Para
siswa sekolah dasar Islam dan anggota kelompok rebana El-Khis Plosokuning
bershalawat dengan menggunakan batu di Kali Kuning, kelurahan Wedomartani,
kecamatan Ngemplak, kabupaten Sleman, Yogyakarta, Kamis (26/7/2012). Kegiatan
yang diikuti 30 ustad dan 170 orang siswa dari 6 sekolah dasar Islam di wilayah
kecamatan Depok dan Ngaglik, kabupaten Sleman ini bertujuan untuk mengisi waktu
menunggu buka puasa dengan beribadah sekaligus memperkenalkan musik dari
tabuhan benda-benda keras kepada anak-anak. TEMPO/Suryo Wibowo
|
TEMPO.CO, Yogyakarta- Pakar sains dari Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Taufik Pasiak, menyarankan agar komunitas
pesantren memasukkan aktivitas bermusik, meditasi kontemplatif, serta interaksi
sosial kepada anak didiknya. “Tiga elemen aktivitas itu bisa mencegah tumbuhnya
potensi otak yang gampang menerima gagasan agama radikal,” kata Taufik pada
konferensi tentang spiritualisme dan radikalisme di Universitas Islam Negeri Kalijaga,
Yogyakarta, Kamis 22 November 2012.
Dia menjelaskan, dari kacamata neurosains, pilihan seorang menerima gagasan radikal atau toleran dipengaruhi oleh struktur otak yang mudah terbentuk karena beberapa jenis persepsi pada tuhan. “Penganut radikalisme agama otaknya didominasi sistem penalaran bernama limbic yang terlalu aktif, sehingga menyebabkannya susah menerima pendapat berbeda dari luar,” ujar penulis buku Tuhan dalam Otak Manusia ini.
Taufik mengatakan, pembentukan struktur otak seperti itu dibantu pengaruh kuat persepsi mengenai sifat tuhan yang otoriter. "Penguatan aktivitas limbic dipupuk persepsi bahwa tuhan itu pemarah dan suka menghukum," kata dia, yang juga Ketua Muhammadiyah Kota Manado.
Sebaliknya, jika sistem pada otak bernama prefrontal mendominasi, gagasan keagamaan akan dikesampingkan. Maka, kata Taufik, perlu keseimbangan antara limbic dan prefrontal sehingga otak terlatih mengenal cara berpikir empati. “Keseimbangan seperti ini ternyata mudah muncul pada orang dengan persepsi mengenai Tuhan yang penuh cinta kasih dan pemaaf,” kata dia.
Menurut Taufik, kemampuan otak mengenal empati bisa terlatih lewat bermain musik, meditasi, dan interaksi sosial. Dia mencontohkan, tokoh sufi Jalaluddin Rumi memanfaatkan tarian dan musik untuk melatih sensitivitas spiritualisme yang menjunjung ide cinta universal. “Kontemplasi melatih orang mendengar dan merasakan hal kecil dan asing sehingga membuat otak lebih mudah menerima perbedaan,” tuturnya.
Pembicara lain, Mark Woodward, memperkuat pendapat Taufik. Pakar konflik agama dari Arizona State University ini mencontohkan kelompok yang menokohkan keturunan nabi (habib) di Front Pembela Islam dengan jemaah salawat Habib Syech. Keduanya punya akar Islam tradisional, berorientasi sufistik, dan radikal. Bedanya, Habib Syech akrab dengan musik. Mark sempat memutar salah satu klip video penampilan musik salawatan Habib Syech di depan peserta konferensi.
Konferensi yang berlangsung hingga Sabtu mendatang ini dihadiri sejumlah pakar keagamaan dari berbagai kampus dalam negeri dan luar negeri.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM
Dia menjelaskan, dari kacamata neurosains, pilihan seorang menerima gagasan radikal atau toleran dipengaruhi oleh struktur otak yang mudah terbentuk karena beberapa jenis persepsi pada tuhan. “Penganut radikalisme agama otaknya didominasi sistem penalaran bernama limbic yang terlalu aktif, sehingga menyebabkannya susah menerima pendapat berbeda dari luar,” ujar penulis buku Tuhan dalam Otak Manusia ini.
Taufik mengatakan, pembentukan struktur otak seperti itu dibantu pengaruh kuat persepsi mengenai sifat tuhan yang otoriter. "Penguatan aktivitas limbic dipupuk persepsi bahwa tuhan itu pemarah dan suka menghukum," kata dia, yang juga Ketua Muhammadiyah Kota Manado.
Sebaliknya, jika sistem pada otak bernama prefrontal mendominasi, gagasan keagamaan akan dikesampingkan. Maka, kata Taufik, perlu keseimbangan antara limbic dan prefrontal sehingga otak terlatih mengenal cara berpikir empati. “Keseimbangan seperti ini ternyata mudah muncul pada orang dengan persepsi mengenai Tuhan yang penuh cinta kasih dan pemaaf,” kata dia.
Menurut Taufik, kemampuan otak mengenal empati bisa terlatih lewat bermain musik, meditasi, dan interaksi sosial. Dia mencontohkan, tokoh sufi Jalaluddin Rumi memanfaatkan tarian dan musik untuk melatih sensitivitas spiritualisme yang menjunjung ide cinta universal. “Kontemplasi melatih orang mendengar dan merasakan hal kecil dan asing sehingga membuat otak lebih mudah menerima perbedaan,” tuturnya.
Pembicara lain, Mark Woodward, memperkuat pendapat Taufik. Pakar konflik agama dari Arizona State University ini mencontohkan kelompok yang menokohkan keturunan nabi (habib) di Front Pembela Islam dengan jemaah salawat Habib Syech. Keduanya punya akar Islam tradisional, berorientasi sufistik, dan radikal. Bedanya, Habib Syech akrab dengan musik. Mark sempat memutar salah satu klip video penampilan musik salawatan Habib Syech di depan peserta konferensi.
Konferensi yang berlangsung hingga Sabtu mendatang ini dihadiri sejumlah pakar keagamaan dari berbagai kampus dalam negeri dan luar negeri.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar