Blog Ki Slamet 42 : "Ungkap Atma Kembara"
Senin, 11 Maret 2019 - 08:20 WIB
Senin, 11 Maret 2019 - 08:20 WIB
“HIKAYAT PANJI
SEMIRANG 4”
( Pupuh: 01 – 50 )
K e p i n c u t S e l i r M u d a
(1)
Awan hitam bergumpal-gumpalan bertebaran
Ditiuplah sang bayu yang berhembus perlahan
Rintang wajah sang surya yang tak lagi tampan
Elang hitam memangsa emprit yang bercuitan
(2)
Beringin di alun-alun daunnya pun berguguran
Keraton Daha tampak suram tiada masa depan
Rakyat Daha keloro-loroan dirudung kedukaan
Apakah gerangan yang buatlah jadi demikian?
(3)
Puspa Ningrat yang duduk di balai peranginan
Nampak tak seperti biasanya penuh keceriaan
Kali ini wajahnya pucat tiada kesumeringahan
Ketika seorang dayang datang bersembahan
(4)
Ia teringat akan bingkisan tapai persembahan
Dari Paduka Liku sang selir muda kesayangan
Sri Baginda Raja Daha adiklah Raja Kahuripan
Maka Puspa Ningrat pun menyuruh ambilkan
(5)
Tapai bingkisan
kepada dayang kesayangan:
“Wahai dayang, tolonglah ambilkan bingkisan
Tapaiku di atas meja di dalam bilik peraduan!”
Sang dayang segeralah ambil tapai bingkisan
(6)
Lalu bingkisan diberikanlah kepada permaisuri
Yang menerimanya dengan wajah nan berseri
Sutra penutup tapai dibukalah dengan hati-hati
Sang permaisuri nampak sungguh tergiur sekali
(7)
Ketika mau mengambil tapai hendaklah dicicipi
Sontak burung-burung di luar rianglah bernyanyi
Seperti berilah peringatan pada sang permaisuri
Urungkan niatnya cicipi tapai yang telah diracuni
(8)
Akan tetapi amat sayang permaisuri sama sekali
Tidak mengerti bahasa burung yang menasehati
Ia hanya tersenyum menoleh berulang-ulang kali
Ke arah burung-burung yang teruslah bernyanyi
(9)
Di saat permaisuri asyik melihat burung bernyanyi
Tiba-tiba seekor cecak jatuh dari langit-langit puri
Cecak hinggap melekat di pundak kiri permaisuri
Permaisuri kaget lalu kibas cecak hinggalah mati
(10)
Sesungguhnyalah seekor cecak itu juga memberi
peringatan kepada Ayu Puspa Ningrat permaisuri
agar jangan sekali-kali mencoba makan mencicipi
tapai beracun dari Galuh Ajeng si selir pendengki
(11)
Akan tetapi Sang Dewata Agung berkendak beda
Begitu sang permaisuri Puspa Ningrat mencoba
Makan apai beracun meskipun hanya sedikit saja
Racun jahat bisa ular kobra langsunglah bekerja
(12)
Mata permaisuri
melotot nampak putihnya saja
Mulutnya terkatup rapat mengeluarkanlah busa
Lengannya mengepal begitu amatlah kecangnya
Seperti sedang rasakan sakit yang tiada taranya
(13)
Maka gemparlarlah seisi istana dengar berita
Sang Permaisuri Baginda Raja terkena celaka
Keracunan makan tapai bingkisan selir muda
Baginda Raja Daha, dia Paduka Liku namanya
(14)
Baginda Raja pun suruh patih dan mentrinya
Panggil tabib istana obati permaisuri utama
Meski segala obat dan mantra telah dicoba
Namun ajal permaisuri tak lagi bisa ditunda
(15)
Kematian permaisuri Sri Baginda Raja Daha
Yang amat tragis itu membuat Sri Baginda
Candra Kirana,
dan dayang kesayangannya
Mahadewi tiada sadar diri pingsan seketika
(16)
Ketika sadar Mahadewi menangis sejadinya
Meratap mencium tangan permaisuri utama
Seraya tutupi mayat sang permaisuri utama
Dengan jarik kain
batik lurik kesayangannya
(17)
Setelah itu ia menolong Galuh Candra Kirana
Tubuhnya egera dirangkul dan dicium hingga
Galuh Candra Kirana sadarlah dari pingsannya
Bersamaan dengan itu sadar pula sri baginda
(18)
Candra Kirana yang baru sadar dari pingsannya
Menghampiri jenazah ibunda permaisuri utama
Ia menangis tersedu-sedu berderai air matanya
Dayang Istana Mahadewi segera menghiburnya
(19)
Setelah keadaan menjadi reda, Sri Bagida Raja
Bertanyalah sebab kematian permaisuri utama
Kepada seluruh paralah dayang-dayang istana
Maka dayang tertua menjawab seraya katanya:
(20)
“Ya tuanku, hamba mohon maaf sesungguhnya
Hamba tidak tahu apa sebab permaisuri utama
Bisalah tewas sedemikian rupa, tetapi hamba
Melihat sebelum ajal, sang permaisuri utama
(21)
Menyantaplah tapai bingkisan dari selir muda
Paduka Liku!” Demikianlah kata dayang tertua
“Apa, bersantap tapai?” jawab baginda curiga
Sri Baginda Raja betapa sangatlah murkanya
(22)
Seketika itu juga Sri Baginda Raja Daha segera
suruh para dayang mengambil tapai itu seraya
tangannya pun menunjuk ke arah tapai celaka
yang lah sebabkan tewasnya permaisuri utama:
(23)
Dayang tertua mengambil tapai itu lalu segera
Dipersembahkan kepada Sri Baginda Raja Daha
Sang Baginda memeriksa tapai itu lalu bertanya:
“Dayang, dari siapa tapai itu?” bertanya baginda
(24)
“Tapai itu persembahan Paduka Liku, baginda!”
Jawab dayang tertua dengan kata terbata-bata
Hati Sri Baginda menjadi bertambahlah curiga
Sri Baginda Raja membawa tapai keluar istana
(26)
Lalu tapai itu diberikanlah kepada anjing istana
Yang seketika itu juga, anjing itu tewaslah pula
Gejala dan ciri-cirinya sama dengan tewasnya
Puspa Ningrat Sang Permaisuri utama Baginda
(27)
Maka kembali menjadi gemparlah seisi istana
Karena hewan-hewan peliharaan baginda raja
Yang memakan tapai itu pun matilah seketika
Keadaan pun semakin menjadi gempar ketika
(28)
Galuh Candra Kirana pingsanlah kedua kalinya
Hal ini membuat Sri Baginda bertambah murka
Lalu diboponglah tubuh putrinya Candra Kirana
Dibawa kemana-mana tanpa ketentuan arahnya
(29)
Tiba-tiba baginda ambil pedang lalu dihunusnya
Seraya berjalan cepat menuju ke arah puri istana
Paduka Liku sang selir muda Baginda Raja Daha
Sekalian orang seisi istana ketakutanlah jadinya
(30)
Melihat Sri Baginda murka acungkan pedangnya
Wajahnya nampak merah padam, mata menyala
Pancarkan api panas bagai panasnya api dahana
Seraya berteriak keras menggelegarlah suaranya:
(31)
“Saat ini juga akan aku cabut nyawa selir mudaku
Paduka Liku yang telah membunuh permaisuriku
Pastilah akan aku penggallah batang lehernya itu
Dan akan kupotong tiga badanya baru puas aku!”
(32)
Demikianlah sumpah serapah Baginda Raja Daha
Yang langsung terus masuk ke dalam puri istana
Tempat Paduka Liku selir muda Sri Baginda Raja
Yang bersifat culas, iri dan pendengki yang tega
(33)
Meracuni Puspa Ningrat sang permaisuri utama
Cumalah karena merasa iri hatinya dibeda-beda
Kasih sayang antara Galuh Ajeng putri selir muda
Dan Putri permaisuri utama Galuh Candra Kirana
(35)
Sementara Paduka Liku yang telah dengar warta
Puspa Ningrat telah tewas merasa amatlah suka:
“Syukurlah, mampus kau Puspa Ningrat celaka!”
Demikian umpat Paduka Liku dengan girangnya
(36)
Namun ketika dengar Sang Baginda Raja Murka
Mencari bermaksud akan membunuhlah dirinya
Dengan penggal kepalanya potonglah badannya
Maka Paduka Liku persiapkan mantra guna-guna
(37)
Pemberian dari sang pertapa sakti Ajar Sokalima
Ketika Sri Baginda masuk ke puri sang selir muda
Paduka liku berlari masuklah ke dalam kamarnya
Naiklah ke peraduan ambil sepah sirih guna-guna
(38)
Paduka Liku berkonsentrasi, pusatkan pikirannya
Menataplah ke arah kedua mata Sri Baginda Raja
Sambil geliatkan mata batin dalam hati ucap kata:
“Manut..., manutlah, tunduk..., tunduklah segera!”
(39)
Setelah selir muda mengucap mantra guna-guna
Paduka liku persilahkan baginda duduk di sisinya
Maka bekerja mantra pelet sepah sirih guna-guna
Menelusuplah ke dalam atma Sang Baginda Raja
(40)
Api kemarahan baginda pun padam tersiram tirta
Mantra pelet sepah sirih guna-guna Ajar Sokalima
Maka geliat rasa renjana Baginda muncul seketika
Lengan perkasa sekeras baja pun kini hilang sirna
(41)
Dan, lepaslah pedang di tangan Sri Baginda Raja
Kini Sri Baginda Raja ‘lah kepincut lagilah hatinya
Gelegar suara kemarahan yang gegaplah gempita
Jadi lembut ba’ suara kumbang hisap sari bunga:
(42)
“Oh, Paduka Liku! Betapa kakanda amat merindu
Denganlah kemesraan kita yang sepertilah dahulu
Dan, dimanakah Galuh Ajeng si manja putri kita?”
Demikian tutur kata penuh rayu Sri Baginda Raja
(46)
Demilah mendengar lemah-lembut suara baginda
Selir muda Paduka Liku betapa suka, lalu berkata:
“Ya, kakanda junjungan hati hamba yang tercinta
Silahkan Sri Baginda Raja melepas lelah dulu saja
(47)
Dinda pikir ananda Galuh Ajeng sedang suka-suka
Bermain dengan dayang-dayang di luarlah istana!”
Maka tak terdengar lagi suara bingar di puri istana
Bergantilah dengan suara gelora nafas Sri Baginda
(48)
Yang terengah-engah larut di alam asmara renjana
Bersama Paduka Liku si penganut pelet guna-guna
Hingga serasa begitu patuhnya kepada selir muda
Yang membunuh permaisuri utama dengan kejinya
(49)
Setelah puaslah bermesraan dengan sang selir muda
Sri Baginda Raja pun cepatlah tinggalkan puri istana
Tuk Selesaikan pembakaran mayat permaisuri utama
Sementara mendung tebal menghiaslah langit akaca
(50)
Seketika hujan gerimis pun mulai guyur bumi loka
Seolah-olah turut bersedih hati dirudung duka lara
Rakyat Daha
berduka menangis teteskan air mata
Saksikan upacara pembakaran mayang sang Puspa
— Slamet Priyadi 42 —
Rabu, 06 Maret 2019 – 08:55 WIB
PUSTAKA :
S. Sastrawinata, “Panji Semirang”
Balai Pustaka 1986
Tidak ada komentar:
Posting Komentar