemakaian sehari-hari, istilah irama dalam musik disamakan dengan matra (maat) atau metrum atau birama. Itu tentu tidak benar.
Matra, metrum atau birama bukanlah unsur-unsur yang memberi pernyataan hidup pada musik. Kita membagi-bagi berlangsungnya musik dalam beberapa matra yang tetap, atau yang tidak tetap, untuk membantu kita mempermudah menggunakan musiknya. Tanda-tanda matra dalam dalam sebuah notasi musik (garis-garis yang vertikal dalam paranada), kalaupun tidak ditulis, tidak mengurangi samasekali intisari musiknya itu sendiri. Sebaliknya, irama adalah unsur mutlak musik. Tanpa irama tidak musik.
Selanjutnya yang dimaksudkan dengan melodi adalah: rentetan nada-nada yang disusun secara ritmis dengan ditetapkan ketinggiannya masing-masing. Unsur-unsur dalam melodi yang menetapkan sifatnya adalah garis ketinggian nada-nada-nadanya dan irama.
Akhirnya, harmoni adalah susunan nada-nada yang bersuara bersama-sama. Pelajaran mengenai harmoni dalam lembaga-lembaga pendidikan musik untuk banyak orang merupakan mata pelajaran yang tidak begitu mudah. Istilah harmoni dalam musik Timur mengikuti hukum-hukum yang berlainan.
Dengan sendirinya, ketiga unsur irama, melodi dan harmoni tadi di dalam susunannya satu sama lain dalam musik tidak hanya merupakan “jumlah” melulu dalam suatu komposisi. Musik harus merupakan suatu pernyataan yang “melebihi” jumlah ketiga usur tadi.
Apa yang merupakan kelebihin ini, kita coba bersama-sama meninjaunya secara tenang di bawah ini. di dalam ilmu, sesuatu yang mempunyai nilai “lebih” daripada jumlah unsur-unsur bangunannya disebut dengan bahasa Jerman “Gestalt”. Dan musik musik adalah suatu “Gestalt”. Pendenar musik yang baik adalah seorang yang dapat menikmati kelebihan daripada apa yang secara fisik diterima oleh telinganya.

4.      Irama dan Penerimaan Manusia Terhadapnya
Sebagaimana telah disinggung dalam bab-bab sebelumnya, dalam diri manusia ada bagian-bagian yang jalannya ritmis. Seperti peredaran darah, detak jantung dan sitim pernafasan kita. Darah keluar dan masuk jantung kita secara teratur, digerakkan oleh jantung itu senditi yang mengempes, melembung dan begitu seterusnya.
Irama dalam pengertian yang agak luas juga dapat kita saksikan dalam perkembangan alam itu sendiri. Pergantian siang menjadi malam, malam kembali menjadi siang, sekarang gelap, beok terang, gelap dan terang secara teratur silih berganti. Di Indonesia, musim hujan dalam setahun satu kali berganti menjadi musim panas dan masih banyak lagi contoh lainya, terlalu banyak untuk disebut satu per satu.
Irama menampakkan diri dalam segala sesuatu yang berkembang serta berlangsung dalam waktu yang tidak kita ketahui apakah berakhir atau tidak. Sebagai pernyataan hidup, yang kita rasakan sebagai sesuatu yang wajar, yang tiap kali kita alami kembali di dalam bentuk atau pola yang sama. Karena wajarnya, adanya irama ini sudah tidak kita perhatikan lagi. Juga adanya irama dalam perkembangan fisik kita, sudah tidak kita hiraukan lagi. Sama saja dengan kenyataan, bahwa kita tidak merasakan berjalannya waktu dan tidak menyadari, bahwa hidup kita secara teratur detik demi detik memakan waktu. Kalau tidak diperingatkan, kita biasanya tidak sadar, bahwa kita menjadi lebih tua.
Banyak sudah yang ditulis oleh kaum cerdik-pandai mengenai filsafat waktu dan irama ini. akan tetapi, yang dapat kita simpulkan adalah, bahwa segala yang menampakkan diri hidup, secara biologis, irama ini erat hubungannya serta pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Begitu juga, ada hubungan yang erat secara motoris-biologis antara irama fisik mnusia dengan irama irama musik yang didengarkannya.
Irama yang kita alami dari musik yang teratur dan lambat, membuat hati kita tenang, atau mungkin juga tertidur. Gerak motoris peredaran darah kita mungkin ingin menyesuaikan diri dengan gerak musik yang kita dengar. Irama yang cepat dan tidak teratur menyebabkan ketegangan dalam fisik kita dan secara kejiwaan, perasaan kita menjadi gelisah. Denyutan jantung kita dalam gerak ritmis ingin menyesuaikan diri dengan gerak musiknya. Secara motoris seringkali dengan tidak disadari, kaki kita ikut bergerak mengikuti gerak musiknya, terutama dalam musik yang punya irama tetap, ketukann.(“beat”) yang tetap.
Begitu erat hubungan pembagian waktu yang berlangsung di luar diri kita dengan irama fisik yang ada dalam diri kita sendiri, sehingga kita namakan sesuatu “lambat”, kalau apa yang kita alami secara tidak sadar kita bandingkan dengan kecepatan denyutan jantung kita. Sebaliknya, sesuatu yang berlangsung dalam bagian-bagian yang dirasakan melampaui gerak denyutan jantung kita, kita namakan “cepat”. Pembagian waktu yang sesuai dengan gerak ritmis fisik kita sendiri, disebut mempunyai kecepatan yang “sedang”.
Di dalam musik, gerak cepat, sedang dan lambat ada sebutannya sendiri-sendiri. Biasanya yang menggunakan kata-kata bahasa Itali seperti presto = cepat, prestimo = cepat sekali, modrato = sedang, lento = lambat, dan masih banyak yang lainnya lagi. Para pembaca dipersilahkan meneliti istilah-istilah lainnya dalam buku-buku mengenai teori musik, yang sudah beredar dalam bahasa Indonesia. Jenis-jenis gerak ini dalam musik biasanya disebut tempo.
Kalau kita main dalam suatu orkes, dan pemain-pemain tidapat mengikuti kecepatan permainannya, orang mengatakan: “temponya terlalu cepat”.
Sebaliknya, pembagian berlangsungnya waktu dalam pola-pola tertentu yang kita sebut irama, tidak bisa cepat atau lambat. Yang mempunyai sifat cepat atau lambat adalah temponya.
Untuk memudahkan, kita ambil contoh dari pola ritmis dalam musik tari, yang kita anggap semua mengenalnya. Umpamanya irama tanggo, wals atau gamat Melayu. Yang dapat cepat atau lambat adalah temponya. Misalnya wals Wina mempunyai tempo yang cepat. Wals Inggris (English waltz), temponya lambat.
Akan tetapi yang disebut irama, adalah unsur dalam musik yang “mengalir” terus, seperti arti kata aslinya  dalam bahasa Yunani Kuno rhein = mengalir. Kekuatannya yang motoris terhadap fisik manusia dari abad ke abad tetap sama.

5   M e l o d i
Unsur melodi dalam musik diatonis hingga sekarang dianggap orang sebagai yang paling vital. Dengan sendirinya, kalau kita menyebut melodi, unsur irama kita anggap sudah berada di dalamnya. Melodi yang tidak mempunyai irama belum boleh disebut melodi yang baik. Dalam angan-angan manusia, melodi memperkenalkan diri secara motoris sebagai mengalirnya suatu garis yang kadang-kadang naik dan kadang-kadang turun, menurut tinggi nada-nada yang membawanya.
Hubungan rentetan nada-nada satu sama lain menjadi lebih terang, justru karena gerak nada-nada tadi yang mengalir secara ritmis. Melodilah pula yang biasanya oleh pendengar musik paling mudah di-“tangkap”. Mungkin oleh karena kemampuan manusia itu sendiri, yang dengan suaranya, yaitu alat vokalnya, paling banter hanya mampu menghasilkan suatu suara dalam satu waktu tidak lebih, bagaimana pun panjangnya, persis seperti sifat melodi yang didengarnya.
Kita merasa lebih tertarik pada suatu pernyataan musik tertentu, kalau terutama melodinya dapat kita kenal kembali dan tetap tinggal dalam ingatan kita, walaupun musiknya sendiri sudah lenyap dari udara. Maka dari itu, musik vokal yang dapat ikut kita nyanyikan biasanya lebih populer daripada musik instrumental, yang dapat menghasilkan melodi yang kadang-kadang melebihi batas jelajahan suara manusia. Sebaliknya, musik instrumental yang nada-nadanya termasuk batas jelajahan suara kita sendiri, yang dapat kita nyanyikan dan ingat-ingat, dapat juga menjadi populer.
Pengaruh melodi pada publik yang mendengarkan, akan berbeda satu sama lain, sesuai dengan daya tangkap masing-masing. Daya tangkap ini sangat ditentukan oleh keadaan jiwa pendengarnya pada waktu itu. Di samping itu juga oleh pendidikannya, kebiasaannya sehari-hari, alam kehidupan sekitarnya, selera musiknya, kebangsaannya dan sebagainya. sebuah melodi tertentu yang pada seseorang dapat menimbulkan perasaan terharu, pada orang lain mungkin tidak berarti apap-apa, hanya memberi kenikmatan saja. yang terharu itu mungkin karena teringat pada suatu kejadian sebelumnya, yang sangat menggetarkan perasaannya pada waktu melodi tersebut terdengar olehnya untuk pertama kali.
Kalau unsur irama mempunyai pengaruh motoris-fisik yang menimbulkan perasaan yang menimbulkan perasaan yang hampir sama pada pendengarnya, melodi sebaliknya, diterima manusia dengan apresiasi yang tidak sama. Pengaruh melodi pada mnusia lebih bersifat kejiwaan.
Unsur melodi ini dapat saja oleh komponis ditambah daya pernyataannya dengan memberi warna kepada nada-nada yang diperdengarkan. Warna yang dalam bahasa asing (Perancis) disebut“timbre” (baca: tembre), dapat dihasilkan oleh penciptanya dengan mempergunakan suara alat musik tertentu.
Ada beberapa alat musik, yang memang tepat untuk memberi sugesti adanya suasana tertentu, seperti suasana kelebatan hutan dalam alam terbuka, suasana khidmat, keadaan sedih, gembira dan lain-lain. Warna yang keluar dari alat-alat musik itu tidak menetapkan suasana itu sendiri, melainkan lebih memberi tekanan kepada ekspresi melodinya.
Melodi yang, misalnya, ingin memberi suasana adanya suatu perasaan yang kita resapi dalam alam bebas, dengan pohon-pohon yang rindang serta sawah-sawah dan alang-alang yang tertiup angin, akan lebih memberi kesan demikian, kalau si penciptanya mempergunakan suara seruling. Kesan demikian akan banyak berkurang, kalau seandainya kita ganti seruling tadi dengan trompet misalnya. Suara trompet tidak begitu mudah menghsilkan hiasan-hiasan suara seperti seruling, yang nada-nadanya seakan-akan dapat menyusup ke mana-mana.
Akan tetapi ada kalanya melodinya sendiri sudah merupakan susunan nada-nada yang indah, sehingga pemberian warna pada suara-suaranya tidak akan banyak menmbah ekspresinya. Musik klasik ciptaan Mozart atau Haydn misalnya, merupakan buah-buah musik yang berisi susunan serta permainan nada-nada yang sudah indah, sehingga simponi klasik misalnya, tidak akan berkurang banyak nilainya, kalau umpamanya dibuatkan transkripsi untuk permainan piano saja, mengganti hidangan simponi.
Sebaliknya, musik romantis seperti ciptaan Richard Wagner atau Richard Strausz akan banyak berkurang daya pernyataannya, kalau orkestrasinya diganti dengan lain-lain alat musik, yaitu dijadikan transkripsi untuk piano misalnya. Sebab oleh komponis-komponis tersebut tadi, warna alat-alat musik memang dengan sengaja dipergunakan sebagai alat ekspresi yang vital.
Ditinjau dari sudut ilmu jiwa yang mempersoalkan “Gestalt” , sebuah melodi harus merupakan suatu Gestalt pula. Apa yang kita terima dari perkembangan melodi, bukan hanya merupakan jumlah nada-nada saja dengan ketinggiannya masing-masing.
Untuk pendengar, ketinggian suara nada yang diikuti oleh ketinggian nada-nada selanjutnya harus memberi suatu kesan. Kesan itu kita dapatkan kalau kita membiarkan berbagai nada itu mengalir dari suatu nada ke nada-nada lainnya, sehingga hubungannya satu sama lain tertangkap.
Jarak ketinggian sebuah nada ke nada berikutnya dalam sebuah melodi disebut “interval” antarnada. Ada yang memakai istilah “suarantara” untuk ini dalam bahasa Indonesia. Tidak mengapa, asal kita selalu ingat bahwa yang dimaksud dengan “interval” atau “suarantara” itu tidak hanya jarak antara suatu nada ke lain nada saja, akan tetapi juga hubungan serta “ketegangan” yang disebabkan oleh interval itu. Sebab kalau tidak demikian, orang akan menganggap, bahwa antara dua nada yang sama tingginya tidak ada intervalnya. Umpamanya dari nada c ke nada c itu juga.
Kalau dengan interval itu kita maksud hanya jaraknya saja, antara kedua nada itu tidak ada selisih tinggi. Padahal, interval antara nada kesatu ke nada lain yang sama tingginya disebut “prim” (prime), suatu interval juga. Jadi interval adalah lebih daripada hanya penetapan jarak antara dua nada saja.
Nama berbagai macam interval dapat kita pelajari dari buku-buku teori musik. Misalnya saja, dari c ke d disebut sekonda ( second, inggris), dari c ke e dinamakan ters (terts; third, Inggris), kemudian dari c ke f merupakan interval kwart ( fourth, Inggris). Selanjutnya kwint ( fifth, Inggris) dan begitu seterusnya. Nama interval itu juga berlaku untuk nada-nada yang menurun, umpamanya dari d ke c, juga disebut seconda dan seterusnya.
Besarnya interval dalam sebuah melodi mempengaruhi “rasa tegang” pada pendengarnya. Melodi yang hanya bergerak dengan seconda demi seconda, memberi kesan lebih tenang daripada melodi yang mempergunakan interval-interval yang agak besar. Misalnya saja: c d e f e d c ( do mi sol la fa re do ). Akan tetapi kesan demikian itu, yang kita terima, juga sangat terpengaruh oleh irama yang ditetapkan pada melodinya.
Persoalan interval yang dihubungkan dengan ketinggian nada-nada yang berbunyi serempak, termasuk dalam bidang harmoni. Dengan sendirinya, kalau kita ingin menikmati musik yang kita dengar, jangan kita memikirkan adanya interval-interval itu.
Melodi yang kita dengarkan, lebih baik kita anggap sebagai suatu struktur yang hidup, di mana segala pertentangan –pertentangan atau kontrastik yang ada serta bagian-bagiannya merupakan suatu keseluruhan yang padat, yang harus mengesankan suatu perkembangan perasaan-perasaan.
Pada saat kita mendengarkan musik demikian, yang melodinya biasanya menonjol, tidak jarang kita berhadapan dengan suatu proses pembuatan komposisi, yang mempergunakan kesatuan-kesatuan kecil, yang kemudian dikembangkan menjadi kesatuan yang besar berdasarkan kesatuan-kesatuan kecil tadi, yang seakan-akan berkembang sendiri.
Kesatuan-kesatuan kecil seperti itu sesungguhnya yang terkecil dalam musik, disebut motif. Artinya: pola, yang yang sudah memberi kesan adanya persaan tertentu pada pendengarnya. Motif ini tidak perlu harus bersifat melodis, tapi dapat juga mengambil bentuk harmonis atau ritmis.
Motif sebagai suatu inti yang hidup ini oleh komponis dikembangkan menjadi kesatuan yang lebih besar lagi. Demikian seterusnya, sehingga komposisinya merupakan suatu perkembangan perasaan-perasaan yang didasarkan pada adanya motif kecil tadi.
Motifini selama kita mengikuti kmposisi tiap kali kembali dipergunakan. Perkembangan motif-motif mengakibatkan terbentuknya kesatuan yang lebih besar lagi, yaitu yang disebut tema. Dalam tema ini, perasaan-perasaan yang dikesankan oleh motif tadi dapat dikenal kembali. pengenalan kembali ini biasanya tidak begitu mudah dikerjakan. Akan tetapi terang, bahwa motif yang kecil tadi seakan-akan terus ingin menyatakan dirinya dalam seluruh komposisi.
Perkembangan tema-tema merupakan bentuk lagi sebagai suatu kesatuan yang lebih besar, yang dinamakan frase atau kalimat, untuk menggunakan bahasanya sendiri. Berbagai macam frase ini merupakan keseluruhan lagi yang disebut periode.
Tentu tidak dalam semua ciptaan dapat dengan mudah kita temukan penggarapan motif sebagai dasar struktur komposisi seluruhnya. Dan memang tidak semua komponis dengan sadar menggunakan motif sebagai dasar komposisinya. Banyak terdapat komposisi yang sama sekali tidak mendasarkan strukturnya pada motif.
Di dalam mendengarkan sebuah komposisi, pendengar ketika sedang menikmatinya, tidak perlu mencoba menganalisa, mana motifnya, mana temanya dan sebagainya. pengetahuan mengenai adanya motif-motif ini cukup kita miliki dan sadari saja pada waktu kita menikmati musik. Kecuali kalau kita memang ingin mengadakan penyelidikan mengenai struktur sebuah komposisi, kita memang harus mengadakan analisa mengenai motif, tema, frasenya dan sebagainya.

6.      H a r m o n i
Harmoni merupakan bidang yang tidak mudah dipelajari dalam musik. Karena kita pun memang bukan bermaksud untuk mempelajari harmoni, di sini harmoni akan kita coba persoalkan, sejauh yang kita perlukan untuk mengenal fungsi harmoni itu dalam mendengarkan musik.
Persoalan interval yang telah kita singgung dalam uraian tentang melodi, di sini kembali kita bicarakan. Kalau dalam melodi interval itu berlangsung dalam waktu, bergerak seakan-akan horisontal seperti melodi itu sendiri, dalam harmoni, interval berada pada nada-nada yang berbunyi pada waktu yang sama.
Dalam para nada, titinada yang dimaksud bersuara serempak, ditulis bertumpuk dalam suatu garis vertikal. Nada tertinggi paling atas seperti contoh di bawah ini:
 
Akor Paranada

Dalam pendengaran kita, suara serempak memberi kesan perlunya ada ruangan untuk menampung suara banyak yang berbunyi serempak itu. Kalau melodi memberi kesan adanya perkembangan satu garis naik turun, suara serempak memberi kesan adanya perkembangan beberapa garis yang memerlukan ruanga. Ruangan itu seakan-akan diperlukan untuk ditempati oleh interval-interval suara-suara serempak itu.
Dalam musik diatonis Barat, harmoni merupakan unsur yang khas. Di dalam musik Asia  pada umumnya, melodilah yang merupakan unsur ekspresi yang utama. Orang Asia memperlakukan melodinya sedemikian rupa, sehingga dapat dipergunakan untuk menyatakan segala macam ekspresi . suara serempak yang terdengar dalam musik Asia dianggap terjadi secara kebetulan saja oleh orang Barat. Tidak merupakan unsur yang konstruktip. Tentu saja dalam musik Asia ada harmoni, akan tetapi harmoni yang bersifat lain kalau dibandingkan dengan harmoni diatonis Barat.
Perkembangan harmoni di negeri-negeri Barat mengalami kemajuan pesat, sesudah manusia Barat mengganti interval-intervalnya tangga nada yang murni dengan interval-interval yang “tidak murni” lagi, akan tetapi yang memberi kesempatan menggarap harmoni secara leluasa disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan praktek musik.
Pada waktu dulu, interval-interval murni, misalnya dari c ke d sampai e. Dengan interval yang tidak sama itu, bagaimana orang dapat beralih tangganada, umpanya akor c e g ( do mi sol ), tidak sama besar interval-intervalnya, kalau dibandingkan dengan d fis a ( re fi la ), yang seharusnya sama. Orang jadi tidak dapat mengadakan apa yang disebut modulasi, yaitu beralih tangganada.
Oleh karena itu, dalam abad ke XVIII timbul usaha untuk menyederhanakan interval-interval, yang dibuat sama semua, dengan semua kromatiknya.
Sama besar intervalnya dari c ke cis, cis ke d, dari d ke dis, dis ke e dan begitu seterusnya. Sebelum itu, interval c ke d saja sudah tidak sama dengan interval dari d ke e. Dengan sendirinya c ke cis pun tidak sama dengan interval d  ke dis. Mulai waktu itulan semua interval kromatis disamakan. Betul nada-nadanya jadi tidak “murni alam” lagi bunyinya, tetapi dengan cara begini kesempatan untuk bergeraknya harmoni menjadi lebih banyak daripada sebelumnya.
Dengan dibuatnya piano yang dilaras menurut sistem interval yang sama ini, orang dapat dengan leluasa mengambil sembarang nada sebagai nada dasarnya. Larasan demikian disebut larasan yang“weltempered”. Larasan inilah yang dipakai hingga sekarang.  
Kita jangan kaget kalau diberi tahu, bahwa nada-nada piano sekarang yang kita anggap “murni” itu, sebetulnya sama sekali tidak murni. Dengan tidak sadar, telinga manusia memerlukan lebih banyak tenaga untuk mendengarkan nada-nada yang tidak murni sebagai murni. Telinga manusia memang peka, akan tetapi karena kebiasaan, seleranya bisa berubah dengan cepat. Dalam abad sekarang ini, abad ke-20, dalam beberapa kalangan musisi di Eropa timbul usaha-usaha untuk memainkan musik secara murni kembali.
Harmoni sebagai unsur musik sebagai unsur musik, kebanyakan dipergunakan untuk menambah ekspresi melodi yang menjadi dasar perkembangan harmoni itu. Melodi sendiri sebetulnya terdiri dari nada-nada yang dalam perkembangannya sebagai melodi sudah membawa harmoninya sendiri secara latent, yaitu secara terpendam. Tiap nada di dalam geraknya dalam melodi pada umumnya tentu membawa suara bas, sebagai salah atu suara harmoni dengan nada terendah. Orang yang yang musikal biasanya dengan mudah dapat membunyikan nada-nada bas yang tersembunyi dalam gerak nada-nada sebuah melodi. Pemain bas dalam band pop dapat merasakan, nada-nada mana saja yang harus dibunyikan sebagai bas, ketika mengiringi perkembangan melodi yang dimainkan oleh band.
Akor sebagai perpaduan nada-nada yang berbunyi serempak merupakan dasar harmoni ini. Orang yang main dalam sebuah band pop dengan iringan gitarnya, pada umumnya dapat menerka sendiri, akor-akor apakah yang perlu dibunyikan.
Pada dasarnya, akor sebagai perpaduan suara, yang terdiri dari tiga nada atau lebih, ada yang memberi banyak rasa tegang, dan ada yang “kurang harmonis” atau “tidak harmonis” terhadap satu sama lain.
Misalnya: nada c dipadukan dengan nada e dan g, jadi c e g. Kemudian ditambah lagi dengan nada a. Jadi c e g a (do mi sol la). Perpaduan nada-nada ini tentu memberi perasaan yang lebih menegangkan daripada perpaduan c e g saja.
Akor c-e-g (do mi sol) dirasakan lebih harmonis daripada akor c-e-g-a (do mi sol la). Oleh karena nada c, yang dipergunakan dalam musik, baik yang keluar dari alat-alat musik maupun sebagai suara manusia, yang kita dengar sebagai nada c itu, sebetulnya pada umumnya dalam anatominya masih terdiri dari lain-lain anak nada. Yaitu yang terpenting, adalah c’, g’ dan e’. Ketiga anak nada ini merupakan yang terkuat, meskipun tidak terdengar oleh telinga kita secara tegas. Memang yang kita dengar hanyalah nada c saja. anak-anak nada itu dalam bahasa Inggris disebut “partial” atau “harmonic”, jadi kira-kira sama dengan “nada angan-angan”.
Adanya akor yang kedengaran “harmonis” dan akor lainnya yang dirasakan “kurang harmonis”, menyebabkan dibedakannya dua jenis akor. Jenis yang satu disebut konkor, yang lainnya diskor. Secara populer orang mengatakan: konkor adalah akor yang enak didengar, sedangkan diskor  adalah akor yang tidak enak didengar.
Anggapan seperti itu ternyata tidak dapat dipersalahkan terus. Sebab akor yang sekarang disebut diskor, mungkin beberapa waktu lagi sudah dirasakan sebagai konkor. Kalau dulu c-e-g-a (do mi sol la) terdengar sebagai diskor, sekarang sudah terasa sebagai hal yang biasa , jadi sudah menjadi konkor. Malahan tidak jarang terjadi, band-band pop mempergunakan akor c-e-g-b (do mi sol si), yng oleh publik pun tersa sebagai biasa pula, kedengaran “enak” juga.
Karena itu, lebih baik kita mempergunakan istilah ketegangan dalam hal ini. jadi konkor adalah suara serempak yang paling sedikit memberi ketegangan. Kalau sebuah akor terasa mengandung lebih banyak ketegangan, akor demikian cenderung untuk menjadi diskor. Umum lebih mengenal istilah konsonan dan disonan. Kata-kata ini sebetulnya hanya dipergunakan untuk hubungan antara dua buah nada saja. c-g adalah konsonan, c-e-g adalah suatu konkor.
Malahan banyak komponen yang dengan sengaja mempergunakan dissonan-dissonan dalam komposisi-komposisinya untuk menambah ekspresi ciptaannya, apalagi komponis-komponis zaman Romantik. Harmoni yang sederhana, yang mudah “ditelan”, memberi kesan ketenangan, dan kadang-kadang juga kesan khidmat. Sebaliknya harmoni yang rumit susunannya, memberi kesan tegang, gelisah dan sebagainya. penggarapan harmoni dapat memberi dinamik pada perasaan pendengar-pendengarnya. Inilah salah satu fungsi harmoni dalam suatu komposisi yang dipergunakan pencipta.
Selain daripada itu, harmoni memberi tekanan kepada kekuatan nada dasar. Nada dasar ini dipergunakan dalam sebuah komposisi untuk akhirnya diselesaikan dengan kembalinya nada dasar sebagai penutup. Sekaligus juga sebagai penetapan “tonalitas” daripada ciptaan tersebut.
Sebuah komposisi yang mempunyai tonlitas tertentu, misalnya nada dasarnya d mayor, biasanya diakhiri dengan akor dalam d mayor juga, yaitu akor yang terdiri dari nada-nada  d – fis – a  (re – fi – la, yang mempunyai interval sama dengan  do-mi-sol). Meskipun dalam perkembangan komposisinya berbaga macam akor dipergunakan, akhirnya akor-akor tersebut toh digiring kembali ke akor d mayor tadi. Pendengar karenanya jadi merasa tenang kembali dan sekaligus merasanakan pula tonalitasnya.
Sebutan d mayor  dalam musik dipergunakan untuk membedakannya denga apa yang disebut d minor. Akor d mayor terdiri dari paduan nada-nada: d-fis-a, sedangkan akor d minor dari paduan nada-nada: d – f – a. Akor d mayor kedengarannya seperti re-fi-la atau do mi sol. Akor d minor seperti  re – fi – la atau  la-do-mi. Dalam akor minor interval , pertama dalam akor  d mayor diminorkan (dikecilkan) setengah nada, jadi: d-f-a (d minor).
Bukan hanya nada-nada yang berbunyi serempak saja yang termasuk bidang harmoni. Perlakuan dua melodi yang berbunyi serempak, akan tetapi serasi, digolongkan ke dalam bidang harmoni. Berbunyinya dua melodi yang berlainan satu sama lain pada waktu yang bersamaan, yang serasa serasi oleh pendengarnya disebut “counterpoint” Inggris). Orang Jerman menamakannya “Kontrapunkt”.
Pada dasarnya, pada permainan antara akor-akor yang berkembang secara mengembara dan akor-akor yang perlu mendapat penyelesaianlah letak dinamika harmoni dalam suatu komposisi dan sekaligus memberinya suatu pernyataan hidup.
Di dalam perkembangan sejarah musik, meldi dan harmoni berganti-ganti pegang pimpinan dalam dunia komposisi. Pada zaman klasik, melodilah yang memegang peranan penting. Cara komposisi demikian disebut “homofonis”. Ada kalanya berbagai macam suara yang dipergunakan dalam suatu komposisi , mempunyai hak yang sama di dalam penonjolan diri masing-masing. Kita sebut cara ini “polifonis”.
Khusus dalam zaman impresionisme, harmonilah justru yang memegang peranan penting, meskipun tidak dapat dilepaskan penonjolan melodi kadangkala, yang seringkali menghilang, dirangkul oleh harmoni yang ingin kembali menyatakan diri (komposisi Debussy). Sesudah zaman impresionisme sampai sekarang, agaknya melodilah lagi yang menetapkan sikap pokok komposisi.

7.      I n t e r v a l
Dalam uraian-uraian mengenai unsur-unsur vital dalam musik, ternyata intarval (antarnada) mempunyai fungsi yang memberi bentuk pada suatu komposisi. Intervallah lagi yang menetapkan bentuk melodi. Demikian pula halnya dengan penetapan harmoni. Malahan dalam bidang penelitian mengenai musik sebagai suatu ilmu (musiklogi), intervallah lagi yang sering menjadi obyek untuk dipelajari.
Malahan dalam ethnomusikologi, yaitu ilmu mengenai musik berbagai-bagai bangsa, khususnya bangsa-bangsa atau suku bangsa yang dianggap masih mempunyai bentuk-bentuk musik yang asli, interval merupakan bahan perbandingan antar musik-musik itu.
Dunia industri telah berhasil membuat alat-alat untuk mengukur interval-interval itu sampai setepat-tepatnya. Yang ditetapkan dalam ukuran itu adalah frekuensi nada-nadanya di dalam hubungannya satu sama lain. Ternyata, bahwa jumlah getaran tiap-tiap nada di dalam hubungannya satu sama lain dalam suatu larasan yang murni menunjukkan angka-angka dalam imbangan yang mudah diteria, oleh karena merupakan angka-angka yang sederhana. Juga perpaduan dua nada murni dirasakan cocok, kalau imbangan frekuensi tiap-tiap nada tadi menimbulkan suatu imbangan yang sederhana. Makin tidak sederhana imbangan itu, makin banyak paduan nada-nada itu menimbulkan rasa tegang pada kita.
Dalam uraian terdahulu sudah pernah kita singgung tentang harmonics, yang kita sebut “anak nada”. Adapun sebuah nada tertentu mempunyai anak-anak nada seperti berikut. Kita ambil sebagai contoh nada c. Nada  c ini memuat anak-anak nada c’, kemudian g’, c’’ , e’’, g’’, bes’’, c’’’, d’’’ dan seterusnya.
Ternyata, bahwa imbangan frekuensi antara nada dasar, yaitu c, dengan harmonics-nya berturut-turut merupakan imbangan yang teratur sekali. Yaitu 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan begitu seterusnya, seperti ikhtisar di bawah ini.
c          c’       g’       c’’      e’’    g’’    bes’’    c’’’    d’’’    dst...
nada  anak  anak  anak 
dasar nada  nada  nada
imbangan frekuensi
1          2      3          4      5       6      7        8       9       dst...
Dari ikhtisar di atas dapat disimpulkan bahwa :
Interval :                               = imbangan frekuensi :
c   :    c’  ( oktaf )                  = 1   :   2   ( do do’ )
c   :    g  ( kwin )                   = 2   :   3   ( do sol )
c   :    f   ( kwar )                   = 3   :   4   ( do fa  )
c   :   e   (ters besar)             = 4   :   5   ( do mi )
c   :   es (ters kecil)               = 5   :   6   ( do ri atau re fa )
c   :   a  (seks besar)             = 3   :   5   ( do la atau sol mi’ )
c   :   as ( seks kecil)             = 5   :   8   ( do sel atau mi do’)

perpaduan nada-nada, umumnya c dan d, yang di telinga kita “memberi keterangan yang banyak”, tentu akan menunjukkan imbangan angka-angka pecahan, atau mungkin mengandung imbangan angka-angka yang “rewel” seperti 7, 11, 13 dan selanjutnya, atau angka-angka dari 8 ke atas.
Kita lihat, bahwa hukum-hukum dalam musik mengatur segala-galanya sendiri secara wajar. Makin sederhana angka-angka imbangan, makin mudah terserap pada telinga kita.
Untuk mengadakan penelitian mengenai besarnya interval-interval ini, palagi untuk mengadakan perbandingan antara berbagai macam bangsa, angka-angka frekuensi nada-nada terlalu sukar dipakai untuk mendapatkan gambaran visual sisim-sistim nadanya.
Coba saja, angka-angka frekuensi ini: satu nada yang berfrekueni 116 dan satu nada lago dengan frekuensi 193  . orang tidak dapat cepat berkesimpulan, bahwa interval yang dibentuk oleh keadaan nada tadi merupakan satu seks. Kedua angka itu tidak lain daripada suatu imbangan 3 lawan 5. Coa saja hitung!
Oleh Alexander Ellis, seorang ahli ilmu bahasa dan ahli ilmu pasti berbangsa Inggris, kemudian ditemukan cara baru. Obyek yang diukur bukan frekuensi nada-nadanya, mealinkan dari satu nada ke lain nada.
Ellis membagi jarak antara nada yang satu ke nada lainnya, umpamanya dari c ke d dalam larasan diatonis yang dipakai sekarang ini, dalam 200 jarak-jarak kecil, yang disebutnya cents. Jadi interval c sampai d  meliputi 200 cents (baca: sents).
Dengan sistim ini kita mendapat gambaran visual dari suatu sistim. Untuk mengambil contoh, larasan sistim diatonik Barat sekarang adalah dengan mempergunakan cents seperti berikut :
 c    200    d     200    e    100     f     200    g    200    a    200    b    100    c’ .
do           re             mi             fa            sol            la             si            do’ .

ukuran cara Ellis ini tentu lebih mudah dimasukkan ke dalam angan-angan kita daripada kalau kita meneliti angka-angka frekuensi tiap-tiap nada. Oleh karenanya, kita dapat lebih mudah “menggambarkan” interval sistim-sistim musik bangsa-bangsa, yang menggunakan interval-interval yang berbeda dengan interval diatonik Barat dalam menggunakan interval-interval yang berbeda dengan interval dianotik Barat dalam tangganadanya. Di dalam pendengaran kita.
Ada bangsa yang mempergunakan interval dari nada yang satu ke nada lainnya, yang besarnya lebih dari 200 cents. Sebaliknya ada juga interval yang lebih  daripada 100 cents. Telitilah misalnya dengan seksama interval-interval dalam gamelan kita sendiri. Secara teoritis, 240 cents. Di negara-negara Barat pada waktu sekarang telah lebih dari 20 tahun dicoba pembuatan tangganada yang memuat 31 nada dalam suatu oktaf. Di dalamnya terdapat interval yang besarnya hanya 77 cents!
Orang yang biasa menggunakan tangganada diatonis Barat misalnya menganggap, bahwa nada-nada dalam selendro berbunyi seperti c d e g a c’ atau do re mi sol la do’. Ini menandakan bahwa manusia normal yang mempunyai pendengaran musikal biasa saja, tidak mudah mendengar adanya selisih interval belasan atau beberapa puluhan cents, yang secara psikologis dirasakan kurang atau tidak begitu banyak mempengaruhi pendengarannya.
Namun demikian, manusia dalam abad kemajuan sekarang ini sudah tidak puas lagi dengan pembagian jelajahan suara musik dalam interval-interval yang itu-itu juga. Manusia ingin mencari rangsang baru. Sudah berpuluh-puluh tahun lamanya oleh beberapa musisi di Barat diusahakan untuk membagi interval suara nada diatonis Barat, misalnya dari c ke d, menjadi empat buah inyerval yang sama!
Komposisi yang timbul karena adanya interval-interval yang kecil itu digolongkan dalam aliran mikrotonalitas (mikro = kecil). Untuk telinga orang banyak komposisi-komposisi demikian tentu akan menimbulkan kegelisahan-kegelisahan musikal baru, yang sensasional sekali. Kita mungkin tidak akan tahu lagi, apakah si pemain akan menghidangkan komposi-komposi yang demikian secara benar atau tidak.

8.      Musik Sebagai Suatu Jenis Kesenian yang Agresip
Manusia di mana pun dia berada, hampir tidak dapat mengelak diri dari mendengar musik. Sebab musikdhidangkan lewat radio, televisi, tape-recorder, pick-up, hidangan-hidangan konser, pertunjukan-pertunjukan yang diiringi dengan musik, pesta dan sebagainya. manusia zaman sekarang mungkin harus melarikan diri ke rimba raya agar dapat menghindarkan diri dari serangan musik, sebab daya serang musik jangan kita anggap kecil artinya.
Suara sebagai bahan musik menembusdinding, dan jarak bebera pun jauhnya. Musik yang diputar pada piringan hitam di Amerika, dengan lewat radio, sampai juga pada pendengaran manusia yang ada di tanah air kita, mau atau tidak. Musik ternyata merupakan salah satu jenis kesenian yang agresip sifatnya dari seni rupa atau seni tari, mengharuskan manusia yang ingin menikmatinya, paling sedikitnya mengeluarkan tenaga untuk membuka matanya lebih dahulu. Lagi padangan mata tidak dapat menembus dinding. Tapi sebaliknya, meskipun kita tidak mau, kita masih dapat mendengar uara musik, meskipun kita berbaring di tempat tidur dengan menutup mata, jauh dari sumber suara musik itu sendiri.
Jenis seni yang lain, yang menggunakan suara sebagai bahannya, misalnya seni deklamasi, masih juga mengandung faktor-faktor yang menghambat agresinya. Faktor itu adalah, pengertian dari apa yang dimaksudkan oleh sajak yang dideklamasikan. Tandanya, kita sama sekali tidak dapat “terserang” oleh keindahan sebuah sajak yang dideklamasikan, kalau kita tidak mengerti bahasanya.
Suara musik sebagai suara saja memiliki kekuatan sendiri dalam nada-nadanya yang tersusun secara ritmis, melodis, harmonis, koloristis serta dinamis, tidak hanya merupakan gambaran suatu emosi, akan tetapi sudah merupakan emosi itu sendiri. (Koloritas = penggunaan suara), yaitu pemakaian alat-alat musik tertentu. Dinamis = dengan hubungannya dengan kekuatan nada, keras atau lemah.) Jadi, suara musik mempunyai kekuatan yang otonom, yang langsung menyentuh pendengarannya, secara fisik maupun secara psikologis.
Kenikmatan yang dialami oleh publik yang mendengarkan musik mempunya aneka sifat. Sebagian dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam diri manusia itu sendiri, sebagian lagi dari luar. Ini sesuai dengan kenyataan, bahwa publik terdiri dari berbagai macam manusia, dari mulai pemangkas rambut, seniman sampai kepada yng cerdik pandai.
Akan tetapi, kenikmatan itu apada umumnya terdiri bagian. Bagian pertama adalah keindahan yang dinikmati manusia disebabkan oleh keindahan susunan suara-suara musik itu sendiri sebagai suatu organisme yang hidup. Yaitu indahnya melodi, rasa keserasian pada waktu kita meresapkan paduan suara dan warna-warnanya, kewajaran suatu pernyataan yang berlangsung dalam waktu seperti hidup. Penyerapan keindahan yang demikian termasuk dalam bidang-bidang hukum-hukum keindahan yang organis. oleh karena mengenai mengenai organisme itu sendiri.
Kenikmatan kedua berlangsung pada waktu kita meresapkan keindahan, yang kita dapatkan dari emosi yang terbawa oleh susunan nada-nada dalam musik itu. Emosi yang kita coba tangkap sebagai keharusan kita sendiri. Mungkin inilah yang dimaksudkan orang dengan “makna” atau “sari” atau “arti” musik yang didengar. Komponisnya sendiri mungkin tidak mempunyai maksud memberi maka atau arti pada ciptaannya. Keindahan yang demikian memang tidak mudah untuk diterangkan, apalagi kepada mereka yang tidak pernah merasa terharu oleh musik.
Keharuan yang bercampur dengan kekaguman mungkin. Suatu rasa mengenai sesuatu yang tidak diketahui rasa apa itu sebetulnya, akan tetapi yang terasa indah sekali oleh penyerapnya. Seperti misalnya sensasi yang timbul di hati kita pada waktu sebuah bintang bergerak pindah tempat dengan menggoreskan cahaya di langit pada waktu malam yang cerah secara tiba-tiba hanya untuk sekejap.
Persoalan mengenai peresapan keindahan yang melibatkan emosi kita ini termasuk hukum-hukum keindahan yang emotip. Contoh pindahnya sebuah bintang di langit tadi tentu jangan diartikan, bahwa keindahan musik  itu sama atau sesuai dengan keindahan sinar bintang pindah itu. Oleh karena, itu hanya untuk mencoba menjelaskan proses lahirnya sensasi yang dimaksudkan, dalam bidang estetika (pengetahuan mengenai keindahan) saat diresapkannya keindahan demikian dalam diri manusia pada umumnya disebut “saat estetis”. Orang menganggap, bahwa saat estetis inilah yang harus kita tangkap dan manfaatkan serta pertahankan selama mungkin di saat kita menikmati musik.
Keindahan yang bersifat emotip ini dapat menjelma dalam berbagai-bagai sifat dan suasana perasaan. Rasa terharu oleh karena musik yang didengarkan begitu mengesankan sesuatu yang dramatis, menimbulkan suatu proses yang berisi konflik yang perlu penyelesaian, sampai pada kesan, sesuatu yang mengagumkan karena menyentuh perasaan pendengarnya dengan dahsyat. Pendeknya segala sesuatu yang menyebabkan pendengarnya menjadi terharu.
Meskipun ada dua proses dalam penyerapan keindahan bentuk keindahan kesenian, yaitu yang organis dan yang emotip, kita janganlah menganggap, bahwa proses yang bersifat emotip ini baru berlangsung sesudah kita mengalami proses yang bersifat organis. kedua proses sebetulnya berlangsung bersama-sama, baik proses yang menyentuh indera kita, maupun proses yang menyebabkan kita tenggelam ke dalam soal-soal yang abstrak, seakan-akan kita tidak lagi berada lagi dalam suatu dunia yang nyata, jauh serta mendalam di alam kerokhanian, yang hanya terdapat dalam musik yang baik.
Meskipun kenikmatan yang kita peroleh dari mendengarkan musik mengalami intensitas yang terkuat pada waktu kita mendengarkan, kenikmatan masih dapat kita alami sesudah musiknya selesai dihidangkan. Perasaan terharu sesudah itu dengan sendirinya tidak lagi bersifat dahsyat seperti pada waktu kita mendengarkan, akan tetapi ingatan kepada keindahan yang telah didapatkan memberi berbagai macam persoalan untuk dipikirkan kepada kita.
Buat manusia yang berbudaya, keadaan demikian memberi suatu kenikmatan kultural, yang tentunya lain sifat dan intensitasnya kalau dibangkan dengan kenikmatan meresapi keindahan yang menyerang hatinya pada waktu mendengarkan.
Tinjauan-tinjauan tadi serta ingata kepada keharuan yang dialaminya dapat memberi dorongan mental yang segar, dapat pula memberi ide-ide kultural yang baru, yang sebelumnya tidak terpikirkan. Musik yang  baik dapat merupakan alat pemurnian rasa, jiwa dan rokhani manusia.

9.      Pendengar yang Musikal
Publik yang mendengar suatu hidangan musik dapat terdiri dari orang-orang yang musikal, kurang musikal atau mungkin saja orang-orang yang tidak musikal. Biasanya  orang-orang yang musikal pergi ke suatu hidangan musik atas kemauan sendiri. Yang kurang musikal, menjadi pecinta musik, dan yang mengunjungi konser musik atat kemauan sendiri pula. Yang tidak musikal pun ada juga yang menjadi publik pendengar konser, misalnya kalau ria perlu mengantar teman atau keluarga yang gemar musik.
Dari ketiga jenis pengunjung konser itu, tentunya yang musikallah yang akan mendapatkan kenikmatan sebanyak-banyaknya, sedangkan yang tidak musikal dan tidak senang kepada musik mungkin tidak akan mendapatkan kenikmatan apa-apa. Malahan dalam banyak hal mungkin menjengkelkan dirinya. Masih untung, kalu ornga seperti itu hanya tidak terbuka hatinya dalam hal meresapi keindahan musik saja tetapi misalnya hatinya masih terbuka untuk keindahan bentuk kesenian lain, umpamanya seni drama. Jadi ia hanya tidak musikal saja. sebab ada kalanya, seseorang tidak dapat menikmati keindahan bentuk seni apap pun, apakah itu seni musik, seni drama, seni sastra, seni rupa. Itu pun masih belum begitu celaka, sebab mungkin dia masih dapat menyerap keindahan alam. jadi ia hanya tidak artistik saja. sebab, keindahan tidak hanya dihasilkan oleh pernyataan kesenian saja. juga alam terbuka kaya raya dengan keindahan yang menajubkan, yang diciptakan Tuhan untuk dinikmati manusia.
Manusia itu sendiri ikut menciptakan keindahan juga, yaitu dalam bentuk-bentuk pernyataan seni. Kalau dalam menikmati keindahan  alam sebagai karunia Tuhan pada manusia tak timbul keinginan untuk meneliti sumber-sumber dan proses terjadinya keindahan itu, karena adanya kesadaran hatinya bahwa segalanya memang sudah seharusnya demikian, maka dalam menikmati keindahan yang dicipta manusia dalam bentuk pernyataan seni, pada manusia masih timbul keinginan untuk meneliti sumber hakekat seni serta proses terjadinya keindahan seni itu, yang dibuat oleh sesama manusia dan yang dianggap berada di dalam kemampuan pula untuk diraba rahasianya, dengan maksud agar dapat lebih banyak menikmati keindahannya. 
Demikian pula persoalannya dengan manusia di dalam usahanya untuk lebih dapat menikmati keindahan yang diciptakan dalam bentuk musik. Hanya mereka yang musikallah yang membunyai bekal untuk meraba lebih mendalam dalam soal-soal abstrak yang berada di belakang susunan nada-nadanya. Akan tetapi antara musikalitas dan kemampuan untuk menangkap sesustu yang terpendam dalam bentuk pernyataan musik masih ada jarak yang harus dilalui terebih dahulu.
Yang lulus ujian masuk lembaga pendidikan musik hanyalah orang yang berhasil menempuh test yang memperlihatkan, bahwa ia mempunyai bekal cukup untuk menerima pelajaran-pelajaran musik. Apakah itu bekal untuk memainkan alat musik, untuk menjadi kompunis atau untuk menjadi seorang kompunis atau untuk menjadi seorang yang akan mendapat didikan musikal analitis di dalam menghadapi kewajaran buah-buah pernyataan musik.
Manusia yang mempunyai bekal musikalitas dapat mengembangkan bekalnya itu dengan bekerja keras. Diharapkan daripadanya ada suatu kemauan untuk berlatih, untuk bergiat, sebagai suatu usaha surplus daripada hanya memiliki tanda-tanda musikal saja, yang pada dasarnya baru terdiri dari: memiliki kepekaan terhadap berbagai bentuk ritme, kepekaan terhadap interval, melodi, harmoni serta mempunyai pendengaran yang baik. Manusia yang memenuhi syarat-syarat pokok ini tidak dapat diharapkan berhail baik dalam pendidikannya.
Demikian juga syarat-syarat untuk seorang pendengar musik yang baik di dalam menghadapi hidangan-hidangan musik yang ingin dia resapkan keindahannya. Dia tidak bisa hanya mendengarkan musiknya dengan pasip. Dia tidak bisa hanya membiarkan susunan nada-nada menyusup ke dalam kalbunya dengan sikap mental yang menerima saja. dan dia hanya dapat berhasil dalam hal itu, kalau dia dapat menyelami kewajaran atau logika bentuk pernyataan musik yang didengarnya.
Musik terdiri dari susunan nada-nada yang mempunyai sifat cepat berlalu. Bahan-bahannya pun tidak dapat diraba. Dia datang dan menghilang seketika itu juga. Yang ketinggalan pada pendengarnya biasanya hanya ingatan pada yang baru didengarnya saja. ini yang membuat manusia ingin mengulangi mendengarnya dalam kesegarannya untuk menikmatinya kembali, dan kalau mungkin, untuk melipatgandakan kenikmatannya.
Sifat cepat hilangnya musik ini memaksa pendengarnya untuk memperkuat ingatannya terhadap apa yang telah musikal berlalu. Tanpa mempunyai kekuatan ingatan demikian, pendengar tidak akan mudah menyelami hubungan antara apa yang telah berlalu dan apa yang masih akan didengar. Oleh karena itu, diperlukan adanya konsentrasi pada apa yang didengar. Tapi usahanya tidak boleh berubah menjadi suatu sikap untuk mengadakan analisa dengan mempergunakan pikiran. Yang menganalisa pada waktu menikmati musik bukan otak kita, melainkan mental serta jiwa kita. Bahwasannya otak kita pada waktu mendengarkan musik tidak tinggal diam samasekali, itu tak perlu dikatakan lagi.
Konsentrasi pada apa yang didengar harus tetap dipertahankan hanya sampai pada soal-soal yang musikal saja. segala penyelewengan di dalam konsentrasi ini kepada soal-soal yang berada di luar musik akan mengurangi kenikmatan musikalnya. Umpamanya saja, mental dan jiwa kita tertarik ke arah bayangan-bayangan yang bersiafat visual menarik atau ke arah pengertian-pengertian yang dikesankan oleh judul buah musik itu.
Dengan memusatkan sikap mental kita ke arah inti musik itu sendiri, kita akan mengalami sesuatu yang belum pernah kita alami sebelumnya. Seperti suatu perasaan atau keadaan kejiwaan yang begitu mudah, yang hanya terdapat gerak suatu komposisi yang baik-baik saja.
Mengarahkan  konsentrasi kita agar bersikap demikian untuk kebanyakan pendengar memang tidak mudah, sebab lebih mudah melayangkan diri ke arah bayangan-bayangan yang visual. Akhirnya yang menarik mungkin bukan musiknya lgi, melainkan bayangan-bayangan itu. Apalagi kalau mendengarkannya itu di dalam suatu gedung atau tempat  lain yang menyulitkan kontrasi. Apakah itu karena suasana dalam gedungnya ataukah sifat musiknya sendiri yang dihidangkan.
Publik musik pop, musik di restoran-restoran, biasanya mudah di bawa ke bayangan-bayangan visual demikian. Yang mereka nikmati bukan lagi musiknya, melainkan bayangan atau khayalan yang menarik, nisalnya, penyanyi wanita yang genit, yang memberi asosiasi bulan purnama, piknik, berkencan dan sebagainya.
Maka mengertilah kita sekarang, mengapa justru musik-musik demikianlah yang menjadi populer sekali. Cara mendengar publik seperti itu tidak harus berarti nilai artistik musiknya kurang, sebab nilai artistik kadang-kadang kita temukan juga dalam musik pop, termasuk cara menghidangkannya.
Tidak boleh kita lupajakan pula, bahwa bayangan-bayangan yang berada di luar musik kita dapatkan pula dari muik seriosa yang digolongkan ke dalam apa yang dalam bab-bab terdahulu disebut “musik programa”. Malahan di sini justru itulah yang diinginkan oleh komponis-komponisnya, yaitu agar musiknya memberi kesan adanya suasana alam terbuka, sifat beberapa jenis hewan tertentu dan sebagainya. komponis Berloz, Saint Saens, malah juga Beethovwn, pernah menciptakan musik yang termasuk musik programa. Akan tetapi bentuk pernyataan musiknya itu begitu baik dinilai dari sudut artistik, sehingga karya-karyanya, tanpa mengingatkan pada soal-soal yang berada di luatmusik pun, sudah merupakan keindahan tersendiri.
Lain halnya dengan karya-karya yang memberi kesan peperangan, misalnya dengan meniru suara senapan dan meriam dengan alat-alat perkusi seperti terdengar seperti betul-betul suara senapan dan meriam. Karya demikian dianggap komposisi musik, melainkan imitasi belaja,

10. Beberapa Penngaruh Pada Pendengaran Musik Publik
Dalam uraian terdahulu telah disinggung, bahawa ada faktor-faktor yang memberi pengaruh kepada sifat pendengaran publik dalam mendengarkan musik. Ada pengaruh yang datangnya dari luar, ada pula yang dari pendengar itu sendiri. Faktor-faktor di luar diri pendengar yang terpenting adalah tempat musik itu dihidangkan, selanjutnya jenis musik itu sendiri.
Faktor-faktor yang mempunyai pengaruh pada pendengaran dan datang dari pendengar sendiri ialah terutama musikalitas pendengar, kedudukan sosialnya, dan keadaan jiwanya pada waktu mendengarkan.
Bahwa tempat sangat besar pengaruhnya pada pendengaran dapat kita bayangkan, kalu kita misalnya mendengarkan sebuah hidangan musik yang serius di tempat-tempat yang ramai, seperti di pasar malam, di restoran, atau di tempat pesta. Soalnya, pendengar tidak dapat memusatkan perhatiannya pada apa yang dihidangkan.
Tempat yang terbaik untuk mendengarkan musik adalah sebuah gedung yang khusus diperuntukkan guna menghidangkan sajian musik. Gedung seperti itu disebut gedung konser. Segala sesuatu yang berada dalam gedung itu tentunya dibuat atau disusun sesuai dengan syarat-syarat agar dapat mendengarkan musik dengan baik. Bahan-bahan dalam gedung tidak menyebabkan gema suara, akan tetapi juga tidak begitu banyak menyerap suara musik yang disajikan. Yang dimaksudkan dengan bahan-bahan tadi ialh umpamanya gorden-gorden yang tebal, pembungkus kursi-kursi dan lain-lain.letak gedung harus cukup jauh dari lalu lintas yang berisik. Lantai dibuat sedemikian rupa, agar tidak banyak menyebabkan adanya bunyi yang mengganggu. Umpanya dilapisi bahan empuk agar sepatu tidak berisik pada waktu orang berjalan di atas lantai. Kursi-kursi diupayakan agar tidak dapat ditarik ke sana dan kemari, justru sedapat mungkin jangan sampai berbunyi kalau kita bergerak sambil duduk. Udara dalam gedung diupayakan agar tetap segar. Maksudnya, agarpublik tidak keluar-masuk gedung oleh karena udara terlalu panas. Adanya alat pendingin udara baik, asal tidak mengeluarkan bunyi yang mengganggu konsentrasi pendengar-pendengarnya dan merugikan kualitas suara musik yang sedang disajikan.
Orang-orang yang mengunjungi gedung demikian, terpaksa memperhatikan cara-cara serta tingkah lakunya agar tidak mengganggu yang lain. Misalnya, datang beberapa waktu sebelum pertunjukan musik dimulai. Sebab jika datang terlambat, ia harus menunggu sampai sebuah nomor dalam acara selesai dahulu. Keluar-masuk gedung, jika memang betul-betul perlu sekali, harus dicarikan saat yang cocok, agar tidak mengganggu musik yang dihidangkan dan pendengar-pendengar lainya. Saat yang tepat tentunya ialah pada waktu istirahat. Di samping itu sebaiknya menahan diri pula, agar tidak merokok pada satpertunjukan berlangsung. Kebiasaan menghidangkan makanan dan minuman pada saat musik sedang berlangsung harus sama sekali tak dilakukan.
Bukan pula merupakan suatu kebiasaan yang baik, kalau seorang juru potret mengambil suatu konser musik pada waktu permainan sedang berlangsung, selain dari mengganggu konsentrasi para pengunjung oleh gerak-geriknya yang kian kemari, lampu Blitznya pun dapat mengganggu konsentrasi para pemain atau dirigennya. Kalau memang menganggap perlu memotret, bicarakanlah terlebih dahulu dengan manager panggung untuk mendapatkan waktu yang tepat. Biasanya, kalau para pemain musiknya menyetujui, sesudah selesai konser dapat diadakan pemotretan khusus.
Keamanan dalam gedung konserakan menyadarkan para pemain nya, kedatangan publik memang khusus untuk  mendengarkan musik. Pemain akan berusaha bermain dengan sebaik-baiknya. Ketidaktenangan suasana dapat menyebabkan kesalahan pemain musik karena sekecil apa pun akan terdengaroleh publik. Mikropon sebaiknya tidak dipergunakan oleh karena akan membuyarkan konsentrasi: suaraakan menjadi besar dan datang dari berbagai penjutu. Suasana konser yang demikian akan berubah menjadi suasana pesta. Publik tidak akan dapat lagi memusatkan perhatiannya dengan baik. Pembicaraan yang tadinya dilakukan secara berbuisik-bisik antara pendengar satu dan lainnya hanya kadang-kadang saja, akhirnya akan dilakukan dengan keras agar dapat mengimbangi menggelegarnya suara musik yang meraung-raung dari alat-alat pengeras suara. Suasana akibatnya menjadi rusuh samasekali.
Lain halnya, jika permainan band itu diadakan dalam gedung yang sengaja dibangun untuk menghidangkan lagu-lagu populer.  Penggunaan sound system di sini tujuannya memang untuk memberi suasana meriah. pengunjung tidak datang hanya untuk mendengarkan hiburan musik, tetapi untuk menghirup suasana bebas, tidak terikat, sehingga sehingga tidak akan terasa sebagai suatu gangguan yang serius, kalau dia bicara dengan suara biasa, tidak berbisik-bisik, dengan teman pengunjungnya.
Hidangan pentas band sedikit banyak harus juga membawa suasana pesta. Kecuali musik , pendengar pun ingi pula menikmati hal-hal lainnya yang bukan musik, yang menarik hatinya. Di samping itu dia pun ingin tertawa, ingin digerakkan hatinya dengan khayalan-khayalan romantik yang bersifat sambil lalu.
Oleh karena itu, tidak jarang pemilik gedung konser merasa berkeberatan, kalau gedungnya dipergunakan untuk menghidangkan musik yang dianggapnya kurang atau tidak serius. Mungkin karena khawatir sifat artistik yang dibawakan oleh suasana gedung kepada pengunjung-pengunjungnya akan lenyap karenanya.
Memang benar, pengaruh suatu gedung konser yang paling penting pengunjungnya adalah pengaruh artistik. Jenis musik tertentu, meskipun termasuk yang terbaik dilihat dari sudut artistik, dapat juga memberi pengaruh yang negatip pada pendengaran kita, kalau jenis musik itu terlalu sering kita dengar. Lagu-lagu perjuangan misalnya, yang sering pula menyegarkan mental kita kalau dimainkan pada saat yang tepat, pada suatu saat dapat membosankan kita. Kita kadang-kadang menginginkan adanya pergantian suasana, mendengarkan lagu-lagu yang romatis misalnya, untuk mendapatkan kesegaran yang baru. Itulah beberapa faktor di luar diri kita sendiri yang memberi pengaruh pada pendengaran kita ketika diberi hidangan musik. Mengenai pengaruh yang berasal dari faktor dalam diri pendengar sendiri seperti musikalitas, agaknya sudah cukup disinggung dalam uraian-uraian sebelumnya.
Faktor lainnya, yaitu kedudukan sosial pendengar, sedikit banyak menentukan warna kenikmatannya dalam mendengarkan musik. Seorang seniman bukan musikus, biasanya menikmati musik menurut proses penikmatan yang diikutinya dalam jenis seni yang disukainya.
Seorang penari misalnya di dalam mendengar musik akan cenderung untuk membayangkan gerak-gerik badannya sesuai dengan irama dan melodi yang dinikmatinya.
Seorang sastrawan yang mempunyai kebiasaan untuk mengungkapkan secara artistik segala sesuatu dengan kekuatan kata-kata, akan cenderung untuk mencari juga pengertian-pengertian dari susunan nada-nada yang didengarnya, dan begitu seterusnya.
Sama halnya dengan seorang cendekiawa yang di dalam mendengarkan pernyataan sebuah komposisi, cenderung untuk banyak mempergunakan otaknya secara analitis. Keadaan jiwa pendengar pada saat tertentu dapat menyebabkan hatinya tidak terbuka untuk keindahan musik. Umpamanya kalau dia sendiri atau keluarganya sedang ditimpa kesusahan, misalnya kematian. Orang ingin, untuk sementara waktu, menyingkirkan diri dari musik, pada suatu waktu akan lebih senang pada ketenangan untuk beberapa lamanya, meskipun dia itu sebenarnya seorang yang musikal.
Tentunya masih banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi pendengaran manusia di dalam apresiasi musik. Ada faktor-faktor yang menambah kenikmatan, ada yang mengurangi kenikmatan, ada yang mengganti warna kenikmatan dan akhirnya ada pula yang menyebabkan  pen dengar menjadi bosan terhadap musik, dan semuanya itu hanya untuk sementara saja.
Banyak orang menganggap, bahwa kemusikalitasan seseorang ada hubungannya dengan kemampuannya membaca paranada, atau paing sedikitnya membaca titinada do re mi. Bahwasannya anggapan itu tidak benar dapat kita ambil sebagai contoh: seorang pemain piano yang memainkan musik dari tulisan paranada, tapi terbukti tidak memiliki  musikalitas sedikit pun, meskipun kedengarannya seperti ada musik yang betul-betul dimainkan. Kalau kita dengarkan permainan orang itu dengan sungguh-sungguh, maka  akan terasalah oleh kita, bahwa kemurnian nada-nada yang menunjukkan musikalitas tidaknya seorang pemain (karena larasan nada-nada pada piano yang dimainkan biasanya sudah dimurnikan sebelumnya oleh seorang pianotuner), tapi  dalam kualitas nada-nada yang dihasilkan olehnya, dalam mengambil kalimat-kalimat musik secara logis, dalam penggarapan dinamik, dalam penguasaan irama, dalam gerak susunan nada-nada yang dilakukan oleh jari-jarinya, dalam pencurahan ekspresi emosinya, yang dapat ikut kita rasakan dan lain-lain gejala lagi. Kalau hal-hal tersebut tidak tampak dalam permainannya, maka itu berarti bahwa si pianis memainkan pianonya seperti ia mengerjakan sebuah mesin otomat saja.
Sebaliknya, kita pun kadang-kadang berjumpa dengan seorang pemain piano yang permainannya  meyakinkan sekali, tapi kemudian ternyata, bahwa dia tidak dapat membaca nada sama sekali.
Kepandaian membaca paranada memang diperlukan sebagai bekal  untuk mempelajari musik, tapi mempunyai kepandaian tersebut tidak berarti merupakan tanda musikalitas. Sebab kalau benar begitu, kita tidak akan mempunyai orang-orang tunanetra yang musikal.
Begitu pula halnya dengan seorang pendengar yang musikal. Tanpa mengetahui sebuah tulisan nada pun dia mampu meresapkan keindahan-keindahan yang dipancarkan dari suatu bentuk pernyataan musikal yang berisi. Akan tetapi tak dapat disangkal, bahwa ia akan lebih beruntung lagi, kalau dia menguasai pengetahuan tentang tulisan musik. Misalnya, dapat mencoba mengecek perkembangan suatu komposisi yang tertulis secara tenang, sesudah dia mendengarkan bagaimana dihidangkannya.

11. Musik Populer dan Publik
Dalam setiap perkembangan kehidupan musik, selalu ada suatu jenis musik yang kalau tidak dihebohkan, paling sedikitnya dianggap sebagai musik yang mempunyai pengaruh negatip dalam masyarakat. Pada zaman kolonial dulu, ada jenis musik keroncong, musik “swing” dan musik Jazz, yang oleh sebagian masyarakat kita pada waktu itu diterima dengan geleng-geleng kepala.
Pada zaman pendudukan militerisme Jepang di Indonesia, justru gengsi musik keroncong dan sejenisnya, yang dianggap sebagai salah satu bentuk musik Indonesia yang populer, malahan mulai naik. Sebaliknya musik Swing dan Jazz yang datangnya dari Amerika dilarang.
Musik keroncong dan sejenisnya, khususnya dalam ritmik, memberi pengaruh  kepada perkembangan jenis musik lain yang dibubuhi pukulan-pukulan keroncong (beats), yang disebut dengan langgam keroncong.
Kekurangan bentuk-bentuk musik yang beredar dalam masyarakat memberi kesempatan untuk lahirnya dan berkembangnya lagu-lagu seriosa Indonesia (antara lain lagu-lagu Cornel Simanjuntak).
Zaman kemerdekaan indonesia memberi kesempatan yang luas pada mereka yang memiliki daya cipta untuk menyatakannya dalam berbagai macam bentuk musik Indonesia, kebanyakan vokal. Musik keroncong yang sebelumnya dianggap dianggap sebagai musik “buayaa-buaya” keroncong mendapat perlakuan yang lebih baik dari masyarakat musik dengan anggapan, bahwa lagu-lagu keroncong adalah suatu bentuk pernyataan musik Indonesia yang memiliki ciri-ciri kepribadian Indonesia.
Orkestrasi keroncong, yang aslinya hanya dimainkan secara sederhana sekali dengan biola, seruling, gitar, ukulele dan cello untuk “gedugan”, “dinaikkan tingkatnya” dengan diberi orkestrasi secara simponis. Malahan musik keroncong akhirnya termasuk musik vokal yang di RRI dipertandingkan untuk mencapai kejuaraan Bintang Radio.
Di samping itu, kesadaran untuk kembali ke kepribadian sendiri menyebabkan, masyarakat seperti dengan serentak mulai menggali lagu-lagu daerah untuk dipopulerkan, disajikan dengan mempergunakan beat serta gaya vhidangan yang dapat dengan mudah diterima oleh darah muda . . . dan darah tua juga.
Bentuk dan cara menghidangkan musik seperti ini, yaitu dengan beat yang tetap, ternyata sangat popiler di kalangan muda-mudi di seluruh dunia. Tentu di Indonesia pun tidak terkecuali, seakan-akan ingin membuktikan adanya proses pertumbuhan musik sama di kalngan muda-mudi di negara mana pun mereka berada. Yaitu adanya suatu bentuk musik yang ritmiknya mengalir terus-menerus, menggerakkan serta mempercepat peredaran darah kita, yang membuat kita bergembira, melupakan ikatan-ikatan yang kaku, mudah dinyanyikan, yang ingin mencurahkan rasa rindu yang ringan, kesedihan-kesedihan sepintas lalu, cinta yang tak sampai, yang dapat membuka rasa bahagia sejenak, pendeknya perasaan-perasaan yang dialami muda-mudi dalam proses perkembangan jiwanya pada suatu waktu tertentu.
Tidaklah mengherankan, kalau musik demikian, kalau musik demikian, yang pernah disebut musik “beatle-beatle-an”, apalagi dengan adanya kemajuan-kemajuan teknis dalam bidang perekaman musik, masuknya piringan hitam dan pita rekaman-rekaman yang berisi musik pop Barat di Indonesia antara lain “sebagai oleh-oleh orang tua yang mumpung ada kesempatan ke luar negeri bukan atas ongkos sendiri kepada  anak-anaknya di rumah”, sangat merangsang masyarakat  kita, baik yang muda maupun yang tua.
Sebuah band yang alat-alatnya terdiri dari beberapa buah gitar listrik, satu set drum, ditambah dengan alat-alat tiup dan organ, dihiasi dengan sejumlah vokalis, dan sound-system yang biasanya bbbeervolume sebesar mungkin, penuh dikerumuni oleh muda-mudi sampai berjejal-jejal. Inilah gambaran sebuah band pop zaman sekarang.
Sebagian masyarakat mencintainya sampai fanatik, sebagian lagi mengutuknya. Dicintai khususnya oleh karena pernyataannya secara organis dirasakan cocok dengan selera muda dalam proses pertumbuhan. Dikutuk, oleh karena dianggap bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia dan dapat menuju ke arah timbulnya ekses-ekses yang baik, yang dapat merusak alat kita!
Seperti kita ketahui, irama memberi pengaruh motoris-fisik yang bersifat mutlak, yang selanjutnya dapat memberi efek yang bersifat psikologis.Melodi terutama memberi pengaruh pada jiwa seseorang, demikian pula harmoni. Akan tetapi efek pengaruhnya tidak bersifat mutlak.
Sebagaimana kita telah maklum, musik pop, khusunya yang mempunyai irama yang tegang seperti beguine, cha-cha, tango, rock, gamat melayu, dangdut dan sebagainya dengan penggunaan beat  yang tetap, menyebabkan adanya semacam rasa ketegangan yang teratur sekali, tanpa kita menyadarinya dengan baik.
Orang yang mendengarkan musik demikian, bahkan yang hanya mendengar saja pun, dengan tidak sadar sudah menggerak-gerakkan tubuhnya, yang gerak-geraknya mengikuti beat musik yang didengarnya. Denyutan jantung  dan peredaran darah kita secara motoris mengikuti tekanan ketegangan ritmis yang dipancarkan. Serinkali diperkuat dengan perlakuan warna suara yang dihasilkan, yang dapat di-“permainkan” secar elektronis. Pendengar secara fisik tidak dapat mengelakkan pengaruh ini. mau atau tidak.
Melodi hanya memberi suasana tertentu yang sifatnya tidak mutlak. Pendengar yang satu mungkin terharu olehnya, sedangkan pendengar yang lainnya tidak terpengaruh samasekali.
Ketegangan yang ditimbulkan oleh musik yang demikian, ada saatnya tidak tertahankan lagi. Dia perlu disalurkan melalui gerak-gerak fisik yang ritmis pula, misalnya dengan gerakan kaki yang mengikuti tempo musik, dengan melantai berkawan atau melantai sendiri.
Kalau cara seperti itu tidak dilakukan, penyaluran ketegangan dapat mengambil bentuk lain, umpamanya: berteriak. Dalam bentuk yang ekstrim, pendengar dapat mengadakan gerak-gerak yang tidak karuan, bergerak seperti orang keranjingan misalnya. Reaksi seperti ini sebagian besar bergantung dari sifat serta jiwa seseorang atau sesuatu bangsa yang berhadapan dengan sajian musik populer demikian.
Bangsa kita sendiri sebagai publik, pada umumnya hingga sekarang tidak pernah disinyalir memberi reaksi yang ekstrim demikian terhadap musik populer yang didengarkan. Mungkin juga itu disebabkan oleh cara penghidangan pemusik-pemusik kita sendiri yang tidak berada dalam batas-batas sifat permainan yang tidak mengejar ekses.
Musik populer, sebagai pernyataan musik dengan segala unsur-unsurnya yang ada di dalmnya, sebetulnya secara langsung tidak akan menyebabkan adanya anggapan, bahwa pernyataannya bertentangan dengan kepribadian kita dan sebagainya, asal saja disajikan secara artistik dengan hanya mementingkan soal-soal yang musikal saja. sebab, pernyataan-pernyataan demikian, dengan ritme yang tidak kurang memanaskan, dalam musik Indonesia sendiri sebetulnya ada, yaitu dalam gangsaran, misalnya untuk mengiringi tarian kudakepang. Alat-alat perkusi yang dimainkan untuk mengiringi tarian Pakarena di Sulawesi Selatan misalnya, tidak kurang pengaruhnya kepada denyutan jantung kita.
Musik pop Barat itu sendiri pun, di dalam perkembangannya seringkali mengandung unsur-unsur artistik yang baru dan menyegarkan. Musiknya itu sendiri sebetulnya tidak dapat kita salahkan.
Jika demikian, di manakah harus kita cari unsur-unsur yang dianggap publik dapat menimbulkan ekses atau bertentangan dengan kepribadian bangsa?
Jawabnya adalah, justru di dalam unsur-unsur yang terletak di luar musik itu sendirilah, yaitu di dalam unsur-unsur yang non-musikal. Di dalam usaha-usaha pemain yang ingin menarik hati publik pendengar hal-hal yang terletak di luar bidang musik itu sediri. Misalnya di dalam gerak, pakaian serta pernyataan visual lainnya.
Main musik dengan membuat gerakan-gerakan fisik yang secara organis melebihi apa yang disebabkan oleh ritmik musik itu sendiri, terang merupakan suatu usaha yang tidak artistik. Apalagi, kalau gerakan-gerakannya dilakukan oleh vokalis wanita kita yang berkostum seronok, mudah sekali menuju ke penonjolan daya tarik seksnya, yang memberi asosiasi bayangan-bayangan yang sama sekali tidak musikal lagi kepada publik. Keadaan demikian sudah terang menambah ketegangan hati publik, dan ingin menyalurkan rasa tegangnya dengan bertepuk tangan, berteriak-teriak atau bersuit-suit. Kalau terus-menerus demikian, suasana sekitar permainan musik dapat menjadi gaduh.
Berpakaian yang aneh-aneh sebagai pemain musik pop, seperti pakai kacamata besar yang samasekali  tidak perlu, membiarkan rambutnya panjang dan sengaja dibikin kusut dan sebagainya, sebetulnya hanya merupakan mode saja yang diambil dari luar kebiasaan kita sendiri. Kelakuan demikian adalah suatu imitasi saja, yang mungkin merupakan usaha sekeras-kerasnya, agar tidak kelihatan lagi seperti bangsa Indonesia. Segala imitasi pada dasarnya memang tidak asli, jadi jarang mempunyai nilai di dalam rangka mencari unsur-unsur kepribadian sendiri.
Kalau mode berpakaian demikian sampai menjalar ke luar lingkungan band dan sejumlah besar muda-mudi kita ikut menirunya, keadaan demikian sungguh akan memberi kesan yang jauh dari sedap lagi. Suasana demikian, dalam usia muda-mudi tanggung sangat mudah meningkat menjadi suatu perkembangan ke arah adanya mentalitas yang cenderung untuk menyeleweng dari kebiasaan-kebiasaan yang mengikat, adanya keinginan yang sebebas-bebasnya yang berasosiasi dengan sifat membandel, mengerjakan kenakalan-kenakalan yang kelihatan sepintas lalu tidak merugikan apa-apa, akan tetapi yang dapat menuju ke arah timbulnya keadaan sosial yang lebih serius dan lain-lainnya lagi.
Ekses-ekses yang dianggap disebabkan oleh pernyataan musik sebagai musik, ternyata sebenarnya merupakan akibat daripada unsur-unsur yang terletak di luar musik itu sendiri.
Lebih banyak kita mencurahkan perhatian kita ke arah perkembangan musik itu sendiri dan tetap menerima dan menghidangkan musik pop secara artistik, merupakan antara lain, jaminan untuk mengurangi unsur-unsur non musikal yang dapat menimbulkan ekses-ekses negatif.

BAHAN BACAAN:
1.      Broeecks, Jan L. Begrip en Schoonheid van de Muziek.
2.      Coker, Ierry. Improvising Jazz.
3.      Coplan, Aaron. Music and Imagination.
4.      Dorian, Frederic, The History  of Music in Performance.
5.      Dresden, Sem.   Algemene Muziekleer.
6.      Jarret, James L. The Quest for Beauty.
7.      Jean, J.A. Science and Music.
8.      Pepper,S. aesthetic Quality.
9.      Runes and Schricked. Encyclopedia of the Arts.
10. Sachs. Curt. History of Musical Instruments.
11. Szabolcsi, Bence. A History of Melody.


—KSP42—
Rabu, 08 April 2020 – 16.09 WIB
P U S T A K A :
Sumaryo L.E.
Komponis, Pemain Musik dan Publik
Pustaka Jaya – Jakarta 1978