Senin, 06 April 2020

Sumaryo L.E: "KOMPONIS, PEMAIN MUSIK DAN PUBLIK III"

Blog Ki Slamet 42: Atma Kembara
Selasa, 07 April 2020 - 05.47 WIB



1.     Kedudukan Pemain
Yang kita kita maksudkan dengan penyajian musik di sini, ialah kegiatan memainkan musik yang menyebabkan komposi-komposisi yang tertulis itu menjadi kenyataan. Pemain adalah tukang memperkenalkan komponis kepada publik dan sekaligus menjadi jurubicaranya. Dia mempunyai fungsi mengabadikan pesan musikal komponis . padahal komponisnya sendiri kadang-kadang sudah meninggal beberapa aba sebelumnya. Bukan main kedudukan pemain musik dalam dunia kehidupan musik.
Pemain dapat mengharumkan nama komponis dengan permainannya yang artistik. Atau sebaliknya, dia dapat juga mencemarkan nama komponis dengan hidangannya yang tidak artistik dan tidak musikal, dan dengan demikian sekaligus mencemarkan namanya sendiri juga.
Seorang pemain yang baik akan menyadari dengan sungguh-sungguh tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya di dalam berbaga-macam fungsi sebagaimana tersebut di atas tadi. Dengan sendirinya tidak sembarang orang mempunyai minat dan bakat musikal sedemikian besarnya, sehingga mencapai kedudukan pemain atau artis seperti yang dimaksudkan itu.
Pada setiap orang mungkin ada keinginan untuk menjadi pemain, akan tetapi kemauan, ketekunan, kerajinan, bakat serta disposisinya belum mencukupi untuk itu. Sebab, untuk disebut artis yang baik tidak semudah yang digambarkan orang. Risikonya terlalu berat.
Meskipun artis pemain musik yang baik tidak banyak jumlahnya, tapi tidak sedikit pula di antaranya, yang menjadi pemain musik hanya oleh karena mereka mencintai musik, dan bukan sebagai mata pencaharian. Betul bakat serta disposisinya tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi seorang artis yang baik, namun tipe pemain-pemain demikian, sebagai suatu golongan dalam masyarakat, penting pula kedudukannya dalam pertumbuhan musik. Mereka ini biasanya kita sebut pemain amatir.
Suatu masyarakat tanpa pemain amatir dan pencinta musik akan kurang sempurna pertumbuhan musiknya. Kita jangan terlalu lekas meremehkan kedudukan pemain-pemain amatir ini. Karena kadang-kadang ada juga terjadi, bahwa seorang atau dua orang di antara para amatir itu permainan musiknya atau menyanyinya malahan tidak kalah mutunya oleh pemain profesional.

2.     Pendidikan Seorang Calon Artis Musik
Pada waktu kita mendengarkan permainan biola, yang sangat mempesonakan hati kita misalnya, biasanya kita tidak sadar, bahwa nada-nada indah yang keluar dengan mudah dari biolanya itu, adalah hasil suah payah, ketekunan, kerajinan, semangat, bakat, cinta, rasa pengabdian serta mungkin pula hasil studi yang tekun selama bertahun-tahun, disertai dengan idealisme yang besar.
Untuk menjadi seorang artis musik, kita tidak cukup hanya mempunyai minat dan bakat saja. minat dan bakat hanya baru merupakn modal. Modal itu tidak akan berbunga, kalau kita tidak mau mengadakan studi dan melatih keahlian serta ketrampilan teknis kita.
Studi dan latihan ketrampilan teknis ini tidak dapat dilakukan hanya beberapa hari atau beberapa minggu saja, melainkan, basanya bertahun-tahun. Lamanya belajar ini tergantung dari banyak faktor; Pertama-tama,  tentu adanya alat musik yang kita pilih. Kedua, adanya penyesuaian jasmani serta jiwa kita terhadap alat yang kita pilah. Ketiga, penggunaan yang dipakai untuk melatih diri. Keempat, ketekunan studi hingga selesai pada tingkat tertentu.
Alat musik yang kita pilh dengan sendirinya membawa pengaruh pada lamanya studi. Pada umumnya alat-alat musik yang memerlukan banyak latihan jari yang rumit, paling lama pendidikannya, seperti misalnya biola, cello, gitar, piano dan sebagainya. ditambah lagi dengan bahan “literatur musik” yang tersedia yang ada hubungannya dengan alat musik tertentu. Yang dimaksud dengan istilah “literatur musik” di sini, ialah semua bahan cetakan komposisi dan notasi untuk dimainkan dan dipelajari.
Pada umumnya alat-alat musik yang sudah berabad-abad lamanya dipergunakan dan banyak dipergunakan, seperti misalnya piano, biola dan sebagainya, mempunyai persediaan literatur musik yang luas. Biasanya orang bertanya: Berapa lamakah belajar musik? Pertanyaan yang bersifat umum ini tentu tidak begitu mudah dijawab. Sebab belajar muik memang tidak akan ada habis-habisnya. Karena itu biasanya diadakan tingkatan-tingkatan pelajaran. Ada tingkat persiapan, tingkat lanjutan, dan tingkat artis.
Secara normal, seorang calon pemain biola atau piano yang belajar sampai menyelesaikan tingkat tinggi, memerlukan waktu pendidikan paling cepat sepuluh tahunan. Sebaliknya calon pemain musik mulai belajar pada waktu masih muda sekali, umpamanya pada umur 5 atau 6 tahun. Maksudnya agar syarat fisik sudah dapat dipenuhi sejak kecil.
Mulai belajar piano atau biola pada umumur yang agak lanjut tidak memungkinkan urat dan tulang, mudah menyesuaikan diri dengan syarat-syarat permainan alat yang dimaksud, sebab sudah kaku.
Lama pendidikan alat-alat tiup yang terbuat dari kayu, seperti seruling, klarinet, hobo, fagot dan sebagainya tidak memerlukan waktu begitu lama seperti yang diperlukanuntuk biola atau piano misalnya.untuk alat-alat tiup, ltihan yang bersifat fisik sebagai persiapan, tidak memerlukan waktu begitu banyak. Meskipun demikian, untuk mencapai suatu permainan alat tiup kayu tingkat tinggi, orang toh masih memerlukan waktu paling sedikitnya 7 atau 8 tahun pelajaran.
Syarat yang penting pula untuk calon pemain alat tiup, adalah adanya disposisi fisik serta mental untuk memainkan alat tersebut. Pertama-tama tentu tentu syarat fisik seperti keadaan gigi, bibir serta kesehatan paru-paru.
Semudah berlatih beberapa lama, maka kita akan mendapatkan “embouchure” (dari kata bouche (Pr) = mulut) yang diperlukan, yaitu penyesuaian fisik mulut dapat dengan mudah membunyikan alat tiup. Pada waktu latihan-latihan meniup permulaan ini, bibir kita biasanya menjadi bengkak sedikit. Sesudah lebih lama berlatih, bengkaknya baru terasa berkurang, sehingga akhirnya hilang samasekali. Anan tetapi urat-urat dan pertulangan  sekkitar mulut serta pada paru-paru dan sekitarnya telah mengalami penyesuaian dengan keperluan meniup.
Lamanya belajar alat tiup dari logam sedikit kurang daripada lamanya belajar alat-alat tiup dari kayu. Kira-kira satu atau setengah tahun lebih cepat. Ini disebabkan antara lain oleh karena mekanik untuk melatih jari-jari lebih sederhana daripada mekanik alat tiup kayu. Lagipula literatur musik untuk alat tiup dari logam tidak sebanyak literatur musik untuk alat-alat yang disebut sebelumnya. Juga tidak begitu banyak buah musik yang perlu dipelajari yang bersangkutan dengan tingkatan tekniknya. Maksudnya, untuk pelajaran biola umpamanya, lebih banyak buah musik yang “lebih sukar” dilihat dari sudut teknik daripada untuk trompet atau trombon.
Meskipun demikian kita tidak boleh beranggapan, bahwa pemain trompet kedudukannya lebih rendah dari pada pemain biola. Masing-masing pemain, apa pun yang menjadi pegangannya, mempunyai fungsinya sendiri-sendiri dalam kehidupan artistik. Seorang pemain trompet memilih untuk mempeajari alat itu, tidak dengan perhitungan oleh karena alat itu lebih mudah dipelajari daripada alat musik lainnya, tapi oleh karena hatinya tertarik olehnya karena kondisi badannya memang paling sesuai untuk alat musik yang dipilihnya itu. Sebagai seorang solis (pemain tunggal), serang pemain trompet dapat mencapai tingkat penghargaan yang tidak kalah dengan penghargaan yang diberikan terhadap pemain alat-alat musik lainnya.
Ada dua cara untuk belajar musik, khususnya untuk belajar secara privat, yaitu cara belajar pertama adalah belajar pada seorang yang kita anggap sebagai guru. Guru biola, guru piano, guru klarinet, atau guru alat musik lainnya. atau guru vokal untuk melatih suara kita agar menjadi penyanyi kelak. Pada umumnya guru-guru privat hanya memberi pelajaran praktek dengan teori seperlunya. Pelajaran privat pada tingkat permulaan biasanya dilaksanakan untuk memberi pelajaran kepada pemain-pemain amatir.
Cara belajar kedua, adalah masuk sekolah musik. Akademi atau Konservatori musik. Biasanya dalam lembaga-lemabaga seperti ini, calon-calon pemain diberi pelajaran yang sifatnya menyeluruh, yang diperlukan untuk membentuk artis-artis yang kultural dan artistik dapat dipertanggungjawabkan.
Lembaga-lembaga pendidikan musik ini, pada umumnya dimaksudkan untuk mendidik calon-calon profesional. Meskipun demikian, banyak lulusan yang tidak memilih dunia profesional sebagai bidang kehidupannya. Biasanya wanita.

3.     Cara Mendidik Calon Artis Musik
Pada umumnya, orang tidak mempunyai gambaran, bagaimana sebetulnya cara mendidik calon-calon artis musik dalam lembaga-lembaga pendidikan musik. Cara yang dipakai di tiap-tiap lembaga pendidikan musik pada umumnya tidak sama. Tujuan pendidikan musikal antara lain yang terpenting adalah memberi suatu kemampuan kepada calon untuk mengembangkan pendengaran musiknya. Yaitu mendengar dan mengerti apa yang didengar. Kemudian calon harus dapat menempatkan pendengaran mentalnya di dalam arus yang dialaminya dari musik sebagai pernyataan seuatu.
Selanjutnya, lembaga-lembaga memberi pendidikan, baik untuk calon-calon pemain musik, maupun untuk calon-calon komponis dan dirigen. Malahan akhir-akhir ini, dalam beberapa lembaga ada kesempatan untuk memberi pendidikan kepada para pendengar musik, yang tidak ingin menceburkan diri dalam dunia penyajian artistik.
Di mana bisa, pelajaran musik diberikan secara klasikal, yaitu serombongan calon artis sekaligus diberi pelajaran. Akan tetapi di dalam pelajaran-pelajaran yang agak menjurus, mereka diberi pelajaran secara perseorangan.
Mata pelajaran pada umumnya terdiri dari teori musik yang memuat latihan-latihan pula untuk mengenal serta membiasakan diri pada notasi musik yang begitu luas sifatnya. Kemudian mengenai penggunaan serta arti istilah-istilah musik yang biasa dipergunakan dalam praktek, baik sebagai pencipta kelak atau sebagai pemain musik. Pelajaran mengenai notasi dan istilah ini biasanya memakan beberapa tahun.
Calon artis harus membiasakan diri, dengan hanya membaca notasinya dapat menangkap wujud pernyataan musik, yang dalam hati sudah harus dapat berbunyi. Dengan hanya melihat saja, para calon harus sudah dapat mendengar tinggi nada-nada yang ditulis dalam kesadarannya. Pendidikan untuk mendengar dari kesan-kesan visual ini disebut “solfeggio” . lama pelajaran ini hampir tidak ada akhirnya. Para calon selanjutnya dilatih kesadarannya mengenai irama, melodi, harmoni, bentuk-bentuk pernyataan serta gaya musik.
Pengetahuan tentang sejarah musik serta ilmu jiwa musik, khususnya tentang filsafat musik yang ditimbulkan menjadi latar belakang yang penting di dalam pendidikan kulturalnya. Pendidikan tersebut untuk mendasari latihan teknis alat musiknya sebagai alat pernyataan kultur musik yang telah lampau dan sekaligus merupakan alat pernyataan artistik pemainnya.
Selain daripada latihan-latihan alat musik yang dipilihnya (disebut mata pelajaran mayor), para calon diwajibkan pula mengikuti pelajaran apa yang biasa disebut “piano kontemporer”. Pelajaran piano seperti ini dimaksudkan untuk melengkapi pendidikan alat musik lain yang dipilihnya. “Piano komplementer” tidak memberi syarat untuk menjadi syarat menjadi artis piano.
Untuk menempatkan permainan alat musik pilihannya, misalnya biola, sebagai pembawa melodi dalam rangka harmoni harmoni yang dimaksudkan, diperlukan pernyataan keseluruhan dari suatu komposisi lengkap dengan suara harmoni yang mengikutinya. Untuk keperluan itu, calon pemain biola perlu mencoba komposisinya pada piano, yang sekaligus dapat menyuarakan melodi, irama dan harmoni komposisi.
Dengan sendirinya, calon yang memilih piano sebagai alat musik pokok, tidak perlu lagi mendapat pelajaran piano komplementer. Ada kalanya calon artis piano memilih alat lain juga di samping piano sebagai mata pelajaran mayor. Dan pelajaran alat musik kedua ini disebut mata pelajaran minor (minor = kecil, mayor = besar). Alat pilihan kedua itu tentunya bukan terdiri dari alat-alat seperti biola atau cello, yang memerlukan teknik yang lama dan mendalam.
Tentu saja dia mempelajari alat kedua tadi paling sedikitnya harus dengan persetujuan guru pianonya. Kesempatan itu hanya dipertimbangkan untuk dirikan kepada mereka yang biasanya mempunyai bakat untuk mempelajari alat kedua pilihannya secara baik dan cepat. Yang dipilih biasanya alat tiup seperti hobo, korno, fagot. Jelasnya adalah alat-alat musik yang jarang dipilih calon sebagai alat pokok. Karena itu, tidakllah mengherankan kalau pemain hobo, fagot, korno dan lain-lainalat ini dalam masyarakat jarang ditemukan, karena alat-alat tersebut dianggap tidak begitu banyak diminta, dianggap kurang komersial. Sebaliknya dalam sebuah orkes simponi atau orkes tiup yang menghidangkan apayang disebut “musik kamar” yaitu musik untuk ansambel  (rombongan orkes kecil yang biasanya dimainkan dalam kamar yang tidak begitu besar seperti ruangan konser untuk orkes simponi), alat-alat musik tadi malahan seringkali mutlak diperlukan. Oleh karena itu, tidak jarang pemain hobo atau timpani dan alat-alat perkusi lainnya mendapat honorarium yang agak tinggi karena jarangnya.
Pelajar main alat musik mempergunakan hampir seluruh waktunya yang terluang untuk melatih diri. Tidak jarang diperlukan 4 jam atau lebih sehari untuk berlatih di rumah. Segalanya itu agar dapat mengakhiri pelajarannya dalam jangka waktu yang telah direncanakan.
Dengan mencurahkan banyak tenaga untuk latihan-latihan musik, orang ingin mengetahui, bagaimana pendidikan musik yang bertingkat tinggi dihubungkan dengan pelajaran umum yang harus diakhiri dengan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).
Beginilah cara yang lazim dipraktekkan di beberapa negara yang sudah mempunyai pengalaman lama dalam pendidikan musikal. Di samping sekolah umum seperti tingkat Skolah Dasar dan lanjutannya, diadakan sekolah musik pada waktu sore, yang menerima murid-murid yang berbakat dan berminat musik dari sekolah umum tadi. Murid-murid belajar pada waktu pagi di sekolah umum dan pada sore harinya di sekolah musik. Pendidikan musik dalam sekolah-sekolah musik sore itu dilakukan sedemikian rupa, sehingga tidak banyak mengurangi waktu anak didik dalam mendapatkan pendidikan umum.
Selesai Sekolah Lanjuta Atas, calon musikus itu kira-kira sudah mempunyai kepandaian praktek serta teori sedemikian rupasehingga dapat meneruskan bakatnya pada Akademi Musik atau Konservatori Musik. Memang, pendidikan calon artis mussik sebaiknya dimulai dari usia muda; kecuali pendidikan vokal, yang dimulai kalau anak sudah berumur 17 tahun ke atas. Dalam hubungan ini perlu dijelaskan, bahwa apa yang kita pelajarkan di sekolah-sekolah umum bukanlah pendidikan vokal, melainkan peljaran bernyanyi.
Dalam peljaran menyanyi anak hanya dididik untuk dapat menyanyikan sejumlah lagu. Sedangkan dalam pendidikan vokal yang sungguh-sungguh diperlukan banyak latihan untuk membentuk suara, sehingga secara teknis dapat dipergunakan untuk menyajikan lagu-lagu yang “sukar”. pendidikan vokal untuk anak-anak di bawah umur dianggap belum waktunya. Suara anak di dalam perkembangannya hingga pada ambang pintu kedewasaan masih berganti-ganti  register suaranya.
Demikianlah secara singkat sekali suatu ikhtisar mengenai pendidikan musik. Memang dalam pendidikan musik, yang dapat membosankan adalah latihan-latihannya yang dijalankan secara metodologis, kebanyakan latihan-latihan yang bersifat teknis. Latihan jari-jari, latihan memainkan suatu bentuk melodi yang termasuk sukar. Latihan-latihan demikian tentu lain sifatnya dengan melatih sebuah lagu misalnya. Latihan lagu pasti lebih menyenangkan, oleh karena dengan langsung  menghasilkan sesuatu yang memang dimaksudkan.
Alangkah senangnya seseorang yang dalam waktu yang tidak begitu lama sudah dapat memainkan lagu yang sudah dapat dinikmati, persis seperti seorang artis saja. teman-temannya dapat dibuat kagum karenanya. Dan tetangganya di kiri dan kan rumah mungkin sudah pula ikut menikmati permainannya, permainan seorang “musikus”. Si pemain musik sudah besar hatinya, kalau teman-teman dan tetangga-tetangganya menyebutnya “seniman” atau “artis”. Keadaan seperti ini tidak jarang disalahgunakan oleh sementara guru musik yang ingin perguruannya cepat menjadi laku.
Guru-guru musik sepertiini banyak membiarkan  murid-muridnya berlatih sebanyak mungkin lagu. Latihan-latihan untuk menambah ketrampilan teknis sedikit sekali dikerjakan. Karena murid-muridnya  memang lebih senang berlatih senang berlatih secara demikian.
Makin lama, si murid makin lebih banyak dapat memainkan lagu daripada meningkat ke arah penguasaan lagu-lagu yang lebih tinggi tingkat tekniknya. Perkembangan murid-muridnya lebih bersifat kwantitatip daripada bersifat kwalitatip. Akan tetapi tidak dapat disangkal, bahwa cara demikian – sekali-kali – memang lebih laris dijual.
Pada waktu kita mendidik calon artis, kadang-kadang ada juga terjadi, bahwa di antara calon-calon artis yang diberi pendidikan musiknya secara normal, satu atau dua anak mempunyai kepandaian yang menakjubkan, anak-anak ajaib. Pada waktu umur 5 atau 6 tahun mereka sudah luar biasa trampil memainkan alat musik. Anak-anak luar biasa ini ini tentu saja termasuk kekecualian. Dan biasanya timbul dalam bidang musik, senirupa atau ilmu pasti. Keluarbiasaannya itu pada umumnya lebih menampakkan dirinya dalam bidang teknis.
Calon-calon artis yang sudah lanjut pendidikannya, diberi pelajaran mengenai akutiska musikal (hukum-hukum mengenai nada-nada musikal, keterangan secara sistematis mengenai terjadinya berbagai macam tangganada, mengenai gejala oktaf dan sebagainya), ilmu jiwa, tentunya juga yang ada hubungannya dengan musik, estetika musikal, yaitu teori-teori serta norma-norma mengenai keindahan dalam musik, dan beberapa lagi lainnya sesuai rencana lembaga pendidikan masing-masing.
Juga menjadi suatu kebiasaan, bahwa kepada calon-calon artis yang mengakhiri pendidikannya dengan baik sekali, diberikan kesempatan untuk meneruskan pelajarannya di bawah asuhan artis-artis yang ternama dan  berpengalaman. Tingkat pendidikan itu biasanya disebut kelas artis, yang hanya menerima beberapa calon pilihan saja. mereka diberi tambahan pelajaran untuk mematangkan kepandaiannya, khususnya digodog untuk menjadi calon solis (pemain tunggal). Dengan sendirinya, seorang solis haruss memenuhi syarat-syarat yang ebih berat daripadaa seorang pemain orkes atau seorang guru musik biasa.

4.     Sekilas Mengenai Kehidupan Seorang Musikus
Calon musikus sudah meninggalkan bangku sekolahnya. Dia sudah boleh dinamakan seorang musikus ( bukan musisi, yang mempunyai arti jamak ). Seorang musikus selamanya tidak akan merasa, bahwa dia telah mengakhiri pendidikannya. Belajar dan terus belajar, berlatih terus, merupakan rencana dalam kehidupannya sebagai artis musik. Orang kadang-kadang menyebutnya “seniman musik” , malahan”pemain musik” saja. Istilah-istilah ini dalam kesadaran masyarakat kita mempunyai tingkat atau standingnya sendiri-sendiri.
“Artis” dan “musikus” dihubungkan dengan mereka yang dianggap memenuhi syarat-syrat artistik, seperti seorang pemain biola tunggal atau piano tunggal misalnya, dengan publik yang mendengarkan. Istilah “pemain musik” adalah sebutan umum, dan dihubungkan dengan mereka yang biasa main dalam orkes. Kadang-kadang istilah-istilah itu dipakai begitu saja, tanpa membedakan satu sama  lain. Seorang musikus dilepaskan dalam masyarakat. Dalam permulaan kariernya, basanya dia ingin mengadakan tour dengan menghidangkan resital ( yaitu penyajian musik secara solistis ) untuk suatu publik yang membayar.

5.     Impresariat
Untuk keperluan itu, dia mencari seorang impresario atau sponsor. Yaitu suatu badan atau orang yang mengurus, mengatur serta membiayai segala ongkos untuk tour itu. Hubungan dengan impresario ini dilakukan dengan kontrak. Dalam kontrak  itu oleh kedua pihak disetujui, bahwa nanti pada tanggal sekian, pihak artis akan menghidangkan suatu acara resital untuk publik di tempat-tempat atau gedung-gedung yang telah ditentukan.
Sebaliknya di situ disetujui pula, impresario akan membayar sejumlah honorarium kepada sang artis. Kalau artis musik itu sorang pianis, dia akan mengadakan resitalnya seorang diri. Kalau dia seorang pemain biola, dia akan mencari seorang pianis yang cocok untuk mengirinya.
Seorang impresario dengan sendirinya harus memperhitungkan sebelumnya, apakah dengan menghidangkan artis itu di depan publik, usahanya akan membawa keuntungan atau tidak. Atau sedikitnya tidak rugi, atau tidak rugi terlalu banyak. Kadang-kadang impresario sanggup juga menderita sedikit, asal dengan dihidangkannya sesuatu resital itu akan berarti terpenuhinya harapan sebagian besar pencinta musik dalam masyarakat. Rugi materiil, akan tetapi untung nama dan prestise.  Ini juga dapat terjadi. Dengan cara itu dia mengharapkan tumbuhnya kepercayaan publik pada segala yang akan dihidangkannya di hari-hari yang akan datang.

6.     Acara Resital
Acara hidangan atau program ini seringkali penting kedudukannya di dalam memberi penilaian, sampai di manakah kemampuan seorang solis dalam menghadapi publik. Publik yang musikal, sebelum mengunjungi suatu resital, tentu ingin mengetahui buah-buah musik apa saja yang akan dihidangkan. Dengan membaca programnya saja sepintas lalu, orang akan sudah dapat menduga, apakah resital itu akan menarik atau tidak. Di dalam menyusun suatu progranma, pemain biasanya mengerjakan isi acaranya itu sedemikian rupa, agar publik dapat menilai kemampuan dan citarasa musiknya.
Pada umumnya, dalam programa pemain diberi waktu kira-kira sepuluh menit seperempat jam untuk mengaso. Buah-buah musik yang berat biasanyadtempatkan sebelum waktu istirahat, sedangkan nomor-nomor sesudah istirahat diisi dengan musik yang sifatnya tidak begitu berat. Titikberatnya lebih diberikan kepada nomor-nomor yang secara teknisyang secara teknis menarik.virtuositas dapat diperlihatkan sesudah waktu istirahat.
Sudah menjadi kebiasaan, bahwa publik minta tambahan hidangan sesudah nomor dalam acara dimainkan. Minta “encore”. ( baca: “angkor”, dari bahasa Perancis yang berarti “lagi” ). Biasanya, ada juga yang berteriak: “bis, bis, bis!” maksudnya minta diulangi. Membacanya bukan seperti kita meanggil bis angkutan penumpang, melainkan, “biis, biis, biis”.
Maka dari itu, selain nomor-nomor yang tercantum dalam programa, seorang solis harus pula menyediakan beberapa buah nomor lagi, cukup yang pendek saja, akan tetapi yang mempesonakan agar memenuhi harapan publik akan “encore”. Biasanya lagu-lagu tambahan penuh dengan permainan-permainan dengan teknik yang sukar. Akan tetapi oleh solis harus dapat dikerjakan seperti mudah sekali memainkannya.
Di sinilah biasanya letak daya tarik untuk publik. Sedikit “show” (pamer!) tidak akan mengurangi mutu permainan. Jangan dilupakan, bahwa solis harus menghidangkan semua nomor itu “di luar kepala”. Tidak boleh membaca. Hanya pengiringnya saja, yang memainkan piano, boleh membaca dari buku.

7.     Permainan Solistis Dalam Orkes
Adakalanya permainan solistis diperlukan dalam suatu orkes. Umpamanya permainan dalam orkes yang disebut “orkes kamar”. Atau dalam memainkan ssebuah konserto, yaitu buah musik untuk seorang solis yang diiringi sebuah orkes simponi. Dengan sendirinya, seorang solis harus memenuhi syarat-syarat teknis serta musikal yang lebih berat daripada seorang pemain biasa dalam orkes simponi.
Bagian yang dimainkan solis disusun oleh komponis sedemikian rupa, sehingga bagian itu seakan-akan merupakan suatu jalan yang jelas kelihatan menerobos suatu hutan yang lebat. Permainan solis dapat diumpamakan jalan itu. Hutannya adalah permainan orkes simponi yang mengiringinya dalam sebuah konserto.
Perhatian publik khuusnya tentu ditujukan ke arah permainan solis. Memang solislah yang dalam sebuah konserto dikemukakan. Dengan sendirinya hanya permain-permain nomor wahid sajalah yang dapat memegang peranan sebagai solis. Sedikit saja permainan solis kurang cermat, kekurangcermatannya itu akan mudah terdengar. Padahal, publik tidak begitu terganggu pendengarannya, kalau misalnya  salah seorang dari antara begitu banyak pemain biola dalam sebuah orkes imponi melakukan kesalahan sedikit. Hal ini tentu tidak berlaku untuk pemain hobo, seruling atau korno. Di dalam suatu orkes simponi, seorang pemain hobo atau seruling atau korno, kalau membuat kesalahan, lebih mudah diketahui. Oleh karena warna suara alat-alat tersebut memang agak mandiri. Yang paling baik tentunya, pemain hendaknya jangan membuat kesalahan samasekali. Maka dari itu, berlatih terus-menerus diperlukan, sehingga nantinya takan membuat kesalahan sedikit pun.
Pemain-pemain untuk musik kamar, yang terdiri dari ansambel kecil, seperti kwartet gesek, piano-trio dan sebagainya, masing-masing perlu merupakan pemain-pemain yang slistis pula. Sebab meskipun main dalam hubungan orkes, permainannya satu per satu kedengaran jelas.
Sebuah orkes simponi, yang dimainkan dengan puluhan pemain musik, memerlukan seorang dirigen, yang berfungsi sebagai jurubicara komponis yang ciptaannya sedang dimainkan oleh orkes simponi itu. Sebaliknya musik kamar tidak memerlukan dirigen seperti itu. Pimpinan permainan biasanya diletakkan pada pundak pemain biola pertama, kalau ada dimainkan biola. Ini tidak selalu demikian. Dari sejumlah pemain musik kamar, biasanya yang tertua dan yang paling berpengalamanlah yang ditunnjuk sebagai pemimpinnya, atau pemain yang dianggap paling pintar.
Di dalam sebuah orkes simponi pun, biasanya pemain biola pertama yang paling berpengalaman dan paling berpengalaman dan paling baiklah yang menjadi apa yang disebut consert-master, pengetua konser. Tempat duduknya, dalam orkes, selalu dekat dengan tempat dirigen berdiri. Di sebelah kiri dirigen kalau orkes sedang bermain.
Consert-masterlah yang bertugas menjaga adanya kesatuan dan tata-tertib di antara anggota-anggota orkes. Dia adalah orang kedua sesudah dirigen. Dia punserinkali mengatur latihan sehari-hari, yang membagi para pemain dalam seksi-seksi. Ada seksi tiup, seksi gesek dan lain-lain, yang berlatih sendiri-sendiri. Kalau semua seksi sudah merasa menguasai apa yang kan dihidangkan, biasanya barulah semuanya berlatih di bawah  dirigen. Consert-master, praktis adalah juga penghubung antara anggota-anggota dan dirigen.
Sesudah mengadakan hidangan konser, dirigen mengucapkan selamat kepada concert-master dengan berjabatan tangan. Dan concert-master sebaliknya, memberi ucapan selamat kepada dirigen. Ini termasuk suatu kode etik dalam dunia kehidupan musik. Juga untuk publik kelihatannya bagus sekali. Ditambah lafi dengan kebiasaan dirigen untuk dengan isyarat tangan menunjuk kepada pemain orkes, kalau ada tepuk tangan. Seperti mau menjelaskan, bahwa tepuk tangan ini seharusnya ditujukan kepada para pemain! Segala sesuatunya memberi kesan adanya suatu kerjasama yang erat antara semua artis menurut fungsinya masing-masing dalam orkes.
Publik yang menyaksikan peristiwa itu, tak mengetahui prestasi concert-master karena tidak pula kedengaran atau kelihatan, lain halnya misalnya denganfungsi seorang solis dalam suatu konserto yang diiringi oleh orkes simponi.
Sesudah publik bertepuk tangan menandakan kepuasannya terhadap permainan solis, jabatan tangan antara dirigen dan solis terjadi pula. Akan tetapi berlainan antara berjabatan tangan antara dirigen dan concert-master; prestasi solis dapat didengar, sedangkan prestasi concert-master, hanya dirigenlah yang mengetahuinya.
Siapa di sini sebetulnya yang mendapat tepuk tangan? Dirigenkah atau soliskah? Sebetulnya kedua-duanya. Dirigen karena mengusahakan adanya perpaduan permainan antara orkes dan solis. Dan solis karena prestasinya prestasinya sendiri. Seorang solis yang baik dan tahu diri tentu akan menganggap dirinya sebagai seorang yang harus dihormatinya.

8.     Hubungan Pemain Misik  dan Komposisi
Bahan untuk pemain musik dalam latihan atau hidangan publik adalah buah ciptaan komponis atau juga buah ciptaannya sendiri, kalau pemain itu sendiri juga komponis. Akan tetapi yang tersebut belakangan ini jarang ada. Karena itu, kebanyakan pemain menghidangkan ciptaan orang lain. Di manakah letak perbedaan antara pemain A dan pemain B, seandainya kedua-duanya harus memainkan buah ciptaan yang sama? Justru di sinilah ketinggian mutu seorang pemain harus kita cari. Sekarang mari kita tinjau komposisi yang tertulis tadi.
Komposisi tertulis terdiri dari catatan nada-nada yang disebut titinada. Komponis dapat menulis titinada menurut tinggi nada masing-masing. Tinggi tiap-tiap nada yang dicatat oleh komponis oleh pemain tidak boleh ditawar-tawar. Kalau komponis mencatata titinada yang tingginadanya berturut-turut c, e, g, pemain tidak boleh memainkan titinada lain selain daripada c-e-g  itu juga.
Memang tinggi nada adalah suatu sifat yang penting, kalau tidak yang terpenting, dari suatu nada musikal. Mengapa kita harus menyebutnya nada musikal? Oleh karena tidak semua nada yang terdengar oleh telinga kita dipakai untuk nada dalam musik. Menurut “ilmu akutiska” musikal, yaitu suatu cabang ilmu yang menyelidiki soal nada musikal, yaitu suatu cabang ilmu yang menyelidiki soal nada musikal, suara yang terdengar oleh telinga manusia adalah suara yang mempunyai getaran sebanyak 16 sampai 16.000 kali per getik. Atau suara yang mempunyai  frekuensi antara 16 dan 16.000. yang dipakai untuk keperluan musik berkisar di antara  nada-nada dengan frekuensi 32 dan 4000. Di luar jelajahan suara itu, nada-nadanya sudah tidak dapat lagi dinikmati sebagai nada musikal.
Nada musikal, selain mempunyai ketinggian tertentu, masih memiliki tiga sifat lagi dalam musik. Yaitu, lamanya nada berlangsung berlangsung, kekerasannya dan warnanya. Jadi, keempat sifat nada musikal;
1.      Tingginya,
2.      Lamanya berlangsung,
3.      Kekerasannya, dan
4.      Warnanya.
Sifat-sifat ini dapat ditulis oleh komponis.


Metronome
Tinggi nada, oleh komponis dapat ditetapkan secara tepat. Juga untuk lamanya nada-nada berlangsung ada tanda-tandanya, yang memberi isyarat lamanya berlangsung di dalam hubungannya dengan nada-nada lain. Lagipula dia dapat memberi tanda di atas komposisinya, umpamanya M.M. ᖱ = 40. Artinya, bahwa lama berlangsungnya nada dengan nilai (ᖱ) adalah 1/40 menit. M.M. adalah singkatan dari Maelzel’s Metronome. Maelzel ialah nama orang yang menemukan alat pengukur tempo yang disebut Metronome.
Akan tetapi, seorang pemain musik akan menjadi sebuah otomat belaka, kalau di dalam memainkan sebuah komposisi dia harus mengikuti tempo menurut menurut metronome setepat mungkin. Dan itu tentu saja bukan maksud si sang komponis. Komponis hanya memberi isyarat, agar kompoosisinya jangan dimainkan terlampau cepat atau terlampaulambat. Jadi si pemain musik sebetulnya tidak begitu terikat pada tempo yang diisyratkan oleh si komponis.
Komponis juga dapat memberi tanda lain untuk tempo. Yaitu dengan mempergunakan istilah-istilah yang sudah lazim, seperti:  Presto (cepat ), moderato ( sedang ), lento ( sedang ), dan lain-lain lagi, yang dapat pembaca temukan sendiri dalam buku-buku teori musik. Belakangan ini banyak komposisi yang diberi tanda tempo dalam bahsa komponis sendiri. Kalau kita yang menjadi komponisnya, ya kita pergunakan petunjuk-petunjuk seperti: cepat, cepat sekali, lambat sekali, dan sebagainya. beberapa cepat dan berapa lambat, itu terserah pada pemain.
Memang betul dalam dunia musik diatonis ada kebiasaan, bahwa istilah-istilah untuk tempo itu mempunyai kecepatan tempo yang sudah ditentukan. Meskipun demikian, sekali lagi, segala sesuatu tentu tidak boleh mengikat pemain secara mutlak.
Selanjutnya, ada juga tanda-tanda yang dipergunakan komponis untuk menetapkan kekuatan nada. Yaitu nada keras, keras sekali, lemah, lemah sekali, bertambah kekerasannya, berkurang kekerasannya dan seterusnya. Tanda-tanda untuk mengisyaratkan kekuatan nada-nada ini disebut disebut tanda-tanda dinamik, misalnya: piano = lemah, pianisimo = lemah sekali, forto = kuat, fortissmo= kuat sekali, crescendo = makin lama makin kuat, descescendo = makin lama makin melemah, dan masih beberapa lagi. Akan tetapi berapa persis kuatnya nada yang harus dimainkan, tidaklah dapat ditulis dengan tepat. Keras atau tidaknya, dan berapa lemahnya, itu semua terserah pada citarasa si pemain sendiri.
Mengenai warna  nada yang dimaksud oleh komponis, ini oleh pemain sedapat mungkin harus dikuti secara mutlak, agar mendekati aspirasi komponisnya. Kalau sebuah melodi ditetapkan untuk dimainkan dengan biola dan korno, itu sudah jelas demikian maksud komposisinya.
Dari uraian tadi ternyata, bahwa dalam tulisan musik hasil ciptaan seorang komponis, dalam komposisinya ada unsur-unsur yang harus mutlak diikuti oleh pemain, dan ada pula unsur-unsur lain yang tidak dapat dengan tepat betul ditulis oleh komponis. Mengenai unsur-unsur belakangan ini, citarasa pemain yang menetapkan sampai seberapa-jauhkah isyarat-isyarat komponis itu disuarakan.
Unsur-unsur yang tidak dapat ditawar-tawar lagi di dalam menyuarakan tulisan sesuatu ciptaan musik, disebut unsur-unsur yang konstuktip atau unsur-unsur yang mutlak. Unur-unsur lain yang memberi kebebasan terbatas epada si pemain di dalam menyuarakannya, dinamakan unsur-unsur dekoratip.
Seorang pemain terikat secara mutlak pada unsur-unsur yang konstruktip dalam komposisi, sedangkan unsur-unsur yang bersifat dekoratip memberikan kepada pemain kesempatan untuk sedikit banyak menyatakan sedikt banyak menyatakan citarasa musiknya sendiri. Justru di dalam kebebasan yang diberikan kepada seorang pemain dalam menghidangkan suatu komposisi itulah terletak sebagian besar nilai artistik permainannya.
Pemain tidak menghidangkan suatu komposisipersis sebagaimana tertulis seperti mesin, sehingga permainannya lebih merupakan rentetan nada yang mengisi ketengan udara belaka. Sebagaimana kita seringkali dalam suatu keluarga diberi pameran “bagaimana si kecil Anu itu baru belajar berapa bulan saja sudah bisa bermain piano!” oleh nyonya rumah yang kita dengarkan itu tentunya tidak lebih daripada beberapa nada yang tertulis dalam buku musik yang dibunyikan berturut-turut , sehingga dalam pendengaran kita, buah musik komponis yang dimainkannya hanya merupakan jumlah nada-nada belaka. Padahal maksud seorang komponis dengan ciptaannya, ialah ia ingin menyatakan bahwa komposisinya itu lebih dripada nada-nadanya saja.
Adalah tugas pemain untuk memperdengarkan kelebihan ini. kelebihan ini dapat dihidangkan dengan kwalitas nada yang hidup, dengan perlakuan suatu rentetan nada menjadi suatu kalimat yang berarti, yang berkesan dan dengan cara-cara lain lagi yang tidak ternilai banyaknya.
Bagaimanakah sikap kepribadian musikal pemain yang dihadapkan pada kepribadian komponis, kalau ciptaannya dimainkan?apakah seorang pemain harus melepaskan kepribadiannya sendiri di dalam menghadapi kepribadian komponis?
Tentu tidak perlu demikian, sebab kalau betul demikian, nanti suatu komposisi oleh semua pemain penghidangannya diarahkan agar satu sama lain sama. Di dalam mengetengahkan kepribadian sendiri, pemain sudah dibatasi permainannya dengan syarat-syarat mutlak seperti yang diterangkan tadi.
Di dalam mempelajari suatu komposisi untuk latihan, pemain mencoba mengetahui ide komponis melalui tulisan musiknya. Tulisan musik tidak cukup sempurna untuk dapat menuliskan semua yang ingin dinyatakan oleh komponis. Pemain harus mencoba menemukan, apakah yang menggerakkan si komponis menulis komposisinya sebagaimana tertulis di depan matanya. Mencoba meraba ke suasana artistik yang menggerakkan komponis membuat ciptaannya.
Dengan cara demikian pemain mencoba mengetahui peristiwa berlangsungnya kekuatan-kekuatan yang telah menggerakkan komponis untuk mencipta musik demikian. Kalau ini udah dapat didekati, dengan rasa gembira pemain akan mulai dengan latihan-latihannya dengan harapan, bahwa publik akan menghargai ”penciptaan kembali”sesuatu komponis, di mana pemain menjadi perantaranya, malahan jurubicaranya. Demikianlah cara kerja pemain dalam menghadapi ciptaan-ciptaan yang padat berisi.
Kalau pemain yang satu mendapatkan semangat kerjanya dengan mencoba mengetahui motip-motip yang terpendam dalam suatu ciptaan, maka pemain yang lain mungkin akan cenderung ke arah menguasai kesulitan-kesulitan teknis ciptaan, yang diharapkan nanti akan mempesonakan publik. Ini pun bisa merupakan  kegembiraan kerja pada pemain-pemain tertentu. Dan berlatihlah ia terus-menerus dengan semangat.
Orang kebanyakan tidak menyadari, bahwa latihan merupakan suatu usaha yang vital untuk menjaga, agar kita terus-menerus berada “dalam kondisi”. Seorang instrumentalis atau vkali tidak pernah dapat meninggalkan kebiasaan berlatih ini untuk waktu yang agak lama. Oleh karena
 itu, seorang instrumentalis tidak dapat beristirahat agak lama ke tempat lain misalnya, tanpa membawa alat musiknya, supaya dapat berlatih terus.
Seorang pemain klarinet yang tidak berlatih kira-kira sepuluh hari lamanya misalnya, sudah akan merasa terbelakang, kalau dia mulai dengan latihan-latihannya kembali. Berlatih itu tidak berarti, bahwa dia hanya berlatih memainkan ciptaan-ciptaan yang disenanginya saja. latihan-latihannya “Etuden”, artinya buah-buah musik khusus untuk latihan. Kesukaran-kesukaran teknis dalam menyanyi atau meainkan alat tidak boleh menjadi halangan bagi pemain bagi pengisian emosi serta aspirasi musikal dalam hidangan-hidangannya.
Sampai sejauh ini uraian kita seakan-akan hanya terfokus dengan sosok pemain yang mendapatkan sukses saja, yang perkembangan kehidupan musiknya berlangsung secara lancar. Padahal jauh lebih banyak jumlahnya yang tidak bahagia pemain-pemain yang digambarkan di atas tadi.

9.     Suka Duka Seorang Pemain
Seorang pemain musik mendapatkan mendapatkan kebahagiaan dalam suatu masyarakat , kalau masyarakat itu sendiri memberinya kesempatan atau kelonggaran bekerja. Kota yang dilihat dari sudut perkembangan kebudayaan dianggap penting, biasanya mempunyai suatu tempat masyarakat berkumpul untuk mengadakan kegiatan kebudayaan. Umpamanya tempat untuk mengadakan kegiatan-kegiatan tari, drama, rupa dan musik. Biasanya untuk mengadakan konser, ada dibuatnya gedung tersendiri, yang pembuatannya serta pemeliraannya diselenggarakan oleh pemerintah daerah setempat.
Agar perkembangan kebudayaan tetap menarik perhatian masyarakat, tiap-tiap pemerintah daerah biasanya memberi bantuan keuangan atau lain-lain yang  berupa materi, sebagian atau seluruhnya, kepada orkes simponi di daerahnya kelangsungan hidupnya tidak terganggu.
Pada umumnya, tidak ada suatu orkes simponi, sebagai suatu lembaga pembawa kebudayaan, dapat hidup dengan ongkos sendiri. Yaitu dari keuntungan-keuntungan finansial yang didapatkan dari uang masuk minus ongkos-ongkos untuk menghidupi orkes. Ongkos pemeliharaan gedung, mebiler, alat-alat musik, hnorarium artis-artisnya terlalu banyak.
Meskipun demikian, adanya sebuah orkes simponi yang besar menandakan adanya kesadaran yang besar pula dari pemerintah daerah serta penduduknya akan perlunya suatu kehidupan kebudayaan lewat musik sebagai suatu faktor stabilisasi peradaban bangsa. Manusia beradab akan tergores hati kebudayaannya , kalau dia dapat menyaksikan begitu banyak artis-artis berkumpul, bekerja keras untuk bersama-sama membawakan suatu karya seniman kreatip. Publik yang cinta musik akan terharu oleh karena. Masyarakat yang menyaksikannya akan melihat hari depannya dengan lebih banyak kepercayaan akan sifat-sifat baik manusia.
Kalau ada kehidupan musik demikian dalam masyarakat, manusia-manusia yang berbakat dan yang dianugerahi dengan kepandaian (talent) akan dapat mengisi kehidupan musik itu dengan tenaganya. Lulusan-lulusan lembaga pendidikan musik akan lebih banyak mendapat motivasi untuk bekerja keras. Sebab sudah kelihatan ke depan akan membawa cahaya yang menyegarkan raga dan jiwanya. Kompetisi antar artis satu ama lain di dalam kemahiran musikalnya akan merupakan jaminan dipertahankannya nilai-nilai tinggi dalam pernyataan musikalitasnya. Dan ini akan sangat banyak memberi pengaruh kepada penilaian masyarakat dan publik itu sendiri. Pemain musik dapat hidup dari hasil energi musikalnya yang telah mendapat gemblengan begitu lama. Pemain musik profesional akan mendapat perangsang yang sehat.
Kalau dalam masyarakat demikian sudah memberi kelonggaran hidup untuk pemain-pemain orkes serta pemain-pemain solisnya, hingga senantiasa dapat meningkatkan nilai aetistiknya, maka situasi demikian itu selanjutnya akan memberi perangsang yang kuat pada peningkatan penilaian artistik publiknya. Syarat-syarat yang diminta dari artis akan lebih ditingkatkan.
Tentu tidak semua pemain musik selalu dapat tertampung dalam keadaan masyarakat yang demikian itu. Di antara pemain-pemain tentu ada juga yang dianggap kurang nilai permainannya. Ada juga yang memang bernasib sial. Lalu, kebanyakan lari ke perguruan musik, dengan mendirikan kursus-kursus musik. Mereka harus dapoat hidup juga dari kepandaiannya. Tidak sedikit pula yang mencoba nasibnya dalam bidang musik populer. Bidang ini pun membuka kemungkinan-kemungkinan baru, juga di Indonesia. Biasanya tidaklah begitu mudah untuk merobah mental musik klasik menjadi mental musik populer. Yang menjadi pelicin dalam merobah mental klasik ke mental populer adalah musikalitas pemain itu sendiri.



        10.   Musik Populer
Sebagian besar masyarakat berpendapat, musyik populer adalah musyik yang “mudah” diterima oleh kebanyakan orang dan oleh karenanya masyarakat banyak yang menyukainya. Bukan dengan maksud agar diresapkan keindahannya menurut ukuran-ukuran norma-norma keindahan musikal yang tinggi, tetapi lebih condong pada sekedar untuk memberi hiburan untuk melupakan sebentar kesibukan-kesibukan rutin, untuk memberi hiasan dan dekorasi pada suatu kegiatan tertentu di luar musik. Umpamanya, untuk diperdengarkan pad waktu pesta perkawinan, saat mengendarai mobil menuju ke kampung halaman saat hari raya lebaran, dan sebagainya.
Dengan sendirinya, norma-norma daya tarik yang diterapkan pada musik populer pun tidak perlu sama dengan norma-norma musik untuk musik ansich. Sebaliknya, ini juga tidak berarti bahwa untuk memainkan musik populer syarat-syarat artistik diabaikan. Malahan belakangan ini musik populer banyak yang ditujukan ke arah kegiatan artistik yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Dalam kehidupan musik, musik populer merupakan suatu bidang yang mempunyai perkembangannya itu kadang-kadang menuju ke arah unsur-unsur yang tidak termasuk musikal, akan tetapi yang digemari masyarakat banyak. Kadang-kadang pula yang menjurus ke arah perkembangan artistik musikal, tapi  yang masih mendapat simpati di kalangan masyarakat banyak.
Meskipun disebut musik populer, dari pemain-pemainnya tetap diminta syarat-syarat musikalitas. Makin tinggi nilai musikal, makin baik. Pemain musik populer tidak begitu merasa “tegang” seperti pemain musik seriosa. Yang dimaksud dengan “tegang” di sini, ialah suatu rasa tekanan atau ketegangan mental, yang disebabkan antara lain oleh adanya konsentrasi yang penuh agar dapat memainkan musiknya dengan sebaik-baiknya.
Fungsi pemain musik populer lebih banyak ditujukan kepada mengabdi pada kegemaran publik. Makin banya seorang pemain condong ke sikap ini, biasanya makin kurang nilai artistiknya. Sebab pemain demikian tidak jarang menunjukkan permainannya ke arah “pertunjukan” yang tidak termasuk musikal. Hanya untuk dapat memenuhi selera publik yang tidak artistik akan terhibur oleh permainannya, tetapi publik yang mempunyai selera musikal yang baik jelas akan menggeleng-gelengkan kepala.
Sebab bagaipun juga, musik populer masih tetap musik, bukan suatu pertunjukan dagelan atau modeshow. Akan tetapi, orang biasanya bersedia juga untuk menutup mata kalau itu hanya sedikit, bumbu lelucon atau show yang ditambahkan pada sajian musiknya tidak kebanyakan. Terlalu banyak tambahan unsur-unsur yang non musikal hanya menandakan, bahwa permainannya kurang menguasai permainannya secara musikal. Akan tetapi, suatu gejala yang menggembirakan adalah kenyataan, bahwa ada beberapa orkes populer, yang biasa disebut band, meskipun agota-agotanya berpakaian aneh-aneh, tapi cenderung untuk tetap menjaga selera artistik di dalam menghidangkan permainan-permainannya. Itulah sebabnya mengapa ada yang menganggap perlu membuat piringan hitam atau rekaman untuk permainannya.
Rekaman untuk permainan haruslah dijuruskan ke arah permainan yang lebih memberi tekanan pada unsur-unsur yang musikal. Sebab dalam permainan lewat perekaman baik itu lewat piringan hitam, kaset, playdisk, dan sebagainya, soal-soal yang visual yang bersifat show, tidak dapat dipamerkan, padahal popularitas harus dijaga terus. Dari sini ternyata, bahwa pembuatan perekaman merupakan salah satu unsur yang penting untuk menambah penggarapan musikal dalam band-band  populer. Karena pertunjukan unsur-unsur yang non musikal seperti berpakaian yang aneh-aneh dan gerak-geriknya yang ingin menarik perhatian publik hanyalah dekorasi belaka, yang secara organik tidak ada kaitannya dengan musikalitas itu sendiri.

11.   Pemain Band Musik Pop
Band musik musik populer, disingkat musik pop, bentuknya berganti-ganti terus menurut zamannya. Kalau dalam tahun tigapuluhan yang dinamakan band populer itu berbentuk Jazz-band atau orkes Hawaian, pada waktu sekarang band yang paling populer sebagian besar alat-alat musiknya terdiri dari gitar elektrik, lengkap dengan pengeras suaranya.
Meskipun bentuk band populer berganti-ganti, prinsip permainannya tidak banyak berubah. Pemain yang penting dalam band-band populer harus kuat di dalam hal improvisasi. Artinya menghidangkan sebuah improvisasi bebas dalam batas-batas pola tertentu. Pola-polanya tetap sama, yaitu perkembangan akor dan melodi asli dalam lagu tersebut.
Di dalam memainkan lagu, improvisator boleh memainkan melodi bebas dengan dasar pola tadi, akan tetapi menurut citarasa musikal sendiri. Di dalam pola-pola akor yang telah diberikan oleh lagu yang asli, improvisator memberi bentuk baru dalam menyusun melodinya, yang selalu harus dapat dikenal kembali pola melodi aslinya. Untuk mengenal kembali melodi aslinya, biasanya tidak semua orang dapat melakukannya dengan mudah, kecuali jika diberi tahu atau mengetahui lagu aslinya sebelumnya. Alat-alat musik yang lain tinggal berfunsi sebagai pengiring saja.
Seorang pemain musik yang berpendidikan klasik, yang sudah bertahun-tahunmembiasakan diri memainkan alat musiknya menurut apa yang tertulis dan diisyaratkan dalam suatu komposisi tertentu, di dalam band populer harus merubah mental musikal dan kerutinannya. Akan tetapi beberapa keahlian yang didapatnya dalam pendidikan klasi, seperti logika yang ada dalam melodi dan harmoni, sangat membantu pekerjaannya dalam suasana yang haru itu. Musikslitas yang telah dikembangkan dalam pendidikannya sangat berguna dalam memainkan musik populer.
Hanya sebelumnya, sebelum dia menghasilkan nada-nada untuk musik populer dan menghidangkan sebuah melodi, dia harus membiasakan diri dulu menguasai “beat” dan warna baru. Seorang yang memang sudah musikal, dalam waktu yang tidak lama akan sudah dapat melakukannya, kadang-kadang dengan baik sekali.
Dan memang, para pemain musik populer yang sangat menonjol permainannya, baik di luar negeri maupun di Indonesia, biasanya sudah mendapatkan pendidikan dasar musikal yang klasik dahulu sebelumnya.
Kalau band Jazz kebanyakan terdiri dari alat-alat tiup, baik yang terbuat dari logam maupun yang terbuat dari kayu, ditambah dengan satu set drum, dan kontrabas, pakai atau tanpa piano, band populer sekarang pada umumnya terdiri paling sedikitnya empat orang pemain, yaitu seorang pemain gitar melodi, seorang pemain gitar yang memetik iringan harmoninya (rithym), seorang lagi yang mendapat tugas memainkan gitar bas, dan seorang lagi pemain drum, dan sedapat mungkin semuanya serba elektrik. Bentuk orkes atau band seperti ini terdapat di seluh pelosok dunia.
Kadang-kadang band demikian ditambah lagi pemainnya dengan yang memegang keyboard, alat tiup, biasanya saksofon, trompet atau seruling biasa, satu, dua, atau tiga orang. Malahan band pop dirasakan kurang lengkap, kalu belum alat organ listrik jenis Hammond Organ, yang sekarang banyak sekali muncul dengan berbagai macam merk. Band-band seperti ini timbul dimana-mana sekarang. Ada juga beberapa yang baik, akan tetapi kebanyakan mutunya kurang.
Tidak jarang terjadi, orang-orang yang berenang dalam kekayaan, membelikan anak-anaknya dan kaum remaja lain, satu set lengkap peralatan band populer yang harganya sampai berjuta-juta rupiah. Dan tidak jarang pula perlatan musik yang mahal itu dalam kehidupan musik populer dipergunakan hanya untuk  lebih menarik publik belaka. Sehingga permainan musik yang seharusnya secara artistik dapat dinikmati, kadang-kadang malahan lebih bersifat menonjolkan kemewahan alat-alat belaka.
Di samping itu, satu set band pop dengan peralatan yang lengkap dapat juga dipakai sebagai modal mencari keuangan. Yang memilikinya biasanya disebut cukong dari sebuah organisasi remaja yang musikal akan tetapi tidak mempunyai modal sepeser pun. Band-band seperti ini membagi pendapatan finasialnya dengan cukongnya. Anak-anak band membanting tulang, sedang cukongnya duduk ongkang-ongkang kaki. Malahan kadang-kadang ada juga terjadi, bahwa nama cukong yang samasekali tidak musikal itulah justru yang ditonjolkan keluar sebagai pemimpinnya. Tampak mengetahui, bahwa pemimpin yang demikian itu seringkali hanya menjadi bahan tertawaan anak-anak buahnya.
Popularitas band-band seperti itu, yang di mana-mana timbul seperti jamur di musim hujan, membawa akibat yang kurang menguntungkan juga. Menjadi pemain band lama-kelamaan dianggap setengah orang sebagai pekerjaan yang biasa-biasa saja. tiap pemuda yang  baru belajar bermain gitar beberapa minggu saja, sudah menganggap dirinya dapat bermain dalam band.
Bahwasannya pemain-pemain yang demikian itu belumlah matang, tak perlu dikatakan lagi. Lalu kekurangan-kekurangan artistik dan kekurangan ketrampilan mereka di dalam menghidangkan sebuah melodi misalnya, mereka isi dengan permainan akrobatik; kenop-kenop listrik pada gitarnya diputar-putar sedemikian rupa, sehingga menghasilkan nada-nada beraneka warna. Memang ada yang sedap dibuatnya, ada yang suaranya melengking tinggi seakan-akan menerjang batas-batas pendengaran kita, ada nada-nada yang keluar seperti menghentak-hentak dan sebagainya. dan memang, dengan daya elektrik musikal dapat diberi deformasi macammacam. (deformasi = di luar bentuk yang biasa).
Memang, pemberian warna pada nada-nada yang dimainkan tentu dapat dikerjakan dengan memenuhi syarat-syarat artistik. Dalam suatu perimbangan yang baik. Jangan sampai misalnya adanya berbagai-macam warna nada disalahgunakan, sehingga terdengar “kelebihan”.
Gejala seperti ini sama saja dengan kalau kita mendengar suatu melodi yang dibawakan oleh seorang intrumentalis yang mendapat tepuktangan. Oleh karena suatu ketrampilan teknis serta musikal yang dianggap baik pantas dihargai, ketrampilan teknis serta musikal tadi dalam suatu permainan boleh diulangi sekali lagi. Dan biasanya masih mendapat tepuk tangan. Akan tetapi jika diulangi sekali lagi untuk ketiga kalinya akan menjadi memuakkan karena dirakan “kelebihan”
Penyakit “kelebihan” ini banyak sekali hinggap pada pemain-pemain yang main musik hanya untuk sekedar iseng saja, untuk mengisi waktu luang, pemain-pemain yang sesungguhnya tidak mempunyai bakat samasekali, meskipun mempunyai banyak uang. Pemain-pemain yang tidak mempunyai tanggung jawab artistik. Kalau digemari publik, syukur, kalau tidak, perduli apa.
Sama halnya dengan syarat-syarat untuk menjaga kondisi memainkan musik klasik, untuk musik pop pun diperlukan latihan terus-menerus untuk mempertajam musikalitas dan menambah ketrampilan, apalagi untuk pemain-pemain pprofesional. Banyak mendengarkan permainan band-band pop yang baik. Tidak untuk meniru gaya permainannya, melainkan untuk dapat menangkap emosi yang mungkin berada di belakang keaslian permainan istrumentalis yang sedang didengarkannya, yang menyebabkan timbulnya sukses.
Boleh dikatakan untung, bahwa di antara pemain-pemain yang iseng terdapat juga beberapa orang yang pada dasarnya memang sudah mempunyai bakat-bakat artistik yang perlu mendapat pengembangan yang sungguh-sungguh. Tapi pemain-pemain sejenis itu tidak banyak.
Buat pemain band ada beberapa ketentuan yang perlu mendapat perhatian yang wajar :
1.     Sebelum main, menyetem alat-alat musik sebaik mungkin dan peliharalah terus-menerus penyeteman yang baik itu.
2.     Menjaga “beat” yang tetap. Pembawa irama (ritme), khususnya pemain drum, yang biasanya membawa beat yang makin lama makin cepat biramanya atau ketukannya. Dengan sendirinyapemain-pemain yang lain jadi terbawa juga, sehingga akhirnya menjadi suatu pacuan.
3.     Jangan memainkan alat sendiri sedemikian rupa, sehingga suara alat-alat yang lain tidak terdengar sama sekali. Itu tandanya permainan alat sendiri terlalu keras. Kalau semua pemain hanya mendengarkan alatnya masing-masing, sifat permainan “ansambel” lenyap. Tiap anggota band nantinya hanya main keras-kerasan .
4.     Agar tidak “keluar dari pola”, pemain melodi, kalau ingin mengadakan improvisasi, sebaiknya mengikuti perkembangan akor-akor yang dimainkan oleh gitar pengiringnya.
5.     Sedapat mungkin hindari penggunaan unsur-unsur yang berada di luar musik, untuk dipamerkan kepada publik.
6.     Tidak mengulangi pamer permainan yang sama lebih dari satu kali. Jadi misalnya tidak sampai 3 kali pamer permainan yang sama.
7.     Selalu berlaku sopan dan rendah diri, khususnya di depan publik.
Daftar tersebut di atas tentu saja bisa ditambah. Akan tetapi inilah yang biasanya yang perlu diperhatikan terlebih dahulu, kalau pemain ingin pula ikut serta membawa publik ke arah citarasa yang musikal. Terus terang harus diakui, bahwa pemain musik hiburan seringkali berada di persimpangan jalan antara cita-cita dan perut. Dan keperluan perut inilah biasanya yang sering didahulukan, banyak memanjakan publik; tidak peduli, apakah selera publik itu baik atau buruk untuk perkembangan musik itu sendiri selanjutnya.

12.   Antara Populer dan Artistik


Seorang pemain atau penyanyi yang artistikbelum tentu populer. Sebaliknya seorang artis yang populer belum tentu seartistik yang kita sangka. Kedua sifat tersebut, populer dan artistik, memang masing-masing berpangkal pada pertimbangan-pertimbangan yang berbeda satu sama lain. Mari kita tinjau sebentar kedua sifat itu dengan mengambil contoh dari kehidupan musik dalam masyarakat.
Penyanyi Sitarosita umpamanya, ia serigkali menyanyi di depan corong radio, di televisi, juga di depan publik. Tiap hari dia menerima surat bertumpuk-tumpuk yang isinya menyatakan kekaguman publik. Malah kadang-kadang disusul juga dengan pernyataan cinta dan sebagainya. juga dalam pertunjukannya penonton, kebanyakan pemuda-pemudi, berdesak-desakkan berembut tempat duduk, malahan karcis untuk tempat berdiri pun berani mereka beli dengan harga tinggi. Popularitasnya kian hari kian meningkat. Para pengusaha rekaman piringan hitam, casset, dan sebagainya berebut ingin merekam suaranya.
Apakah sesungguhnya yang menyebabkan penyanyi Sitarosita tersebut mempunyai daya tarik yang luar biasa itu? Karena ia memiliki suara yang luar biasa bagusnya? Karena ada sesuatu dalam suaranya, yang menyebabkan pendengar-pendengarnya berkhayal, bahwa Sitarosita seakan-akan menyanyi khusus untuk mereka masing-masing? Karena ia mempunyai warna suara yang tidak dimiliki penyanyi lain sebelumnya? Ataukah barangkali karena mempunyai paras yang cantik dan tubuh yang menggiurkan? Atau siapa tahu , suara Sitarosita itu sendiri, tanpa melihat body tubuhnya pun sudah memberi asosiasi yang erotis menarik pada pendengar-pendengar pria, atau membayangkan suara seorang dara yang ideal? Pendek kata, “suaramaut” menurut istilah sekarang? Entahlah. Biasanya memang sukar untuk menerangkan sebab daya tariknya dan sebab popularitasnya.
Jadi, popularitas dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang ada di luar musik itu sendiri. Segala sesuatunya banyak sekali tergantung pada citarasa publik, yang menetapkan sendiri, apakah dia tertarik atau tidak pada apa yang dibawakan oleh artis. Sebab dia sudah berani membayar mahal. Penonton yang demikian tidak peduli apakah yang disenanginya itu musikal atau soal-soal yang non musikal.
Di sinilah biasanya pemain musik menghadapi keragu-raguan. Kalau dia terlalu condong ke arah penyesuaikan diri serta hidangan-hidangannya disesuaikan dengan selera publik saja, dia memang akan “laku”. Tapi dia tidak akan merasa bahagia, oeleh karena apa yang dihidangkannya tidak sesuai dengan apa yang kita anggap artistik-ideal. Inilah liku-liku kehidupan musik populer.
Sikap yang sebaik-baiknya adalah mengambil jalan tengah. Artinya, melalui cara-cara yang harus ditempuh untuk mendapatkan popularitas, sedikit demi sedikit membawa publiknya ke arah menghargai hidangan-hidangan yang artistik. Dengan demikian, selain berfungsi sebagai artis diapun bertindak sebagai seorang pendidik apresiasi musikal  masyarakat.
Sebagai seorang artis profesionaldia tidal boleh merendahkan bakatnya sebagai barang dagangan, yang dapat dapat ditawar-tawar hanya untuk kepuasan pembelinya saja. Artis yang mempunyai harga diri biasanya lebih senang menghidangkan kecakapannya secara gratis, misalnya untuk membantu suatu usaha sosial, daripada harga kepandaian artistiknya ditawar-tawar. Kala perlu juga ia mendapat honorarium untuk permainannya, jumlah uang yang akan diajukannya hanyalah sampai sebanyak yang pantas, yang tidak merendahkan derajatnya. Kalau tidak demikian, dia bukan lagi seorang artis profesional sekali, tapi sudah seorang artis pedagang, artis komersial disebutya.
Memang, untuk menjadi seorang artis profesional itu tidak mudah. Selama diamasih memiliki kekuatan fisik untuk hidup sebagai artis yang penuh dengan suka duka, di dalam kariernya dia akan banyak berhadapan dengan soal-soal baru yang tidak disangka-sangka sebelumnya. Penuh dengan kerja keras untuk mempertahankan serta mengembangkan kecakapannya, akan tetapi proses hidupnya penuh dengan petualangan serta romatika yang hanya dapat dialami oleh artis saja.
Kita tidak usah heran, kalau para artis kadang-kadang dianggap minta honorarium yang cukup tinggi. Sebab, kehidupan sebagai artisbanyak membawa risiko. Dan justru inilah bisanya yang menjadi daya tarik untuk artis-artis yang muda-muda
Sesudah seorang artis agak lanjut usianya, tidak jarang kehidupan artistik yang begitu bergelora itu diganti dengan hidup yang agak tenang, misalnya ia lalu menjadi guru musik atau kritikus musik.

13.   Soal Profesional dan Amatir
Seseorang yang memilih main musik sebagai mata pencaharian hidupnya, disebut pemain profesional , dan orang yang menghidangkan musik semata-mata hanya sebagai hobby atau sebagai pengisi waktu luang saja, digolongkan ke dalam golongan pemain amatir. 
Seorang pemain musik yang menghidangkan musik dengan mendapat balas jasa uang, samasekali tidak mengurangi nilai artistik permainannya atau merendahkan martabatnya. Sebaliknya, seorang amatir pun kadang-kadang tidak kurang rasa tanggung jawab artistik seorang profesional.
Meskipun demikian, istilah profesional dan amatir dalam dunia musik sudah mendapatkan arti, bahwa seorang profesional, artistik jauh lebih tinggi kedudukannya daripada seorang amatir. Berkait dengan penggolongan ini dalam dunia internasional, seorang pemain amatir yang tinggi nilai permainannya, tidak jarang dikatakan menghidangkan musi “sebagai orang profesional”.
Bagaimanapun juga, adanya kedua golongan ini diperlukan suatu kehidupan musik dalam masyarakat. Para amatir dapat memberi dorongan pada kegiatan berolah musik. Dengan demikian menambah kegemaran masyarakat kepada musik dan memupuk selera musikalnya. Sebab pemain-pemain amatir lebih sering menghubungkan musik dengan publik. Makin banyak para amatir diberi kesempatan untuk menghidangkan musik di depan publik, makin bertambah semangatnya untuk mengembangkan permainannya. lagi pula, konser yang terdiri dari pemain-pemain amatir lebih murah pembiayaannya. Honorarium tidak perlu dikeluarkan.
Pada saat ini di Indonesia banyak pemain yang menduduki fungsi setengah profesional. Mereka pada dasarnya amatir, akan tetapi kesediaan mereka untuk dibayar hanya semata-mata untuk menambah uang belanja saja.
Mengenai pemainan-pemain amatir ini ada aspek-aspeknya yang positip sebagaimana digambarkan di atas, dan ada pula aspek-aspeknya yang positif sebagaimana digambarkan di atas, dan pula aspek-aspeknya yang negatip. Misalnya sikap yang kurang sungguh-sungguh terhadap banyak hal di dalam menghidangkan musik dan latihan-latihannya termasuk aspek-aspek yang negatip. Berlatih bersama anatar amatir kadang-kadang tidak dapat berlangsung, oleh karena para pemain datang seenaknya sendiri, tidak hadir atau datang  terlambat.. kesukaran-kesukaran teknis dalam latihan-latihan tidak begitu cepat dapat dikuasai, oleh karena kurangnya latihan atau tidak melatih diri sama sekali di rumah.
Sebaliknya dapat ditunjuukan juga adanya amatir-amatir yang menghadapi olah musiknya dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi kadang-kadang malahan kita dapati juga hal yang tragis: Sudah bersungguh-sungguh, tapi tidak sadar, bahwa mereka tidak mempunyai talent sama sekali.
Kesukaran-kesukaran juga kadangkala timbul, kalau dalam suatu orkes pemain-pemain profesional. Situasi seperti ini kadang-kadang kita jumpai, kalau dalam sebuah kota orang misalnya bermaksud hendak membentuk sebuah oekes simponi.
Kesukaran pertama tentunya berkisar sekitar soal honorarium. Apakah semua anggota orkes perlu diberi horarium? Kalau dianggap perlu, apakah hnorarium pemain amatir akan disamakan dengan yang profrsional? Ataukah, yang dibayar hanya yang profesional saja? apakah dengan demikian tidak akan menyebabkan rasa kurang adil terhadap beberapa amatir, yang juga memerlukan tambahan kekurangan uang? Dan lain lagi, yang harus diselesaikan secara bijaksana.
Kesulitan lain ialah mengenai buah-buah ciptaan yang harus dilatih. Yang untuk pemain profesional mungkin merupakan buah-buah musik yang secara teknis sudah terlalu membosankan, oleh karena sudah terlalu seringnya dimainkan, untuk pemain-pemain amatir mungkin malahan masih merupakan obyek yang menyenangkan, oleh karena merupakan barang baru.
Buah-buah musik yang untuk para pemain profesional sudah tidak perlu dilatih lagi, untuk kebanyakan amatir mungkin masih merupakan kesulitan-kesulitan teknis yang memerlukan latiha beberapa kali. Tentu masih banyak kesulitan lain yang dapat kita sebut satu per satu. Akan tetapi yang telah diuraikan tadilsh biasanya kesulitan yang paling menonjol.
Uatu  hal yang perlu perhatian adalah, bahwa pemain amartir dalam orkes sebagian besar adalah pemain biola. Sedikit sekali kita temukan amatir yang main klarinet atau hobo atau kontrabas yang baik biasanya tidak banyak jumlahnya dalam suatu kota. Itu pun harus dicari di antara profesional.
Seorang dirigen biasanya  lebih senang kalu berhadapan dengan profesional . akan tetapi, di dalam kita membentuk sebuah orkes simponi kota misalnya, biasanya tidak mungkin seluruh orkes terdiri hanya dari profesional saja. demikian pula sebaliknya, sukar untuk membentuk orkes yang hanya terdiri dari amatir saja. lagipula orkes  amatir demikian jarang dapat menghidangkan buah-buah ciptaan yang secara teknis memerlukan keahlian serta keterampilan yang telah berpengalaman lama. Musik yang akan dihidangkan akhirnya hanya akan terdiri dari ciptaan yang itu-itu juga. Dan yang kronisnya, pemain-pemain amatir pada suatu waktu akan menjadi lekas bosa.

—KSP42—
Selasa, 07 April 2020 – 05.42 WIB
REFERENSI :
Sumaryo L.E.
Komponis, Pemain Musik dan Publik
Pustaka Jaya – Jakarta 1978

Tidak ada komentar:

Posting Komentar