Blog Ki Slamet 42: Atma Kembara
Senin, 16 September 2019 - 16.00 WIB
Senin, 16 September 2019 - 16.00 WIB
Buku Gerakan 30 September PKI |
A.
PERIODE
SEBELUM TAHUN 1945
1.
Indische
Sociaal Democratische Vereniging sebagai
Embrio dari Partai Komunis Indonesia
Pada tahun 1913,
menjelang Perang Dunia I, seorang aktivis politik yang berhaluan Marxis
berkebangsaan Belanda bernama H.J.F.M. Sneevliet tiba di Hindia Belanda dari
negeri Belanda. Ia sebelumnya adalah pemimpin organisasi buruh angkutan dan
anggota Sociaal Democratische Arbeiders
Partij (SDAP) di Negeri Belanda. Sesampainya di Indonesia, mula-mula ia
bekerja sebagai anggota Staf Redaksi Warta Perdagangan Soerabajasche Handelblad, sebuah surat kabar milik sindikat
perusahaan-perusahaan gula di Jawa Timur. Kemudian ia bekerja sebagai
sekretaris pada Semarangsche Haandels
Vereniging, menggantikan pejabat lama D.M.G. Koch. Pada saat itu di
semarang telah terdapat organisasi buruh kereta api, vereniging van Spooren Tramsweg Personeel (VSTP).
Di kemudian hari Sneevliet
berhasil menanamkan pengaruhnya ke dalam organisasi VSTP tersebut dan membawa
VSTP ke arah aktivitas-aktivitas yang radikal, atau setidak-tidaknya menjadikan
VSTP sebagai media penyebarluasan Marxisme di Hindia Belanda, antara lain
melalui surat kaba VSTP, Devolharding
(keyakinan). Selanjutnya, Sneevliet mengadakan kontak dengan orang-orang
Belanda yang berhaluan sosialis yang ada di Hindia Belanda, dan pada tahun 1914
bersama J.A. Brandssteder, H.W. Dekker, dan P. Bergsma mendirikan organisasi
Marxis yang pertama di Asia Tenggara, dengan sebutan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Setahun kemudian,
mereka menerbitkan majalah Het Vrije
Woord (Suara Kebebasan) di Surabaya sebagai media propaganda Marxisme.
Selain majalah Het Vrije Woord, ISDV
juga menerbitkan surat kabar Soeara
Mardika dan kemudian Soeara Rakjat.
Tulisan-tulisan yang
menyebarluaskan Marxisme, baik melalui media surat kabar ISDV maupun
kegiatan-kegiatan lainnya pada saat itu belum begitu mendapat perhatian dari
Pemerintah Hindia Belanda karena belum merupakan ancaman terhadap kelangsungan
pemerintahannya. Pemerintah Hindia Belanda menilai bahwa tulisan-tulisan
tersebut akibat dari mulai tumbuhnya ajaran Marxisme di Eropa. Di samping itu,
kemungkinan ISDV dapat memperluas pengaruhnya di wilayah jajahan sangat
diragukan mengingat adanya hambatan agama, bahasa, ras, dan suku yang
berbeda-beda.
2.
Infiltrasi
Komunis ke dalam Sarekat Islam, melalui Taktik Keanggotaan Rangkap
Sejak kebangkitan
nasional tahun 1908, Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian menjadi Sarekat
Islam (SI) merupakan salah satu organisasi yang berkembang pesat di Indonesia.
Sneevliet sendiri sangat menyadari adanya hambatan bagi ISDV untuk menanamkan
ajaran Marxisme di Hindia Belanda. Untuk dapat melaksanakan upaya tersebut,
Sneevliet memanfaatkan organisasi SI. Caranya adalah dengan memasukkan anggota
ISDV menjadi anggota SI, dan sebaliknya anggota SI dibolehkan menjadi ISDV atau
dengan sistem “keanggotaan rangkap”. Dengan sistem keanggotaan rangkap inilah,
ISDV menyebarkan pengaruhnya ke dalam organisasi SI. Pada tahun 1917 Sneevliet
dan kawan-kawannya telah mempunyai
pengaruh yang kuat di kalangan anggota SI. Mereka berhasil membawa
beberapa tokoh muda SI menjadi anggota ISDV, di antaranya Semaoen yang pada
tahun 1917 menjadi salah seorang pimpinan SI Cabang Semarang dan Darsono
seorang wartawan yang menjadi anggota AI. Keduanya dinilai sebagai seorang muda
yang berdedikasi dan berambisi di bidang politik. Dengan memasuki ISDV
sekaligus juga sebagai anggota SI, kedua orang ini menjadi penyebar Maxisme ke
kalangan masyarakat Indonesia.
Pada tahun 1917
golongan kolonialis melaksanakan revolisi Rusia. Peristiwa ini kemudian
dimanfaatkan secara maksimal oleh Sneevliet yang dengan terang-terangan
menyerukan agar penganut Marxisme di Indonesia mengikuti Rusi. Selain menyusupi
SI, ISDV secara rahasia juga mengadakan penyusupan ke semua lapisan masyarakat
Indonesia, termasuk pergerakan kaum buruh, bahkan di kalangan tentara Belanda.
Aktivis ISDV yang juga menamakan dirinya kaum merah, memperalat serdadu-serdadu
dan pelaut-pelaut untuk berdemonstrasi melawan polisi. Demikian juga surat
kabar ISDV membuat hasutan-hasutan, agar dikobarkan pemberontakan dan
dikibarkan bendera merah. ISDV mendorong pula tokoh-tokoh nasionalis dan
organisasi, seperti Boedi Oetomo,
Insulinde, dan SI untuk menuntut Pemerintah Hindia Belanda menggantikan Volksraad dengan parlemen Rakyat. Hal
ini membuat Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengambil tindakan tegas dengan
jalan mengusir Sneevliet dari Hindia Belanda pada tahun 1918, kemudian menyusul
Brandsteder pada tahun 1919, Baars pada tahun 1921, dan sisa-sisa kelompok
radikal pada tahun 1923.
3.
Munculnya
Perserikatan Komunis di Hindia Belanda sebagai Bagian dari Jaringan Komunis
Internasional
Ketika Sneevliet dan
Brandsteder diusir dari Hindia Beanda, Semaoen dan Darsono yang telah menjadi kader komunis hasil pembinaan
Sneevliet muncul sebagai pimpinan ISDV. Ketika SDAP di Negeri Belanda pada
tahun 1918 memaklumkan perubahan partainya menjadi Partai Komunis Belanda,
beberapa anggota ISDP mengusulkan untuk mengikuti langkah SDAP itu. Adapun
perubahan SDAP menjadi Partai Komunis Belanda itu sangat erat kaitannya dengan
keberhasilan Renovolusi Bolsjewik di Rusia tanggal 1 Oktober 1917. Revolusi tersebut
telah memberikan angin segar kepada penganut Marxisme di seluruh dunia yang
menyerukan agar keberhasilan revolusi di Rusia diikuti dengan revolusi dunia.
Lenin
menggariskan bahwa untuk tercapainya revolusi dunia hendaknya didirikan partai
komunis di tiap negara. Sebagai tanggapan atas penggarisan Lenin tersebut,
dalam Kongres ISDV VII pada tanggal 23 Mei 1920 di kantor SI di Semarang
diusulkan oleh Baars agar ISDV diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia
Belanda sebagai bagian dari jaringan Komunis Internasional (Komintern). Dengan
melalui perdebatan yang sengit dalam Kongres ISDV tersebut, akhirnya diadakan
pemungutan suara yang hasilnya 33 suara setuju, 2 suara mebolak, dan 1 suara
blangko. Dalam kongres tersebut disusunlah pengurus Perserikatan Komunis Hindia
Belanda dengan Ketua Semaoen, Wakil Ketua, Darsono; Sekretaris, P. Bergsma;
Bendahara, H.W. Dekker; dan Urusan Keanggotaan, Baars. Perubahan ISDV menjadi
Perserikatan Komunis di Hindia Belanda ini dikomentari oleh Baars bahwa “hanya
dengan diktator proletariat, satu-satunya cara untuk membangun masyarakat
sosialis”.
Dalam Kongres II
Komintern bulan Juli – Agustus 1920 di Petrograd dan Moskow, Sneevliet – yang
setelah diusir dari Hindia Belanda dan tinggal di Cina – hadir sebagai wakil
dari Perserikatan Komunis di Hindia Belanda menggunakan nama samaran Maring,
walaupun di saat itu Perserikatan Komunis di Hindia Belanda belum resmi menjadi
anggota komintern. Dalam kongres tersebut Sneevliet alias Maring berusaha
meyakinkan Komintern agar Perserikatan Komunis di Hindia Belanda disetujui
tetap bekerja sama dengan SI sebagai taktik untuk memenangkan kom unis. Pada
dasarnya Komunis menentang gerakan Pan-Islamisme
karena dianggap sebagai gerakan borjuis-nasional yang menentang Marxisme di
seluruh dunia. Namun, kongres kemudian dapat menyetujui Perserikatan Komunis di
Hindia Belanda untuk tetap bekerja sama dengan pihak mana pun dalam setiap
lingkungan masyarakat sebagai taktik untuk mencapai tujuan.
Persetujuan kongres
tersebut digunakan oleh Perserikatan Komunis di Hindia Belanda untuk bekerja
sama dengan organisasi-organisasi lain dan mengizinkan juga anggota-anggota
Perserikatan Komunis di Hindia Belanda untuk duduk dalam Volksraad. Namun, Keputusan Kongres II Komintren yang tetap
menentang Pan-Islamisme, telah
menimbulkan kesulitan bagi Perserikatan Komunis di Hindia Belanda dalam
hubungannya dengan SI karena kelompok yang anti komunis dalam SI menuduh bahwa
keputusan tersebut berarti memusuhi Islam secara keseluruhan.
Pada bulan Desember
1920 Perserikatan Komunis di Hindia Belanda dengan suara mutlak menerima 21
syarat Komintern untuk menjadi anggota, yang isinya, antara lain :
a.
Pengakuan secara konsisten terhadap
dikttor proletariat dengan perjuangan untuk mengamankan dan mempertahankannya.
b.
Pemutusan kerja sama secara
menyeluruh dengan kaum reformis dan centris serta penyingkiran mereka dari
partai.
c.
Melaksanakan perjuangan dengan metode
kombinasi legal dan ilegal.
d.
Bekerja secara sistematis di dalam
negara, militer, organisasi buruh reformis, dan parlemen borjuis.
e.
Setiap partai anggota Komintren
adalah partai komunis dan dibentuk atas prinsip sentralisme demokrasi.
f.
Semua keputusan dari Kongres
Komintren da Executive Committee of
Communist International (ECCI), yang merupakan komite pelaksana Keputusan
Kongres Komintern, akan mengikat terhadap semua partai yang berafiliasi dengan
Komintern.
g.
Komintren dan ECCI juga terikat untuk
mempertimbangkan adanya perbedaan kondisi dari setiap partai yang berbeda
tempat bekerja dan berjuangnya dan secara umumm resolusi yang diajukan mengenai
suatu masalah hanya akan diterima apabila resolusi itu memungkinkan.
Pertentangan di
dalam tubuh SI mencapai puncaknya pada Kongres Nasional VI SI bulan Oktober
1921 di Surabaya. Fraksi Komunis yang dipimpin oleh Semaoen dan Tan Malaka
(seorang ahli agitasi propaganda komunis) berusaha mengendalikan dan menguasai
jalannya kongres, tetapi usaha mereka ini ditentang oleh salah seorang tokoh
SI, yaitu H. Agus Salim (orang yang berpandangan modern dan pembela disiplin
organisasi).
H. Agu Salim
menjawab semua argumen Semaoen dan Tan Malaka dengan mengatakan, ‘Nabi Muhammad SAW sudah mengajarkan
sosialisme sejak seribu ratus tahun sebelum Karl Marx’. Selain itu, ia
mengajukan resolusi kepada Kongres untuk melarang setiap anggota SI menjadi
anggota partai lain, dan supaya kaum komunis yang menjadi anggota SI
mengundurkan diri.
Sejak itu muncullah
sebutan SI Merah bagi anggota-anggota SI yang beraliran Marxis dan SI
Putimuncul secara terbukah bagi anggota SI yang menentang Marxisme. Inilah
untuk pertama kalinya kekuatan Islam menentang komunisme secara terbuka di
Indonesia. Dalam langkah selanjutnya golongan komunis dalam SI selalu
membayangi saingannya. Tan Malaka menyebut peristiwa itu sebagai suatu “krisis
besar dalam tubuh SI yang menguntungkan komunis”. Kepada Komintren pada tahun
1923 Tan Malaka melaporkan bahwa Perserikatan Komunis di Hindia Belanda telah
menguasai lebih dari 20 seksi dalam SI dan dinyatakannya bahwa dari 100.000
anggota SI, 30.000 di antaranya adalah anggota komunis aktif. Perpecahan di
dalam tubuh SI ini tampaknya sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Bahkan, pada
bulan Maret 1923, dalam Kongres II Perserikatan Komunis di Hindia Belanda
diputuskan untuk bersaing melawan SI sebagai organisasi politik yang haluannya
berbeda. Sebagai konsekuesinya SI Merah mengubah namanya menjadi Sarekat Rakyat
dan menyatakan dirinya sebagai suatu organisasi radikal nasional baru. Selain
itu, juga dipandang perlu untuk melebarkan aktivitasnya sampai ke luar Jawa
dengan membuka cabang di Padang dan
Makasar.
Pertumbuhan dan
aktivitas Perserikatan Komunis di Hindia Belanda yang smakin radikal – terutama
dari kelompok pimpinan Alimin dan Muso – dalam menjalankan garis partai dari
Moskow semakin menarik perhatian Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Belanda
cukup waspada akan besarnya massa di bawah kepemimpinan dan pengaruh
Perserikatan Komunis di Hindia Belanda ini dengan mulai mengambil
tindakan-tindakan untuk memisahkan para pemimpin dari massanya, dengan cara
mengusir para pemimpinnya dari Hindia Belanda. Tan Malaka sebagai tokoh
Perserikatan Komunis di Hindia Belanda diusir pada tahun1922, Semaoen serta
Darsono bersama-sama kaum radikal Belanda lainnya diusir pada tahun 1923.
Tokoh-tokoh komunis Hindia Belanda tersebut tersebar di Asia dan Eropa sebagai
agen Kmintren atau Perserikatan Komunis di Hindia Belanda atau agen
kedua-duanya. Namun Semaoen dan Darsono masuk kembali ke Indonesia pada tahun
itu juga.
Dengan adanya
pengusiran tokoh-tokoh pimpinanPerserikatan Komunis di Hindia Belanda tersebut,
maka terjadilah kemerosotan kepemimpinan karena kurangnya tenaga-tenaga inti
yang dapat menanamkan ideologi partai dan disiplin, sehingga berakkibat
timbulnya tindakan sendiri-sendiri berupa aksi-aksi teror tanpa adanya
instruksi dari pimpinan. Perserikatan Komunis di Hindia Belanda mulai melakukan
konsolidasi kembali setelah Darsono masuk kembali ke Indonesia pada tahun 1923.
Cababg-cabang Perserikatan Komunis di Hindia Belanda bertambah luas dan pada
bulan Juni 1924 Perserikatan Komunis di Hindia Belanda mengadakan Kongres di
Jakarta dengan mempergunakan nama Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk pertam
kalinya.
Setelah itu, PKI
berhasil tumbuh mmenjadi partai poitik yang memiliki massa pengikut yang
semakin besar. Meskipun demikian, PKI belum dapt melakukan kontrol dan
menanamkan disiplin serta idiologi pada massa pengikutnya.
Tindakan-tindakan
keras pemerintah kolonial terhadap aksi-aksi Sarekat Rakyat menyebabkan Kongres
PKI pada bulan Desember 1924 di Kotagede, Yogyakarta mengambil keputusan untuk
melebur Sarekat Rakyat ke dalam PKI.
4.
Pergolakan
Rakyat Tahun 1926 – 1927
Setelah PKI merasa
bahwa pengaruhnya di dalam tubuh SI cukup besar, maka PKI mulai memanfaatkan
pengaruhnya untuk menggerakkan massa rakyat, dengan menggunakan bendera SI untuk
melakukan pergolakan fisik melawan pemerintah Hindia Belanda. Hal ini yang
memang merupakan salah satu tujuan perjuangan SI untuk mengusir penjajah
Belanda, sedangkan tujuan perjuangan PKI adalah mewujudkan masyarakat komunis
di Indonesia. Upaya PKI tersebut berhasil mencetuskan pergolakan rakyat di
beberapa tempat, yaitu pada tanggal 12 – 14 November 1926 di Karesidenan
Jakarta, tanggal 12 November – 5 Desember 1926 di Banten, tanggal 12 – 18
November 1926 di Priangan, tanggal 17 – 23 November 1926 di Surabaya, tanggal
12 November 1926 di Surakarta, tanggal 12 November – 15 Desember 1926 di
Kediri, dan tanggal 1 Januari – akhir Febuari 1927 di Silungkang, Sumatra
Barat.
Pergolakan rakyat
ini semuanya dapat diatasi oleh Pemerintah Hindia Belanda. Banyak tokoh komunis
dan nasionalis ditangkap dan dipenjarakan, bahkan ada yang dibuang ke Digul,
Tanh Merah, Irian Jaya (Papua), tetapi tokoh komunis Alimin dan Muso berhasil
melarikan diri.
Pada tahun 1935
Komintren mengirim kembali seorang tokoh komunis ke Hindia Belanda, yakni Muso.
Dengan bantuan Djoko Sudjono, Pamudji, dan Achmad Sumadi, ia melakukan kegiatan
bawah tanah, tetapi rupa-rupanya kegiatan tersebut tidak menghasilkan sesuatu.
Muso sendiri pada tahun 1936 melarikan diri lagi ke luar hegeri dengan alasan
merasa tidak aman di Indonesia.
__________________
S u m b e r :
Sekretariat
Negara Republik Indonesia, Jakarta 1994
Gerakan
30 September PKI – Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya
—KSP42—
Jumat, 13 September 2019 – 16.05 WIB
Bumi Pangarakan, Lido - Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar