Blog Ki Slamet 42 : Atma Kembara
Jumat, 04 September 2019 - 09.46 WIB
Jumat, 04 September 2019 - 09.46 WIB
“SABAI NAN ALUIH”
(Cerita Rakyat Sumatera Barat)
Sabai nan Aluih |
Di hilir sungai Batang Agam di daerah
Padang Tarok yang airnya jernih, berdiri sebuah rumah bergojong [berujung]
empat. Rumah tersebut dihuni oleh sepasang suami istri bernama Rajo Babanding
dan Sadun Saribai. Mereka mempunyai dua orang anak, laki-laki dan perempuan,
Mangkutak Alam dan Sabai nan Aluih.
Mangkutak Alam berwajah tanpan, selalu
dimanjakan oleh ayahnya kemanapun pergi ia
selalu diajaknya dan merupakan anak kebanggaan. Wataknya sedikit
penakut. Sedangkan kakaknya Sabai nan Aluih berwajah cantik, lembut, rajin dan
sering membantu ibunya. Waktu luang dimanfaatkan untuk membuat renda dan
menenun. Kecantikan Sabai nan Aluih ini bahkan didengar sampai ke
kampung-kampung lain di daerah Padang Tarok.
Jam Gadang di Sumatra Barat |
Suatu ketika Rajo nan Panjang seorang saudagar kaya yang
baru kembali dari rantau, orang yang disegani di kampong Situjuh berkeinginan
untuk menyunting Sabai nan Aluih. Maka dikirimlah anak buahnya sebagai utusan
untuk melamar Sabai. Rajo Babanding orang tua Sabai menolak lamaran ini karena
dia tahu, Rajo nan Panjang berusia sebaya dengannya, juga bersifat sombong,
mata keranjang dan selalu membanggakan akan kekayaan dan harta bendanya:
“Katakan pada majikanmu, bahwa aku
menolak lamarannya, pula Sabai belum mau berumah tangga!”
Berkata Rajo Babanding kepada utusan
Rajo nan Panjang. Rajo nan Panjang yang berwatak keras
merasa tersinggung atas penolakan ini. Beberapa hari kemudian ia sendiri yang
datang ke rumah Rajo Babanding untuk melamar Sabai nan Aluih tetapi tetap
ditolak dengan alasan Sabai nan Aluih belum mau berumah tangga. Mendengar
langsung penolakan ini, Rajo nan Panjangpun menantang berkelahi kepada Rajo
Babanding:
“Rajo Babanding, kau telah menolak
lamaranku untuk menyunting putrimu Sabai. Itu arinya kau menghinaku dan sebagai
orang yang disegani di kampong Situjuh, aku tak terima ini dan engkau akan
menerima akibatnya.”
Ancam Rajo nan Panjang sambil
menunjukkan tangannya ke arah muka Rajo Babanding. Mendengar ancaman ini Rajo Babanding sedikitpun tak merasa
takut. Dia justru balik menantang Rajo nan Panjang:
“Kau kira aku takut dengan segala
bentuk ancamanmu itu! Baik, sekarang mari kita bertanding!”
“Baik, kapan?” jawab Rajo nan
Panjang.
“Bagaimana
kalau hari minggu, di Padang Panahunan!”
Mendengar pertengkaran ini, Sabai nan
Aluih yang berada di balik pintu, hatinya merasa gusar. Ia takut kalau mimpi
yang dialaminya selama ini akan menjadi kenyataan. Ia bermimpi, lumbung padinya
terbakar jadi arang, kerbau-kerbaunya yang berada di kandang dicuri orang, dan
ayam aduannya disambar elang. Segera dia pun mengutarakan mimpinya itu kepada
ayahnya:
“Anakku Sabai, mimpimu itu berarti baik.
Lumbung terbakar berarti padi akan segera dipanen, kerbau dicuri orang berarti
ternak kita akan bertambah, ayam disambar elang itu artinya Mangkutak Alam akan
dilamar orang.”
Demikian jawab Rajo Babanding sambil
mengelus rambut putrinya itu dengan maksud untuk menenangkan pikiran gusar
Sabai nan Aluih.
Pada hari yang telah disepakati,
pergilah Rajo Babanding ke Padang Panahunan, sebuah tempat sunyi biasa dipakai
sebagai tempat adu kesaktian. Rajo Babanding mengajak seorang pembantu setianya
bernama Palimo Parang Tagok. Ini dilakukannya bukan untuk membantunya
bertanding, tetapi untuk berjaga-jaga apabila Rajo nan Panjang berbuat curang.
Di Padang Panahunan, Rajo nan Panjang
sudah berada di sana terlebih dahulu bersama para pengawalnya. Rajo nan
Kongkong, Lompong Bertuah, dan Panglimo Banda Dalam.
“Hai pengawalku, kuperingatkan kepadamu. Jangan
sekali-kali memandang remeh Rajo Babanding. Meskipun ia Nampak lembut, ia cukup
mahir dalam bermain silat dan hatinya tegar sekeras batu karang,
berhati-hatilah!” Tukas Rajo nan Panjang kepada ketiga pengawalnya.
Setelah kedua belah pihak saling
berdekatan, pertarunganpun tak terelakan lagi, merekapun saling menyerang.
Palimo Banda Dalam tersungkur terkena tendangan Palimo Parang Tagok. Lampong
bertuah menyerang untuk membela temannya dengan menikam Palimo Parang Tagok
dari belakang. Melihat ini Rajo Babanding menjadi marah. Jika semula dia hanya
bertahan, kini dia mulai menyerang. Rajo nan Panjang terluka lalu terjatuh
dalam lukanya yang parah ia berkata kepada pengawalnya, “Nan Kongkong, Kenapa
kau diam saja? Segera tembakkan senapanmu!” Mendengar perintah ini Nan Kongkong
yang berada dibalik semak-semak segera mengarahkan senapannya kearah Rajo
Babanding. Bunyi letusan senapanpun berdentum dari balik semak-semak,
dor...dor..dor... ! Rajo Babandingpun terjatuh ke tanah berlumur darah.
Sementara di tempat lain seorang
gembala ternak yang menyaksikan pertarungan tersebut dan melihat Rajo Babanding
terluka parah tertembak senapan Nan Kongkong, segera menyampaikan kejadian ini
kepada Sabai nan Aluih. Mendengar berita ini, Sabai sangat terkejut. Ternyata
mimpinya menjadi kenyataan. Pada saat itu Mangkutak Alam adik Sabai datang.
Kata Sabai, “Hai, Mangkutak. Mari kita ke Padang Panahunan, ayah kita terluka
parah dan sudah meninggal karena tertembak senapan di dadanya.“ berkata Sabai
kepada adiknya Mangkutak Alam.
“Oh, kak. Aku tak mau ikut, aku
sungguh takut mati. Bukankah aku akan segera menikah.?” Jawab Mangkutak tidak perduli sama
sekali dengan keadaan ayahnya.
“Percuma kau menjadi laki-laki. Kau
sungguh pengecut!”
Bentak Sabai kepada adiknya sambil
mengambil senapan di dalam kamar ayahnya. Kemudian iapun berlari ke Padang
Panahunan untuk membalas kematian ayahnya yang terbunuh oleh Nan Kongkong
pengawal Rajo nan Panjang. Mangkutak Alam hanya menatap saja, diam seribu
bahasa memandang kepergian Sabai kakaknya.
Di tengah-tengah perjalanan di kaki
bukit ilalang, Sabai berpapasan dengan Rajo nan Panjang dan pengawalnya.
“Ha...ha...ha...Sabai! Kebetulan sekali. Aku ingin
menjemputmu untuk aku lamar. Ternyata engkau datang sendiri!” Kata Rajo nan Panjang.
“Hai, tua bangka yang tak
tahu malu! Kau telah membunuh ayahku dengan cara pengecut! Dasar bedebah!”
“Lancang sekali mulutmu, Sabai. Kau akan
menyesal seperti ayahmu nanti! Mati tertembak senapan ini!” sambil menepuk-nepuk senapan di
tangannya.
“Oh... jadi kau telah membunuh ayahku
yang tidak bersenjata itu. Sungguh kau manusia bedebah. Padahal ayahku tidak
bersenjata, kau sungguh licik!”
Sambil mengarahkan senapannya ke
wajah laki-laki itu. Dan bunyi senapan Sabaipun berdentam beberapa kali membuat
tubuh laki-laki sombong, mata keranjang terjerambab ke tanah. Tewas seketika. Para pengawal Rajo nan
Panjang setelah melihat majikannya tewas hanya terperangah. Beberapa saat
kemudian Nan Kongkong mengajak temannya pergi sambil berucap:
“Untuk apa membela orang yang sudah
mati. Orang mati tentu tak bisa membayar kita.”
—
KSP 42 —
Jumat, 04 Oktober 2010
Slamet Priyadi di Lido - Bogor